Struktur, Bentuk, dan Fungsi Patung Dewa Ruci

Feb 8, 2010 | Artikel, Berita

Oleh I Nyoman Linggih

Patung Dewa Ruci dilihat dari atas, foto-bycandraPatung Dewa Ruci secara fisik mempunyai penampilan estetik. Dilihat dari segi struktur bentuk dan komposisi letak patung, maka Patung Dewa Ruci merupakan patung kelompok yang utuh,  figur yang satu dengan figur yang lain tampak menyatu, lebih-lebih penempatannya pada tempat yang sangat strategis yaitu pada persimpangan jalan Nusa Dua-Tanah Lot, Nusa Dua-Pusat Kota Denpasar, Sanur Kuta yang menjadi pusat lalulintas bagi para wisatawan asing maupun domestik. Patung Dewa Ruci terdiri dari empat figur utama sehingga secara struktur sesuai etika sosio-kosmis yang berlaku yaitu: paling atas ditempatkan figur Dewa Ruci/Nawa Ruci yang diidentikan dengan Acintya dalam posisi memperhatikan sepak terjang Sang Bhima melawan Naga Neburnawa/Naga Baruna, dibawah Dewa Ruci ditempatkan figur Sang Bhima dalam posisi dililit oleh Naga Nemburnawa/Naga Baruna yang sedang marah, karena Sang Bhima bersikeras ingin masuk Samudra Selatan. Sang Bhima, dalam posisi kuda-kuda yang stabil berdiri tegak dengan kokoh sambil menguak mulut Naga, di bawah Sang Bhima (hampir sejajar) ditempatkan figur Naga Nemburnawa/Naga Baruna dalam upaya melumpuhkan Sang Bhima dengan melilit seluruh badan Sang Bhima sambil me-nyemburkan bisa yang mematikan, dan paling bawah ditempatkan figur Gelombang air (gelombang samudra) dengan kolam air mancur yang menggambarkan suasana riuhnya samudra selatan pada saat terjadi perkelahian antara Sang Bhima dengan Naga Nemburnawa/Naga Baruna. Secara struktural penampilan Patung Dewa Ruci menampakan aspek keindahannya dari segala sudut pandang berdasarkan kepaduan dan kerterjalinan antara figur yang satu dengan figur yang lain dalam membentuk kesatuan makna dan kesatuan estetika patung. Kesatuan makna terletak bagaimana jalinan konsep cerita yang tertuang dalam estetika patung ini yang tidak hanya mempertimbangkan aspek filsafat namun juga aspek etika, sehingga struktur patung Dewa Ruci, memperlihatkan keteraturan secara filosofis, etika dan estetika.

Fungsi Patung Dewa Ruci

a.   Fungsi sakral

Ramseyer (1977) menguraikan, seni sakral pada dasarnya adalah satu bagian dari warisan tradisi budaya yang meliputi berbagai jenis kesenian yang dianggap sakral dan atau diyakini memiliki kekuatan spritual oleh masyarakat pendukungnya. Di lingkungan budaya Bali seni sakral mempunyai fungsi yang amat penting di dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu-Bali (dalam  Dibia, 2000:1). Fungsi sakral ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat Bali yang bernafaskan agama Hindu. Sepanjang kedudukan seni budaya masih kuat dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Bali, dalam upacara-upacara dari kelahiran sampai mati masih kokoh, maka seni budaya akan selalu hidup dan merakyat. Ini jarang terjadi di negara-negara lain. Bahkan dunia baru mengarah kepada pemberian perhatian yang cukup kepada pemasyarakatan serta pelestarian warisan-warisan budaya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang mengalami globalisasi (Mantra, op. cit. p.14).

b.   Fungsi ritual/upacara,

Menurut Widia dkk, (1990/1991:18) sesungguhnya sejak zaman prasejarah mulai dari bentuk yang paling sederhana patung difungsikan sebagai simbol roh nenek moyang atau media pemujaan. Oleh karenanya banyak diketemukan peninggalan patung sederhana yang berasal dari masa megalitik pada tempat-tempat suci seperti di Pura. Karena arca-arca dinilai mempunyai kekuatan sakti, religius magis, maka sampai sekarang arca tersebut masih dikeramatkan sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bali.

