Tarian Siwa Nata Raja dan Adi Merdangga Mengawali PKB ke-33

Tarian Siwa Nata Raja dan Adi Merdangga Mengawali PKB ke-33

DENPASAR- Tarian kolosal Siwa Nata Raja dan Adi Merdangga garapan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar akan mengawali atraksi budaya pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 pada 10 Juni mendatang.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Ketut Suastika di Denpasar, Senin (30/5), kedua tarian yang digarap secara apik dan profesional itu melibatkan ratusan mahasiswa dan dosen lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Ia mengatakan, penampilan tim ISI Denpasar dalam atraksi budaya dimulau dari depan bangsal Jaya Sabha Gubernuran Denpasar hingga Taman Budaya Denpasar, tempat berlangsungnya aktivitas seni tahunan di Bali itu. Disusul dengan duta seni dari delapan kabupaten dan satu kota di provinsi itu.
Setiap kabupaten/kota menampilkan keunikan dan ciri khas daerah masing-masing yang dirangkai sedemikian rupa oleh penampilan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian, menjadi satu kesatuan atraksi yang unik dan menarik.
Aktivitas seni itu melibatkan ratusan seniman Bali utara, menyusul Kabupaten Karangasem yang menampilkan ketangkasan pasukan perang tradisional serta berbagai jenis pasukan dan model latihan perang.
Semuanya itu dikemas dalam bentuk seni, diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan), diikuti duta seni Kabupaten Jembrana, Bali barat yang menyuguhkan Segara Kertih atau petik laut menampilkan seni kerakyatan khas daerah setempat.
Kota Denpasar dalam atraksi budaya itu menampilkan harmoni multi kultur, Kabupaten Tabanan Nangkluk Merana, yakni kegiatan ritual dalam membasmi hama tanaman yang mengganggu pertanian.

SumberL mediaindonesia.com

Mahasiswa Tak Hanya Butuh Kemampuan Teknis

Mahasiswa Tak Hanya Butuh Kemampuan Teknis

Jakarta —- Pendidikan tinggi dipercaya berperan besar dalam menentukan tinggi rendahnya daya saing sebuah bangsa. Daya saing yang tinggi juga hanya bisa diraih jika ada kerangka kerja yang sesuai, dan karakternya melekat pada individu dan masyarakat bangsa tersebut. Jika tidak, bisa dipastikan daya saingnya akan rendah.

Di sisi lain, pendidikan tinggi menghadapi banyak tantangan dan harus terus beradaptasi dengan dinamika globalisasi. Apalagi, bagi Indonesia sebagai satu negara berkembang, dengan populasi mencapai 240 juta orang, dan tersebar di tiga daerah waktu, 443 bahasa dan dialek, tapi 70 persen wilayahnya adalah perairan, mengembangkan pendidikan adalah tugas yang berat dan sangat menantang.

“Pada level pendidikan tinggi, selain membekali mahasiswa dengan kemampuan teknis yang berguna dalam persaingan global, juga harus memberi kontribusi pada pembentukan demokrasi, peradaban, dan masyarakat yang inklusif,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiknas Djoko Santoso, saat mewakili Wakil Mendiknas Fasli Jalal membuka forum yang diselenggarakan oleh International Institution for Educational Planning UNESCO, SEAMEO Regional Centre for Higher Education and Development., dan Kemdiknas, di Hotel Century, Jakarta, Senin (23/05). Forum  ini diselenggarakan untuk merancang sistem yang mengatur kebijakan dan aturan-aturan bagi pemerintah dalam mengatur pendidikan tinggi.

Salah satu pembicara dalam forum tersebut  yakni Centre Director SEAMEO RIHED Sauwakon Ratanawijitrasin mengatakan, tahun lalu IIEP dan SEAMEO telah meluncurkan program penelitian mengenai manajemen pendidikan tinggi. Penelitian tersebut dipakai sebagai bahan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dalam sistem.

Penelitian tersebut  melibatkan lima negara, yaitu, Jepang, Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan China. Para peneliti dari lima negara tersebut juga akan berpartisipasi dalam forum ini untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka selama melakukan penelitian.

Selain itu, Head of Governance IIEP N.V. Varghese juga mengatakan, ada empat isu yang menjadi fokus IIEP. Empat focus tersebut adalah persamaan, akses, kualitas, dan biaya pendidikan. Keempat isu tersebut juga akan dibahas dalam forum ini.

Turut hadir juga dalam forum, Programme Specialist at IIEP Michaela Martin. Michaela menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan oleh IIEP bukanlah penelitian yang dikhususkan bagi IIEP, tapi untuk seluruh dunia khususnya pada pendidikan tinggi.

