Wayang Kulit Ramayana Yang Lesu Merana

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Wayang kulit adalah salah satu seni pertunjukkan Bali yang memiliki   nilai keindahan disamping sebagai seni tontonan yang sarat tuntunan.  Kendati Bali memiliki beberapa jenis wayang kulit, namun yang lazim dikenal adalah Wayang  Parwa  dan Wayang Ramayana. Seiring dengan perjalanan waktu, belakangan, Wayang  Ramayana semakin jarang dapat disaksikan masyarakat Bali. Ironisnya, seni pertunjukkan Wayang Ramayana semakin langka ditekuni oleh seniman wayang kulit masa kini. Rupanya berdasarkan alasan itulah digelarnya workshop dan pelatihan dalang Wayang Ramayana, oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali, pada tanggal 19-22 Nopember ini. Sebuah upaya mulia yang konstruktif.

Tersebutlah sekitar tahun 1960-1970-an masyarakat Bali mengenal dalang Wayang Kulit Ramayana Ida Bagus Sarga (almarhum) dari Desa Bongkasa, Kabupaten Badung, yang tersohor dengan geraman suara tokoh-tokoh raksasanya. Demikian pula I Wayan Gayung (almarhum) dari Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, begitu amat dikenang penonton dengan riuh suara tokoh-tokoh keranya yang sulit dilupakan masyarakat Bali. Ngore, suara kera dari dalang Gayung, dikagumi penonton bagaikan gemuruh  jeritan ribuan monyet saat menggempur Alengka. Wayan Gayung dikenal sebagai spesialis Wayang Ramayana yang masyur pada zamannya.

Sejak meninggalnya dua dalang terkenal Wayang Ramayana I Wayan Gayung  dan Ida Bagus Ngurah Sarga pada tahun 1970-an, eksistensi Wayang  Ramayana ikut pula lesu dan merana. Kini meskipun beberapa dalang Wayang  Parwa juga mampu menyajikan Wayang  Ramayana akan tetapi totalitas dan ciri khas yang dimiliki kedua dalang Wayang  Ramayana Ida Bagus Sarga  dan I Nyoman Gayung belum tertandingi. Dengan semakin jarangnya pertunjukkan Wayang  Ramayana tentu akan mengancam hilangnya nilai estetik-kultural yang sempat menyumbangkan rasa keindahan dan kedamaian pada masyarakat Bali.

Wayang  Ramayana adalah pertunjukkan wayang kulit yang dipentaskan malam hari. Pertunjukkan wayang ini memakai kelir atau layar dan lampu blencong sebagai pencahayaanya. Lakon-lakon pertunjukkan wayang kulit ini bersumber dari wiracerita Ramayana. Wayang  Ramayana yang sering disebut juga Ngrameyana, biasanya diiringi dengan gamelan yang disebut Batel Gender Wayang yang terdiri dari sepasang gender pemade dan kantil yang dilengkapi dengan sepasang kendang krumpungan, sebuah cengceng ricik, kajar, tawa-tawa, kelenang, suling dan kempur. Di Desa Sukawati, suara instrumen kempur yang dominan dan terdengar ajeg dalam iringan pementasan wayang kulit ini, menyebabkan Wayang  Ramayana secara latah disebut Wayang Kempur.

Selengkapnya unduh disini

Sumeringah Seni Tari Dari Kampus Sekolah Seni

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Jagat seni tari di Bali sedang menggeliat sumeringah. Tengoklah pagelaran 29 karya cipta seni tari pada tanggal 27-31 Mei lalu di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Cipta tari besutan para koreografer muda itu menunjukkan totalitasnya masing-masing dalam rangka menuntaskan tugas akhirnya di lembaga pendidikan tinggi seni itu. Warna-warni karya cipta tari yang ditampilkan mencerminkan sikap dan visi berkesenian yang berkebhinekaan namun dalam satu asa untuk melahirkan cipta tari yang menggugah. Penonton yang setiap malam datang berdesakan, menyimak puspa ragam karya tari tersebut dengan sarat perhatian.

          Pagelaran ujian tingkat sarjana (S1) bidang penciptaan ISI Denpasar memang banyak menyedot perhatian masyarakat pecinta seni pertunjukan, sejak lembaga ini masih bernama ASTI-STSI. Selain menggelar ujian karya seni pedalangan dan seni karawitan, pentas ujian seni tari telah menghadirkan beragam karya cipta yang pantas disimak dan diapresiasi. Para mahasiswa tingkat akhir dengan konsentrasi penuh berproses kreatif serta bereksplorasi menggali berbagai kemungkinan estetik. Dalam pentas ujian tersebut, mereka–para seniman muda yang disemai secara akademis itu–sering melibatkan penari atau penabuh dari lingkungan komunitasnya masing-masing.