Terciptanya arca-arca sederhana yang lain yang didasari oleh konsep kekuatan penolakan magis yang ditempatkan pada tempat tertentu, karena mempunyai sifat melindungi sehingga tercapainya kesuburan dalam meningkatkan panen yang dihasilkan. Arca-arca penjaga (Dwarapala) yang menakutkan berperan untuk menjaga kesucian suatu tempat suci. Konsep-konsep pemikiran yang muncul pada saat itu ialah adanya kekuatan yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri sehingga muncul arca-arca sebagai media simbol (Purusa,1982:442-443). Seperti diketahui di Bali, masuknya agama Hindu ke Bali ikut mewarnai dan menyuburkan konsepsi alam pikiran dan kepercayaan masyarakat sebelum masuknya agama Hindu ke Bali. Ini betul-betul mempunyai nilai yang tinggi dan dilatar belakangi oleh konsepsi pemikiran yang sudah cukup maju. Unsur-unsur kepercayaan yang asli inilah yang menjadi landasan yang sangat kuat terhadap masuknya agama Hindu ke Bali (Putra,1985/1986:53). Dengan adanya pandangan kepercayaan yang sama maka wajarlah arca-arca sederhana tersebut tetap dikeramatkan oleh umat Hindu di Bali dan dibuatkan sebuah pelinggih khusus di dalam pura. Pada Waktu upacara piodalan, arca-arca sederhana tersebut dihaturkan atau disuguhkan sesajen seperlunya. Menurut I Wayan Widia dkk (1987:5) pratime = simbol perwujudan yang berupa patung, atau arca perwujudan khusus, dan juga dinamai image, idol, figur, daivata, devata pretima, pratikiti, murti, arca dan pertima. Perwujudan ini bukanlah bentuk sebenarnya dari pada bentuk dewa atau roh leluhur, melainkan hanya merupakan media konsentrasi yang ditujukan  kepada Dewa yang sebenarnya. Pretima ini dibuat dari kayu atau logam, dan kalu telah rusak, akan diganti dengan yang baru, sedangkan yang lama dihanyut (dibuang) ke air atau ke laut.

Dalam adat  dan agama Hindu di Bali pratime ini dipralina yaitu dibakar dan kemudian  abunya dihanyut (dibuang) ke laut. Dalam hal ini orang Bali menganggap bahwa yang telah rusak telah leteh (kotor) dan harus dikembalikan kepada asalnya.

Suatu simbol diyakini sakral oleh masyarakat Bali apabila diprosesi dengan inisiasi upacara agama yaitu melalui upacara. mulang dasar, pemakuh, pengurip-urip, mulang pedagingan, pemelaspas, pasupati dan piodalan. Dan apabila tidak melalui proses upacara maka hasil karya seni itu  sekalipun dalam bentuk simbol-simbol tertentu tidak akan diyakini kesakralannya. Contoh. Patung dewa-dewa, patung raksasa dan lain-lain yang dipajang di Batubulan, Singapadu, Silakarang dan lain-lain tetap tidak sakral, namun apabila dipindahkan ke pura dan diinisiasi dengan upacara agama secara lengkap dia akan berubah status menjadi sakral. Demikian juga patung Dewa Ruci di jalan alteri simpang siur, Kuta tidak dianggap sakral, sekalipun terdapat simbol-simbol, seperti simbol Acintya yang diidentikan dengan Dewa Ruci/Nawa Ruci, dimana patung ini tidak melalui inisiasi upacara/sakralisasi.

