Festival Wayang Banyuwangi

Aug 28, 2015 | Artikel

Kiriman : 

Tri Haryanto, S.Kar., M.Si dan Galih Febri Hastiyanto

Abstrak

Festival wayang, merupakan acara rutin yang diadakan setiap tahun oleh Bupati Banyuwangi, sebagai wujud kepeduliannya dalam melestarikan seni, khususnya seni pedalangan. Pada tahun 2015, festival wayang diramaikan juga dengan pergelaran lainnya, seperti lagu khas Banyuwangian, sendratari, dan tari lepas Banyuwangi. Pada pelaksanaan festival wayang, puncaknya diadakan pergelaran wayang kulit semalam suntuk, dengan mengundang dalang dari dosen pedalangan ISI Surakarta, yaitu Ki Purba Asmara. Lakon yang dibawakan adalah Astina Binangun. Isi ceritera mengenai akhir dari perang baratayuda antara para pandawa dan korawa dengan kemenangan para pandawa, dari kerusakan yang diakibatkan perang, maka para pandawa membangun lagi Negara Astina agar menjadi Negara yang adil, makmur, dan berwibawa.

Kata kunci: festival, wayang kulit, pementasan wayang.

Pendahuluan

Suatu komitmen yang perlu ditauladani dari para bupati yang ada di nusantara ini, Bupati Banyuwangi memberikan contoh dalam mencintai budaya dan seni yang ada di Banyuwangi, meskipun secara wilayah budaya, Banyuwangi tidak memiliki seni pedalangan asli Banyuwangi namun masyarakat memiliki warisan budaya dan seni pedalangan yang dibawa oleh kaum pendatang dari wilayah Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Oleh masyarakat setempat, para pendatang yang mayoritas mendiami Banyuwangi bagian setalan ini disebutnya sebagai pendatang yang berasal dari mataram atau disebut (wong mentaram). Wong mentaram adalah orang yang berasal dari wilayah budaya mataraman dengan budaya dan seni yang dibawanya dan dilestarikannya, termasuk seni pewayangan atau pedalangan.

Adanya seni pedalangan yang berkembang di Banyuwangi, dan antusiasme masyarakat yang sangat banyak, bahkan bisa disebut mayoritas dari mataraman, maka tidak mustahil bahwa seni dari daerahnya cukup berkembang, bukan saja seni pedalangan, namun seni lainnya dari daerahnya juga ikut serta dikembangkan oleh pendukungnya. Dari sekian banyak jenis seni, salah satu yang menjadi perhatian Bupati adalah seni pedalangan. Dengan demikian, Bupati merasa berkepentingan bukan saja karena peta politik, namun karena jenis seni yang ikut berkembang di Banyuwangi juga merupakan tanggungjawab seorang Bupati, maka perlu perhatian yang khusus terhadapnya. Secara konsisten, Bupati Anas telah menyelenggarakan festival wayang dari semenjak Bupati Anas memegang cambuk pimpinan di Banyuwangi, dari tahun 2010 hingga kini (2015). Dalam sambutannya, yang sedikit bernuansa politis, beliau akan selalu memberikan perhatian secara khusus terhadap seni budaya yang ada di Banyuwangi, apapun bentuknya, dan dari mana saja asal seni itu berasal, yang jelas hidup dan berkembang di Bnayuwangi adalah menjadi tanggungjawab pimpinan untuk turut mengembanglestarikan seni dan budayanya.

Sebelum pementasan wayang dimulai, didahului dengan sajian-sajian tari-tarian Banyuwangi, lagu-lagu daerah Banyuwangi, dan sendratari dengan judul “Legenda Tumpang Pitu”. Setelah pementasan sendratari, dilanjutkan beberapa sambutan, yaitu dari dinas Pariwisata dan Bupati Anas. Setelah sambutan Bupati secara simbolis memberikan “Kayon” kepada dalang sebagai pertanda pergelaran wayang dimulai.

