Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Jul 29, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

 Budaya masyarakat Bali yang sarat aktivitas keagamaan, adat, dan seni dengan  konsep dasar sistem simbol yang menyatu dan berhubungan erat dengan keyakinan dan kepercayaan pada dewa-dewa maupun totemisme. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara  yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud “kelakuan” maupun  material culture “hasil karya kelakuan.

Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada Hindu dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut. Generasi kini tanpa diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul-umbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Padahal umbul-umbul terkait erat dengan sarana ritual keagamaam.  Perubahan yang kerap terjadi pada jenis  umbul-umbul berdasarkan pengamatan yang dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang ada. Kesamaan struktur umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang dijadikan dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan. Menurut ketua Parisada Hindu dharma Indonesia umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi gantungan. Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada pada ujung umbul-umbul. Sedangkan menurut Ida Pedanda Gde Pasuruan dari Griya Sibetan Karangasem, yang terpenting dalam umbul-umbul selain ada gambar naga taksaka sebagai penguasa alam atas, harus ada sigi tiga pada ujungnya. Dan ujungnya itulah sebenarnya yang disebut umbul-umbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah  nada atau aksara nada. Makna dari naga itu sendiri adalah sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat dengan tuhannya dalam upaya mendapatkan  merta atau kesejahteraan. Sedangkan menurut Ida Bagus Sudarsana seorang agamawan, hiasan umbul-umbul adalah naga gombang sebagai simbol air dan kekuatan wisnu dengan aksara Ungkara.

Untuk mendapatkan ukuran umbul-umbul yang ideal atau paling tidak yang telah tersebar dikalangan masyarakat Hindu Bali,  perlu kiranya ada suatu acuan yang dapat dijadikan  standard yang  keberlanjutan. Dilihat dari data lapangan yang ada, variasi warna, bentuk, dan ukuran  masih sangat beragam. Sifat adaptif dan  pleksibel masyarakat Bali tidak saja dalam menyerap budaya luar, juga digunakan ketika membuat sarana ritual keagamaan khususnya umbul-umbul. Serapan yang diinginkan adalah mencari bandingan guna  mendapatkan ukuran umbul-umbul yang tepat untuk sarana ritual keagamaan. Secara  tradisional Bali, umbul-umbul dibuat dengan menggunakan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. Adapun hitungan tersebut biasanya terkait dengan fungsi seperti: hitungan Candi sangat baik untuk membuat bangunan suci, hitungan Rebah tidak baik untuk digunakan, hitungan Gunung sangat baik untuk membuat umbul-umbul, dan hitungan  Rubuh  juga tidak baik untuk dipergunakan. Untuk mendapatkan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh, menggunakan hitungan hasta yaitu mulai dari siku sampai dengan ujung jari tangan. Seperti yang telah diingatkan sebelumnya, mengukur apapun tetap pengguna atau pemiliklah yang  diukur.

Dilihat dari fisik dan rupa, umbul-umbul terbuat dari lembaran kain berbentuk segi tiga memanjang/meninggi yang semakin ke atas semakin mengecil/mengrucut dan pada ujungnya dihiasi dengan segi tiga. Ukuran lebar  kain umbul-umbul dihitung dengan lengkat dan tetap menggunakan perhitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. (lihat Anak Agung Gde Rai Sudadnya).

Wawancara dengan PHDI Pusat di IHDN Denpasar diperoleh data antara lain bahwa tidak ada kejelasan standard tentang eksistensi pengawin sakral dan tidak sakral. Ukuran sakral dan tidak sakral ditentukan oleh upacara penyucian sebelum pengawin tersebut digunakan. Adanya berbagai bentuk, ukuran, dekorasi dan pemanfaatannya sangat ditentukan oleh kreatifitas perajin dan penggunanya. Sumber lain dari Ida Pedanda Gde Pasuruan juga menyebutkan bahwa tidak ada pedoman yang jelas pengawin sakral dan tidak sakral dilihat dari bentuk, ukuran, warna dan penempatannya.

Berdasarkan penelusuran bentuk dan warna visual pengawin sejak tahun 1910 yang diperoleh dari berbagai foto Tropen Museum Leiden sampai sekarang, bahwa sejak dahulu tidak ada perbedaan yang nyata tentang eksistensi pengawin sakral dan tidak sakral. Namun  sumber dari beberapa pendeta (Siwa dan Buda) menyebutkan bahwa sakralisasi sebuah umbul-umbul dapat ditentukan oleh adanya bentuk nada pada ujung kain umbul-umbul.   Sakral juga ditentukan oleh sikap masyarakat mengamankan  alat-alat tersebut semestinya dirahasiakan (pingit) dan dikeluarkan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan. Misalnya Tari Baris China di Renon Denpasar, hanya bisa dipentaskan pada saat upacara piodalan di pura tersebut. Gambelan gong gede di Desa Sidatapa Singaraja hanya bisa ditabuh pada saat odalan di pura setempat.

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...