Forum ini akan berlangsung dua hari, 23-24 Mei 2011. Diharapkan hasil dari pembicaraan ini akan menjadi media bagi kemajuan pendidikan tinggi dan sebagai promosi program pendidikan tinggi kepada masyarakat.

Sumber: kemdiknas.go.id

Regulasi Sekolah Internasional Akan Dikaji Ulang

Regulasi Sekolah Internasional Akan Dikaji Ulang

Jakarta – Pemerintah akan mengkaji ulang regulasi untuk sekolah berlabel internasional. Dengan adanya UU Sisdiknas yang mengharuskan pemerintah pusat dan daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, maka label sekolah internasional yang awalnya berasal dari sekolah kedutaan, menjadi kabur.

“Sekarang ini kami melihat ada yang berasal dari kedutaan, kemudian berkembang menjadi sekolah internasional. Lalu, karena UU Sisdiknas, ada juga sekolah-sekolah Indonesia yang menuju pada standar internasional. Untuk itu, dua arus regulasinya harus dibuat,” ujar Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal seusai berkunjung ke Jakarta International School, Selasa (24/05).

Awalnya, sekolah internasional hanya melayani anak-anak berkewarganegaraan asing. Kemudian dengan berjalannya waktu, orang Indonesia meminta agar anak-anak pribumi dimungkinkan untuk belajar juga di sana, dengan pertimbangan mutu yang lebih baik. Sebaliknya, sekolah internasional tersebut juga memerlukan siswa yang berasal dari Indonesia. Supaya dengan adanya anak-anak pribumi, maka anak-anak asing yang belajar di sekolah internasional tersebut juga dapat memahami teman-teman Indonesianya, budaya Indonesia, karena mereka tinggal di Indonesia.

Sedangkan sekolah-sekolah nasional yang menuju standar internasional, bagian terbesarnya adalah anak-anak Indonesia. Namun demikian, Wamendiknas mengatakan, nanti secara bertahap akan ada satu dua orang yang berasal dari warga negara asing.

“Karena itu peraturannya mereferensi bagian terbesar di antara mereka (RSBI) adalah orang Indonesia. Jadi ini yang sedang kita atur, bagaimana seharusnya kedua kategori yg dilabel internasional tapi asal usulnya berbeda, peraturannya akan berbeda,” ujar Wamendiknas Fasli Jalal.

Kurikulum yang berlaku di sekolah internasional pun adalah kurikulum internasional. Dalam kondisi tersebut, Wamendiknas mengatakan, untuk anak-anak Indonesia yang bersekolah di sana harus diberikan hak-haknya. “Kalau mereka menerima anak-anak Indonesia, hak-hak anak Indonesia untuk menerima pelajaran agama, bahasa Indonesia, sejarah, kewarganegaraan, tetap diajarkan. Tapi caranya terserah mereka,” kata Wamendiknas.

Saat ini, sekolah internasional tidak menerapkan ujian nasional sebagai pertimbangan terhadap kelulusan siswanya. Wamendiknas menjelaskan, tidak ada masalah bagi sekolah internasional karena tidak melaksanakan ujian nasional, selama siswa dari sekolah tersebut tidak akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikut di Indonesia.

“Kalau UN,  kalau dia mau melanjutkan di Indonesia, setiap jenjang dia wajib ikut un. Tapi kalau tidak melanjutkan di Indonesia terserah mereka,” ujarnya.

Wamendiknas melanjutkan, termasuk untuk guru, regulasinya sudah diatur, berapa persentasenya yang wajar, berapa persentase tenaga administrasi sudah diatur sedemikian rupa. Bahkan kalau gurunya mengharapkan akreditasi dari pemerintah, pemerintah akan memberi sertifikasi.

Sumber: kemdiknas.go.id

Seni Dapat Mencegah Ideologi Menyimpang

Seni Dapat Mencegah Ideologi Menyimpang

Medan – Kalangan seniman dan sosiolog menganggap berkembangnya ideologi menyimpang serta paham ekstrimisme seperti NII dan aliran Ahmadiyah dapat dicegah lewat kreativitas dan pemaknaan berbagai bentuk karya seni budaya.