Penonton terdiri dari sema tokoh agama se Kabupaten Banyuwangi yang khusus diundang oleh Bupati Anas, pegawai dinas Kabupaten, Camat se Kabupaten, para seniman dan budayawan, para dalang se Banyuwangi, dan masyarakat. Bahkan dalang-dalang dari Jember pun juga banyak yang hadir ikut menyaksikan pementasan wayang dalam Festival Wayang Kabupaten Banyuwangi.

3Pagelaran Wayang Kulit yang diadakan di lapangan Sumber Mulyo, Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi Selatan pada tanggal 25 April 2015 dengan dalang Ki Purba Asmara, S.Kar., dari Surakarta merupakan acara festival Wayang yang diprakarsai oleh Bupati Banyuwangi Bapak Anas. Dalam sambutannya, Bupati mengikuti beberapa permintaan dan saran dari warga Banyuwangi tentang pelaksanaan dan tempat pelaksanaannya. Dipilihnya lapangan Sumber Mulyo Kecamatan Pesanggaran sebagai tempat pelaksanaan menurut beliau, komunitas di Kecamatan Pesanggaran merupakan basis migran dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Tomur bagian barat. Oleh masyarakat setempat disebutnya masyarakat dari mataram (mataraman) yang dimaksud masyarakat yang manyoritas berasal dari Jawa Tengah. Hal ini yang menjadi alasan pelaksanaan diadakan di Kecamatan Pesanggaran, namun menurut beliau, juga merupakan pemerataan kesempatan, karena setiap tahun akan diadakan festival wayang semacam ini secara berkelanjutan. Kesempatan ini merupakan kesempatan yang ke empat kalinya. Pertama diadakan pada tahun 2011 dengan mendatangkan dalang Ki Anom Surata, kedua tahun 2013 dengan mendatangkan dalang Ki Slank (adik kandung Ki Anom Surata), ketiga tahun 2014 dengan mendatangkan dalang Ki Entus Susmana, dan tahun sekarang 2015 mendatangkan dalang Ki Purba Asmara. Rencana Bupati Banyuwangi akan terus diadakan setiap tahunnya dengan mendatangkan dalang yang sesuai dengan permintaan masyarakat Banyuwangi.

Sebelum pementasan wayang dimulai, didahului dengan sajian-sajian tari-tarian Banyuwangi, lagu-lagu daerah Banyuwangi, dan sendratari dengan judul “Legenda Tumpang Pitu”. Setelah pementasan sendratari, dilanjutkan beberapa sambutan, yaitu dari dinas Pariwisata dan Bupati Anas. Setelah sambutan Bupati secara simbolis memberikan “Kayon” kepada dalang sebagai pertanda pergelaran wayang dimulai.3

Penonton terdiri dari sema tokoh agama se Kabupaten Banyuwangi yang khusus diundang oleh Bupati Anas, pegawai dinas Kabupaten, Camat se Kabupaten, para seniman dan budayawan, para dalang se Banyuwangi, dan masyarakat. Bahkan dalang-dalang dari Jember pun juga banyak yang hadir ikut menyaksikan pementasan wayang dalam Festival Wayang Kabupaten Banyuwangi.

Ceritera yang disajikan adalah “Mbangun Astina”, dengan rincian adegan secara global sebagai berikut:

