Mengembangkan Olah Rasa, Gali Seni Budaya

Jan 6, 2010 | Berita

Suara gamelan Bali terdengar mengalun bersahut-sahutan dari halaman depan kantor Departemen Pendidikan Nasional di kawasan Senayan, Jakarta, pada Senin (10/8) pagi menjelang siang. Denting merdu gamelan Smarapagulingan mengumandangkan gending-gending klasik. Sementara itu nada-nada teduh Gender Wayang menyelingi dengan tabuh “Seketi“ dan “Cerucuk Punyah“.  Lenggok tari Pendet dan sebuah tari kreasi “Satya Brasta“ juga ditampilkan dalam panggung yang khusus dibuat untuk pagelaran seni pertunjukan Bali itu.

Adalah Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) menyelenggarakan event “Gelar Karya Anak Bangsa“ yang mengangkat tema “Membangun Masyarakat Cerdas dan Kreatif Berbasis Sains, Teknologi dan Seni untuk Daya Saing Bangsa“. Dalam acara yang dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA itu, seni diberikan ruang untuk memberikan aksentuasi. Untuk kepentingan tersebut pihak Dikti mendatangkan para seniman dari Bali yakni tiga penari putri Sekolah Luar Biasa (SLB) Bali, empat seniman cilik, dan para penabuh serta penari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Menjelang acara pembukaan yang juga dikaitkan dengan Pameran Pendidikan Nasional, para penabuh wanita ISI yang memainkan gamelan Smarapagulingan dan empat orang penabuh cilik Bali yang dengan lincah menabuh gamelan Gender Wayang, menarik perhatian para undangan dan pengunjung. Undangan dan pengunjung tampak tertegun-tegun menyaksikan keintiman kaum wanita dan bakat seni bocah-bocah Bali dengan seni tradisinya. Tari Pendet yang dibawakan dengan apik oleh Ni Putu Sri Sugihartini, Ida Ayu Putri Sawitri, dan Kadek Deby Sintiya Dewi, siswa tuna rungu SLB Bali, mengundang decak haru.

Angin seni rupanya memang bertiup semilir pada manusia Bali, tak terkecuali bagi mereka yang tak bisa berbicara dan mendengar, karena sejatinya dalam dunia seni, emosi olah rasalah yang menjadi pengendali terdepan. Soal pentingnya olah rasa dalam membangun masyarakat yang cerdas dan kreatif, oleh Mendikdas Bambang Sudibyo,  diurai signifikan dalam sambutannya. Secara filosofis diungkapkan bahwa olah rasa tak kalah pentingnya dengan olah pikir, olah jiwa, dan olah raga dalam membangun manusia yang utuh. Oleh karena itu, tegasnya, olah rasa dalam pendidikan seni harus diasah sejak dini di kalangan insani masa depan bangsa dan eksistensi nilai-nilai keindahan budaya Indonesia wajib dijaga dan terus dikembangkan.

Kehadiran insan-insan seni dari Bali dalam acara itu rupanya dijadikan contoh bagaimana dunia olah rasa dibangun dalam pendidikan non formal di tengah masyarakat dan secara formal di sekolah. Empat seniman belia, Adi Sedana, Kadek Putra, Made Moris, dan Ayu Larasari yang unjuk kebolehan menabuh Gender Wayang siang itu adalah bentuk olah rasa  dan penghayatan generasi muda Bali terhadap ekspresi seni yang ada di lingkungannya. Begitu pula dengan keterampilan yang ditampilkan grup penabuh wanita Asti Pertiwi ISI Denpasar yang memainkan gamelan Semarapagulingan mengumandangkan tabuh dan mengiringi seni tari, merupakan implementasi penjelajahan olah rasa kaum wanita Bali dalam kancah seni musik tradisional yang sebelumnya hanya lazim jadi medan olah rasa kaum pria.

Selain cipta dan karsa, rasa adalah pilar utama dari keberadaan nilai-nilai keindahan karya manusia. Mungkin karena itu seni dapat berkomunikasi secara universal. Komunikasi dengan olah rasa itu, di tengah masyarakat bangsa-bangsa, khususnya dalam masyarakat Indonesia telah menjadi media solidaritas sosial, pendukung utama aktivitas keagamaan, hingga berperan menonjol sebagai presentasi estetik dan hiburan. Di pulau Bali, seni bersemi integral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam peristiwa keagamaan misalnya, seni selalu hadir menyediakan ruang olah rasa bagi setiap orang.

Namun ditengah orientasi hidup material masyarakat dunia belakangan ini, termasuk di Indonesia, karunia rasa yang diberikan Tuhan rupanya cenderung kurang diasah dan disyukuri. Muncul fenomena semakin tumpulnya kepekaan kita terhadap sesama, alam lingkungan dan masa depan dunia. Sebaliknya merebak sikap dan prilaku yang destruktif yang mengacu kepada anti kerukunan sesama dan perdamaian dunia, mengumbar nafsu konplik, terorisme dan perang. Seni sebagai wahana olah rasa yang menyemai sikap asih dan saling menghormati seperti mandul dan kehilangan makna.

Oleh karena pentingnya olah rasa untuk saling menghormati dalam kehidupan bersama, siang itu, digugah lewat dendang ceria lagu “Janger“ yang dibawakan secara bersama oleh penabuh Asti Pertiwi dalam puncak penampilannya. Pentingnya pengembangan olah rasa dalam membangun manusia Indonesia yang utuh juga dipresentasikan dalam sebuah lagu berjudul “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif“  yang dibawakan secara duet oleh mahasiswi ISI Denpasar.  Lagu ciptaan I Komang Darmayuda, S.Sn, M.Si dan Ni Wayan Ardini, S.Sn, M.Si berdasarkan ide Rektor ISI Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA itu bertutur, diantaranya, dengan tekanan lirik “olah pikir tingkatkan kecerdasan, olah raga sehatkan jasmani, olah jiwa jernihkan budi pakerti, olah rasa galilah seni budaya“.

Kadek Suartaya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...