          Aneka pengejawantahan estetik, tema,  pesan moral dan kultural dapat disimak penonton dari pagelaran ujian seni tari selama lima malam itu. Ada yang berkarya berpegang pada pakem seni tradisi.  Ada yang berolah cipta, berkreasi dengan greget inovatif. Bahkan tidak sedikit yang bebas terbang lega bereksperimentasi dalam raungan tari kontemporer. Semuanya diberi ruang, sepanjang siap mempertanggungjawabkan. Sementara itu, bingkai-bingkai tema yang disodorkan juga bebas dilontarkan. Tampak tema kepahlawan, kedamaian, dan cinta banyak menjadi pilihan. Demikian pula pesan yang dituturkan masing-masing garapan semuanya ingin mengetuk kesadaran budi dan adab.

          Seni tari–kesenian pada umumnya, adalah nilai budaya yang memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Melalui ungkapan gerak estetis yang terpola, seni tari telah mengisi ruang dan waktu peradaban berbagai bangsa di dunia. Keindahan yang terungkap dalam seni tari merupakan cermin kebudayaan masyarakatnya. Kini di era modern di tengah arus globalisasi ini, seni tari juga berkembang dan mereposisi diri memperjuangkan eksistensi dirinya di tengah dinamika zaman. Tari Bali yang sudah menguak pada zaman prasejarah juga tak luput dari perkembangan dan perubahannnya. Tari yang berfungsi sakral keagamaan pun bertransformasi. Lebih-lebih pada lingkup seni tari sekuler dalam konteks wahana ekspresi estetik, perkembangan dan perubahan itu nyata terlihat, seperti telah terlihat beberapa tahun belakangan dari kampus ISI Denpasar.

Dunia tari adalah helaan nafas dan denyut nadi masyarakat Bali. Hampir dalam setiap ritual keagamaan selalu disertai dengan sajian seni tari.  Selain ungkapan seni tari sebagai persembahan, sejak awal abad ke-20–sebelum era kemerdekaan–di Bali sudah mulai menguak cipta  tari sebagai seni tontonan. Ekspresi estetik dengan bahasa gerak ini dipelopori oleh I Ketut Marya yang menciptakan tari Kebyar Duduk pada tahun 1925, I Nyoman Kaler menelorkan tari Panji Semirang dan tari Mergapati serta I Nyoman Ridet bersama I Wayan Likes melahirkan tari Tenun, semuanya pada tahun 1942. Pasca kemerdekaan, muncul nama I Gde Manik dengan tari Tarunajaya-nya pada tahun 1950 dan juga I Wayan Beratha dengan tari Tani pada tahun 1957.

          Sebelum munculnya Kokar dan ASTI (STSI-ISI)–era pendidikan formal seni pertunjukan di Bali–para kreator seni tari lahir secara alamiah dalam tempaan perjalanan hidup dan kultur lingkungan zamannya masing-masing. Mereka berkesenian semata-semata didorong oleh getaran hati tanpa berpretensi untuk mencipta dalam pengertian sekarang. I Marya misalnya yang secara internasional lebih popular dikenal dengan nama I Mario, melahirkan tari Kebyar Duduk atau tari Terompong secara tidak terencana,  yang,  secara spontanitas merespon gamelan kebyar yang baru pertama kali di dengarnya. Sebutan koreografer dalam arti pencipta atau penata tari belum begitu dikenal di Bali pada era Marya, Kaler, Ridet dan Manik.  Kendati demikian, karya cipta seniman alam itu masih kukuh monumental di tengah masyarakat masa kini.

          Pencipta tari masa kini yang kebanyakan mendapat asupan teori seni di bangku formal, justru  karya-karyanya tak banyak dikenal masyarakat. Ratusan karya cipta seni tari lahir dari buah pemikiran para seniman plus sarjana itu berseliweran gamang seakan tak kuasa menambat hati masyarakat kekinian. Bahkan hampir sebagian besar karya seni tari yang ditampilkan dalam pagelaran ujian ISI Denpasar hanya mengalaman pentas perdana saja. Sangat disayangkan, sesudah dinilai oleh tim penguji, langsung tenggelam bak disapu tsunami. Padahal bila dicermati, karya cipta tari seniman sekolahan itu banyak yang berbobot.