  • adegan pertama adalah Prabu Destarastra bersama istrinya Gandari, dengan isi adegan Destrarastra menyesali terjadinya perang besar Barata Yuda, dengan kabar yang diterimanya anak yang sejumlah seratus itu, tinggal dua orang, yaitu Duryudana dan Kartamarma (yang tidak diketahui dimana rimbanya). Dengan percakapan singkatnya Destrarastra merasa tidak berhasil mendidik anak-anaknya.
  • Adegan kedua Duryudana dengan patih Sangkuni, dalam adegan tersebut diributkan masalah kegagalan para panglima perang yang selalu gugur dalam peperangan. Oleh Sangkuni, Duryudana dihasut bahwa kekalahan itu adalah ulah dari istri tercintanya Banuwati, sehingga Duryudana dengan marahnya mencari istrinya. Disaat Duryudana sudah pergi, datanglah Destrarastra dan Gandari digadapan Sangkuni dengan sedikit perbincangan, Destrarastra marah besar dengan adik iparnya dan mengumpat-umpat mengapa mereka masih hidup tidak mati dalam medan laga. Sangkuni merasa malu dan pergi meninggalkan kakaknya.
  • Adegan Ketiga, Kresna dan Bima berbincang mengenai pembangunan Negara Astina, dan saat itu para punakawan (Gareng, Petruk, dan Bagong) ikut nimbrung dalam percakapan yang diselingi gurauannya. Juga diselingi dengan tembang-tembang khas Banyuwangi, dengan akhir pembicaraan Kresna mengatakan belum saatnya Astina dibangun, karena dari pihak Korawa belum habis.
  • Adegan ke empat di istana keputrian (dayang-dayang) yang sering disebutnya Limbuk dan Cangik bercengkrama dengan menyajikan beberapa lagu baik lagu atau gending Jawa Tengahan maupun lagu khas Banyuwangi sebagai hiburan. Setelah selesai mereka menghadap Banowati, dengan berbincang sejenak datanglah Duryudana yang marah dan mengumpat istrinya dengan kata-kata yang agak kasar dan menyakitkan telinga Banuwati sehingga terjadi pertengkaran. Dalam pertengkaran mulut, Banuwati menyampaikan kesetiaanya tetap kepada Duryudana, bahkan dengan sangat marahnya sambil pergi dari hadapan Duryudana mengatakan bahwa ingin membunuh para Pandawa. Duryudana sedikit kecewa dengan perkataannya yang menyinggung hati istrinya, dikejarnya Banuwati untuk tidak melanjutkan niatnya itu.
  • Peperangan terjadi antara Sangkuni yang didukung adik-adiknya melawan Bima, adik-adiknya tewas dimedan laga, Sangkuni perang melawan Bima dengan berbagai cara Bima tidak bisa mengalahkan Sangkuni. Ditengah pertempuran dipihak lain ada Aswatama yang sudah berubah penampilan mengumpat Banuwati yang menyebabkan dia diusir oleh Duryudana, dengan dendamnya mereka mencari Banuwati untuk dibunuhnya. Begitu ketemu Banuwati, Aswatama mengumpat dan ingin memperkosa Banuwati untuk melampiaskan semua dendam yang ada dalam benaknya dan terjadi kejar mengejar. Banuwati masuk hutan, Aswatama bertemu dengan Kartamarma dan dan Bagawan Kerpa dengan saling mengingatkan Aswatama untuk tidak berbuat semaunya. Namun Aswatama kukuh dengan pendirian untuk melampiaskan dendamnya kepada Banuwati.
  • Adegan Gara-gara, yang diisi dengan sajian kelucuan dan sajian beberapa lagu khas Banyuwangi dengan sinden yang ada, yaitu terdiri dari lima sinden dua diantaranya di ajak dari Surakarta dan tiga sinden dari Banyuwangi.
  • Melanjutkan peperangan antara Bima dengan Sangkuni, dengan putus asa Bima hampir menyerah, namun oleh Petruk diingatkan bahwa Sangkuni memiliki kelemahan disaat minyak kesaktian yang tumpah saat para pandawa diberi minyak oleh kakeknya Abiyasa dan Sangkuni telanjang bergumul di tumpahan minyak tersebut, hanya bagian kecil yang tidak terkena lumuran minyak, yaitu pada bagian duburnya. Mengetahui kelemahan Sangkuni, Bima kembali ke peperangan dan mengalahkan Sangkuni dengan merobek dari bagian duburnya.
