Filsafat Jalan Pikiran

Apr 14, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman; Saptono, SSn., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

1. Pendahuluan

Melalui filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat obyektifitas dunia ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana, orang harus menghidarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetap melalui idealisme subyektif bemuara pada suatu skeptisme yang radikal (Juhaya S. Praja, 2003:116).

Kritisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha rasaksa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan insur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti “ide-ide bawaan” ala Descartes). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman, menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Menurutnya, unsur apriori itu sudah terdapat pada indera, dan pengalaman inderawi selalu ada bentuk apriori (ibid, p.116-118)

Fokus dari tulisan ini sebetulnya ingin membawa kritikan Kant, terhadap suatu sikap didalam mengambil Jalan Pikiran dalam falsafah  budaya Jawa dalam mengambil putusan “di gebyah uyah”.

II. Nalar

Tiap –tiap orang sadar, demikian kata Kant, bahwa ia harus memenuhi kewajibannya. Adalah pada kata hatinya yang mengatakan, bahkan memerintahkan: Enkau harus!. Keharusan ini adalah pada budi, sebaliknya pada manusia ada nafsu macam-macam coraknya. Dasar ‘keharusan’ ini bukanlah misalnya karena merasa, bahwa yang harus dilakukan itu menyenangkannya, atau yang baik baginya saja. Sebab jika memang ini sekiranya yang menjadi pedoman dan ukuran tidakan manusia dalam kesusilaan, maka kesusilaan itu akan merupakan yang subyektif belaka dan tak dapat berlaku bagi semua dan tiap-tiap manusia. Sebab pedoman dan ukuran kesusilaan ialah berbuatlah demikian, sehingga pedoman atau dasar tingkahmu itu berlaku bagi seluruh manusia. Manusia pada umumnyalah yang menjadi pedoman dan ukuran tingkah laku, bukan individu (Pujawiyatna, 1994:112).

Akal budi vestrad dengan vernunft menciptakan putusan-putusan.  Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk (apriori, yang terdapat pada akal budi dan materi (data-data indrawi). Dalam hal ini, mungkin bisa disejajarkan dengan penalaran yang dalam bahasa Jawanya sering dikategorikan “nalar”dalam arti “budi”. Misalnya wejangan/ajaran yang disampaikan dalam peretunjukan wayang, bagi masyarakat yang senang nonton wayang bisa seringkali merenungkan ajaran-ajaran yang disampaikan sang dalang melalui lakon atau cerita yang digelar. Disini biasanya orang tua sangat serius pada adegan-adegan dialog yang baginya amat penting yang memerlukan pemecahan masalah dengan bijaksana. Umumnya wejangan-wejangan tersebut bersifat terselubung yang harus dikupas oleh para penonton sendiri, dan untuk bisa memetik inti sari wejangan- wejangan yang disampaikan juga diperlukan ketekunan sendiri. Karena untuk mempelajari wejangan itu harus menggunakan halusanya rasa, dan perenungan, bukan emosional. Dengan demikian akan bisa membedakan “ngomong sing nganggo waton” itu sulit dari pada,  “waton ngomong”. Artinya setiap manusia mau melakukan segala hal, harus di “pikir” terlebih dahulu (direnungkan dan untuk dipertimbangkan.) Dahulu sikap dan putusan “tanpa dipikir” terlebih dahulu juga pernah diterapkan seperti “urusan mburi”(model militer).

Filsafat Jalan Pikiran selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...