Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh

Mar 8, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan.

Si cantik Legong dan Si tampan Smara Pagulingan ibarat sepasang kekasih yang sudah lama putus cinta. Legong sebagai sebuah tari cemerlang Bali sudah amat jarang bercumbu di pangkuan kemesraan Smara Pagulingan–ensambel gamelan Bali yang bertutur manis dan merdu. Tari Legong kini lebih intim dengan sumeringah Gong Kebyar, sementara gamelan Smara Pagulingan sekarang merintih dalam gulana kesendiriannya.

Legong dan Smara Pagulingan adalah seni pertunjukan prestisius pada era kerajaan Bali tempo dulu. Legong yang kini lazim disebut Legong Keraton itu adalah seni pentas kesayangan seisi keraton dan menjadi kebanggaan masyarakat kebanyakan. Smara Pagulingan yang kini eksistensinya kian kritis, pada zaman keemasan feodalisme diapresiasi dengan penuh asyik-masyuk oleh kaum bangsawan dan masyarakat luas, baik sebagai alunan sejuk musik instrumental maupun sebagai stimulasi estetik tari Legong.

Belum jelas tentang kapan berinteraksinya Legong dengan Smara Pagulingan. Cikal bakal keberadaan Legong diduga bersemai di wilayah kerajaan Timbul, nama tua Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Catatan babad lokal setempat menyebutkan Legong sudah hadir di sana pada awal abad ke-19. Kenyataannya, hingga tahun 1930-an Sukawati memang dikenal sebagai pusat pengembangan Legong yang banyak didatangi oleh para seniman tari dan tabuh dari penjuru Bali. Reneng (Badung), Lotring (Kuta), Lebah (Peliatan), dan beberapa tokoh legong lainnya tercatat pernah nyantrik pada maestro legong setempat, Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja, dan I Dewa Blacing.

Legong dan Smara Pagulingan rupanya bersua dan bersinergi dalam pengayoman dan kawalan ketat selera tinggi kaum bangsawan masa itu. Pada masa itu setiap istana memiliki gamelan Smara Pagulingan lengkap dengan penabuhnya. Dua lontar tua tentang gamelan Bali, Aji Gurnita dan Prakempa, menyinggung cukup signifikan tentang gamelan Smara Pagulingan dengan sebutan Semara Aturu. Mungkin itulah pasalnya gamelan ini dikaitkan keberadaannya sebagai musik rekreatif untuk menyertai saat-saat raja sedang memadu asmara di paruduannya.

Selain memakai gamelan Smara Pagulingan laras pelog tujuh nada, Legong kemudian tak kalah kenesnya diiringi dengan Palegongan—barungan gamelan turunan Smarpagulingan—bersuara renyah menawan. Sayang ketika demam Gong Kebyar menggedor, gamelan Smara Pagulingan terjungkir dan gamelan Palegongan sempoyongan. Trend Gong Kebyar sejak mulai digulirkan semangat kompetisi pada tahun 1930-an, mendepak Smara Pagulingan dan gamelan Palegongan sebagai pengiring utama tari Legong. Legong “berselingkuh” dengan Gong Kebyar. Legong menjadi umum diringingi Gong Kebyar–menguak pada tahun 1915–hingga kini.

Sungguh tragis nasib gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan. Gelora berkebyar ria menampik senyum manis dan membungkam suara merdu kedua gamelan tersebut. Masyarakat atau sekaa-sekaa pemilik gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan cenderung begitu emosional dibawa arus deras gebyar Kebyar. Vandalisme kolektif pun merebak di mana-mana. Banyak gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan dilebur menjadi Gong Kebyar. Sungguh tak ada rintangan dan halangan, semua bablas.

Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...