  • Adegan berikutnya adalah pertemuan Baladewa dengan Duryudana, dengan kembalinya Baladewa dari pertapaan merasa dikibuli oleh Kresna, meraka berdua berniat untuk menuntut keadilan kepada Kresna. Pertemuan Kresna dan Bima dengan Baladewa dan Duryudana terjadi pertengkaran mulut dan perdebatan yang sengit. Dengan jalan tengah yang ditawarkan oleh Kresna, Baladewa setuju untuk tidak memihak kepada siapapun dan terjadi pertarungan antara Duryudana dengan Bima yang dimenangkan oleh Bima, namun Duryudana tidak mau mati karena menunggu seseorang yang membatnya menderta, yaitu Sangkuni, dengan itu Bima mencari Sangkuni yang sudah sekarat di berikan kepada Duryudana untuk mati bersama-sama.
  • Adegan selanjutnya di tenda para pandawa, yang sedang bersenang dengan kehadiran bayi putra Abimanyu, yaitu Parikesit. Dalam kelengahannya Aswatama mampu masuk dan menyusup kedalam tenda para Pandawa, ternyata Banuwati juga ada disitu maka dengan melampiaskan amarah yang terpendam, Aswatama memerkosa Banuwati dan akhirnya dibunuhnya. Selain membunuh Banuwati, Aswatama juga membunuh beberapa parajurit dan anak-anak pandawa yang masih hidup. Terakhir Aswatama bertemu seorang bayi dan berniat membunuh sekaliyan bayi tersebut, namun disebelah bayi telah tersedia keris Pulanggeni, dengan kegembiraan Bayi merasa disapa oleh seseorang dan tanpa disengaja kaki bayi menjejak keris Pulanggeni dan melesat mengenai dada Aswatama dan gugur. Mengetahui ada huru-hara dalam tenda, Bima mengamuk mencari ke seluruh penjuru dan menemukan Kartamarma langsung dibunuh, dengan terbunuhnya Kartamarma Resi Kerpa menyerahkan diri dan minta maaf kepada Kresna karena tidak berhasil mendidik Kartamarma dan Aswatama kembali pada jalan yang benar.
  • Adegan berikut adalah adegan Destrarastra dengan istrinya Dewi Gandari, yang merasa malu dan dendam, harus bagaimana mereka di kerajaan Astina, namun dalam pembicaraannya, Gandari mengingatkan bahwa Destrarastra memiliki kesaktian yang sangat luar biasa yang terletak pada telapak tangannya, yaitu ajian “lebur saketi” , teringat hal tersebut Destrarastra punya niat untuk membalas dendam akan membunuh Bima yang menyebabkan anak-anaknya mati semua termasuk adik iparnya.
  • Adegan terakhir, terkumpulnya para pandawa dengan Baladewa dan Kresna, kedatangan Destrarastra dan Istrinya Gandari dengan maksud mengucapkan selamat atas kemenangan para pandawa dalam peperangan Barata Yuda, satu persatu dipeluk olehnya sampai saat pada Bima Destrarastra mempersiapkan ajiannya, namun Bima sudah diingatkan oleh Kresna untuk selalu membawa Gadanya, dan saat dipeluk oleh Destrarastra, Bima hanya menyodorkan Gada kehadapannya, ternyata gada yang dipeluk Destrarastra lebur menjadi debu. Tertawa terbahak-bahak karena merasa telah bisa menghabisi Bima, namun setelah mengetahui Bima tidak mati dan hanya gada yang hancur, maka Destrarastra dan istrinya pergi meninggalkan kerajaan dan menuju hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya. Dengan akhir peristiwa itu, Kresna mempersilahkan kepada Darmawangsa dan adik-adiknya untuk mulai membangun Astina Pura dan sudah saatnya Astina Pura menjadi damai, tentram, dan bahagia semua rakyatnya.2

Pesan-pesan yang disampaikan 1) perang tidak ada yang diuntungkan. 2) pembangunan lebih berat dan penuh pengorbanan. 3) dendam memakan korban pada dirinya. 4) keadilan di dunia tidak akan adil bagi siapapun, karena keadilan hanya milik sang pencipta yang akan diberikan pada saat hari pembalasan di alam baka. 5) kedamaian lebih berharga, membuat orang akan hidup tentram. 6) tebarkan kebaikan dan kebajikan.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...