c. Fungsi estetik religius

Masyarakat agama Hindu umumnya dan Bali khususnya, umat Hindu  dalam berkomunikasi dengan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan tidak hanya melalui hubungan spiritual namun juga melalui media-media tertentu. Hal ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang menggunakan simbol (animal symbolicum) sebagai alat komunikasi. Media-media yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh umat Hindu di Bali khususnya adalah patung atau arca yang secara mitologis selalu dihubungkan dengan manifestasi Tuhan. Ketidakmampuan manusia berhubungan langsung dengan Tuhan melalui batiniah, menimbulkan cara lain untuk mencapai alam Ketuhanan. Cara-cara tersebut adalah dengan membuat upakara atau ritual dari berbagai bahan (banten=Bali) shingga di sana terpusat emosi keagamaan umat manusia melalui simbol benten. Di samping itu adanya seni ritual yang mendukung juga sistem komunikasi manusia dengan Tuhan adalah penciptaan bentuk-bentuk patung perwujudan (arca, pretima, dll) sehingga dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah simbol yaitu simbol pengejawantahan dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari kekuatan yang Maha Besar yaitu, Tuhan Yang Maha Esa. Simbol-simbol itu merupakan hasil cipta dan penghayatan manusia terhadap hadirnya kekuatan illahi yang bersemayam dalam estetika batin manusia (umat).

Simbol-simbol religi seperti itu dalam masyarakat Hindu Bali sangat disakralkan oleh orang Bali melalui tradisi yang ditanamkan kepada masyarakat dalam berbagai media, baik dalam media seni maupun lainnya. Media seni yang mendapat pengakuan religius/keagamaan disebut dengan seni sakral oleh karena disebut dengan seni sakral maka atribiut yang disandangnyapun terbawa oleh kesakralannya. Sedangkan seni yang tidak mendapatkan pengakuan/pengukuhan religius disebut seni profan/sekuler. Menurut I Wayan Dibia (2000:3-7)  bahwa untuk  pemahaman terhadap suatu karya seni yang terkait dengan religi (estetis religius) yang juga disebut seni sakral, kita tidak boleh lepas dengan ruang pikir Ke-Hindu-an (Bali). Konsep seni dalam ruang pikir manusia Hindu  khususnya Bali sangat terkait dengan sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi tiga unsur penting, Satyam (kebenaran), Siwam (kebaikan/kesucian), dan Sundaram (keindahan). Cara pandang berdasarkan rumusan ini memperlihatkan bahwa setiap kesenian Bali, khususnya yang berbentuk kesenian ritual, me-ngandung rasa indah (sundaram), ke-Tuhan-an yang sejati (satyam ), mengandung unsur kesucian (Siwam) sekaligus kebenaran (satyam).

d. Fungsi  sekuler

Seni patung khususnya di Bali sebagai produk budaya yang di ilhami oleh agama Hindu disamping berfungsi religius juga dapat berfungsi secara sekuler.  Dikotomi antara sekuler dan sakral pada hakikatnya merupakan tingkatan penghayatan manusia yang bukan saja antara sesama, namun juga adanya hubungan yang vertikal yakni manusia dengan sang Maha Pencipta. Secara estetik ragawi seni pada prinsipnya dapat memuaskan aspek indria manusia. Dilihat dari sudut mediumnya, maka suatu karya seni mempunyai nilai indrawi (sensuous value) dan nilai bentuk (formal value). Nilai indrawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu karya seni, misalnya warna-warni yang terpancar dari sebuah lukisan (Gie, op. cit. p. 72). Nilai indrawi merupakan sisi sekuler dari fungsi seni dalam pemikiran dikotomi konsep sakral dan sekuler karya seni yang berkembang di Bali. Fungsi sekuler bukan semata-mata hanya penampakan segi luar dari karya seni, namun sangat sulit membedakan antara nilai indrawi dan nilai bentuk. Patung Dewa Ruci sebagai salah satu bentuk seni patung juga dapat dilihat fungsi luarnya atau sekulernya pada beberapa hal; sebagai daya tarik wisatawan, dan sebagai keindahan kota.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...