“Untuk itu eksistensi kelompok seniman dan budayawan dibutuhkan dalam lingkup sosiologis masyarakat kita,” kata Sosiolog Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Hidayat pada dialog tentang “Seni dan Ketahanan Nasional” di Fakultas Bahasa dan Seni Unimed, Rabu.
Ia mengatakan, ekspresi kelompok seniman, baik seni rupa, seni musik, seni tari maupun seni-seni lainnya selama ini telah menghimpun kelompok-kelompok pemuda yang memiliki nilai sosial kuat di tengah-tengah masyarakat.
Dengan bergabung di kelompok-kelomopk seni tersebut, membuat mereka tidak tersentuh oleh pengaruh ajaran atau indoktrinasi paham ideologi yang menyimpang dan dilarang oleh negara.
“Pengaruh indoktrinasi itulah yang sekarang hadir merusak pola pikir pemuda, sehingga mudah direkrut dan terpengaruh menjadi manusia yang tidak mengedepankan akal sehat dalam mengemukakan pemikirannya,” katanya.
Kasus peledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon oleh seorang pemuda serta peledakan bom bunuh diri di hotel Marriot – Ritz Carlton beberapa tahun lalu menjadi bukti pengaruh indoktrinasi ajaran paham yang menyimpang tersebut.
“Pemuda yang di usianya masih mencari eksistensi diri, begitu rapuh jika disusupi pemahaman agama yang keliru,” katanya.
Pelaku seni di Medan, Heru Maryono MSn, mengatakan, seniman merupakan antitesa melawan kemapanan serta penguasaan yang menindas. Misalnya banyak hasil karya seni yang dilarang pemerintah karena dianggap melanggar konstitusi, padahal karya seni tersebut lahir dari fakta sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
“Karya-karya seni yang dilarang itu, menjadi bukti bahwa sebagian nilai-nilai seni kita juga sudah dijajah penguasa,” katanya.
Sementara itu menanggapi berkembangnya faham ideologi menyimpang seperti NII dan Ahmadiyah di Indonesia, Ketua Ikatan Da`i Indonesia Sumatera Utara Drs. H. Sakhira Zandi, mengatakan, NII dan Ahmadiyah berkembang karena lemahnya intelijen negara menganalisis situasi keamanan negara.
“Pemerintah juga tidak tegas menindak dan membersihkan ideologi menyimpang tersebut,” katanya.
Di luar fakta tersebut, lanjut dia, NII dan Ahmadiyah saat ini telah menjadi komoditas pihak-pihak tertentu yang sengaja dibangkitkan kembali dengan tujuan meredam isu-isu besar yang sedang terjadi di negara ini.
Pemerintah sudah lama mengetahui adanya aliran Ahmadiyah dan NII, namun paham ideologi menyimpang itu terkesan dibiarkan dan tidak ditumpas hingga tuntas.

Sumber: antaranews.com

Ketika Janda Dirah Mengerang Di Layar Kaca

Ketika Janda Dirah Mengerang Di Layar Kaca

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

Dulu, teater Calonarang lazimnya mengerang di halaman luar Pura Dalem dalam sebuah ritual keagamaan. Kini, drama tari ini juga tampil garang di ruang-ruang pribadi keluarga lewat tayangan televisi. Penampilannya dalam konteks ritual keagamaan disangga oleh suasana yang komunal religius, sedangkan ketika tersaji dalam layar profan televisi, seni pertunjukan Calonarang mensejajarkan dirinya dengan sinetron, reality show, konser musik dan program hiburan lainnya, yang, tentu saja disimak pemirsa dalam suasana rumahan, santai dan tak formal. Biasanya, Calonarang yang disuguhkan di layar kaca diangkat dari pementasan-pementasan di tengah masyarakat.

Perhatian masyarakat menyaksikan Calonarang di televisi dengan menonton pertunjukan langsung di tengah masyarakat berbanding sejajar. Di tengah masyarakat, seni pentas yang tak begitu sering digelar ini senantiasa disaksikan masyarakat dengan penuh perhatian, bila perlu hingga menjelang pagi. Tradisi mementaskan drama tari Calonarang serangkaian dengan odalan di Pura Dalem Gede Desa Sukawati, Gianyar, misalnya telah sejak dulu menjadi pagelaran seni yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mungkin karena apresiasi masyarakat yang besar itu yang menyebabkan teater ini lestari di desa Sukawati dan di tengah masyarakat Bali pada umumnya.

Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung.  Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada  abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.

Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra  sumber sebagai  bingkai  intrinsik saja.  Implementasi dan transformasi tata  pentasnya  dicangkokkan  dengan pola-pola,  idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku dalam   seni pertunjukan tradisional Bali. Lewat penonjolan sub-tema sihir, teater Calonarang memakai ramuan unsur-unsur seni palegongan, patopengan, pagambuhan dan Arja

Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang.  Ceritanya pada tahun 1931,  Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang  dengan tajuk Dongeng dari Dirah.

Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri.  Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.

Sub tema sihir, leak, memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang.  Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang membuat penonton tampak tegang.

Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan (memandikan  mayat). Orang yang  jadi   mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya  di  Bali.  Sementara madusang-dusangan ini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.

Ketika Janda Dirah Mengerang Di Layar Kaca, selengkapnya

Loading...