          Tengoklah misalnya karya tari yang dikembangkan dari pakem legong olahan Ni Nyoman Ayu Kunti Aryani bertajuk “Legong Rebab”. Melalui titik pijak inspirasi instrumen berdawai rebab, dieksplorasi secara kreatif pola koreografi tari legong dalam formulasi tari yang apik menawan, berona klasik menggigit dilantuni gamelan slonding nan bening. Simak pula tari kreasi  “Stri Wiroda” karya Made Ayu Desiari yang mengisahkan penghinaan   lahir-batin yang diterima Dewi Drupadi, saat Pandawa kalah berjudi dicurangi Korawa. Tataan koreografi dan visualisasi dramatik dari tari ini sungguh menggetarkan relung moralitas penonton.

Taridong “Ratna Mangali” Menari Sembari Mendongeng

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Menari sembari mendongeng atau mendongeng sambari menari. Inilah sebuah tawaran kreasi seni pentas baru yang diberi nama Taridong yakni perpaduan seni tari dengan seni mendongeng. Senin (9/11) siang lalu disajikan di Wantilan Gedung Pers Bali K. Nadha, Denpasar, pada puncak HUT ke-17 mingguan berita wanita Tokoh. Mengangkat lakon “Ratna Mangali”, Taridong yang dibawakan oleh penari dan pendongeng Bali, Sri Ayu Pradnya Larasari, bertutur tentang kemelut batin seorang wanita yang tak berdaya menghadapi pengkhianatan cinta dan kesewenang-wenangan penguasa. Penonton yang terdiri dari tokoh-tokoh wanita Bali terpukau.

Ratna Mangali adalah seorang gadis cantik jelita putri semata wayang Ni Calonarang, seorang janda yang tinggal di desa Dirah. Entah apa yang menjadi menyebabnya, tak ada seorang pemuda pun yang memiliki keberanian untuk melabuhkan cintanya pada Ratna Mangali. Besar kemungkinan para pemuda yang jatuh hati pada kemolekan Mangali tak bernyali menghadapi Ni Calonarang yang ditakuti penduduk desa sebagai penganut ilmu hitam.  Gara-gara Mangali tak kunjung memperoleh jodoh, Ni Calonarang mengancam akan menebar teror. Raja Airlangga yang membawahi desa Dirah kemudian turun tangan menyusun siasat dengan mengutus Bahula, putra Mpu Baradah, menikahi Ratna Mangali. Bukan main girangnya Ni Calonarang melihat kebahagiaan putrinya bersanding dengan seorang pemuda tampan.

Dongeng dari desa Dirah tersebut, di tengah masyarakat Bali, lazim disajikan dalam dramatari calonarang. Namun, melalui seni seni pentas Taridong yang lebih fokus mengeksplorasi tokoh Ratna Mangali,  terasa mengayun emosi penonton pada persoalan kompleksitas kehidupan, kegetiran cinta, dan hegemoni penguasa terhadap rakyat jelata yang tak berdaya. Nilai-nilai moral yang terlontar dari sajian pentas Taridong “Ratna Mangali” ini memancarkan subtansi kultural yang patut kita renungkan dan koreksi bersama. Misalnya, di tengah masyarakat Bali modern masa kini masih sering menyembul prasangka bahkan tudingan provokatif menuduh seseorang sebagai praktisi leak.

Jagat seni adalah media edukatif mencerahkan. Dongeng sebagai salah satu sumber beragam tema atau lakon ungkapan seni tak bisa dipungkiri sangat kaya dengan kandungan nilai-nilai moralitasnya. Pada masa lalu, ketika budaya sastra lisan masih kokoh, kontribusi tradisi mendongeng berperan penting memberi asupan pada pembentukan karakter masyarakat zamannya. Namun kini, ketika tradisi mendongeng sudah sayup-sayup menjauh, dari manakah generasi sumber insani bangsa kita mereguk nilai-nilai kultural-edukatif untuk membetengi dirinya dari dampak terjangan pengaruh multidimensi negatif-destruktif yang begitu agresif mengiming-imingi kita semua, setiap saat dan setiap waktu, melalui teknologi digital televisi, HP, internet yang demikian merasuk?

Diperlukan kreativitas untuk mereaktualisasikan dan mereposisi tradisi mendongeng di tengah masyarakat kita yang cenderung sibuk dan serba terburu-buru ini. Kreativitas itu, salah satunya melalui seni pertunjukan yang khusus dikemas seperti telah diluncurkan, Taridong, seni tari yang dipadukan dengan seni mendongong. Tentu diperlukan kemampuan khusus bagi para pelaku yang membawakannnya. Pertama, adalah keperigelan menari, termasuk di dalamnya pengkarakteran tokoh-tokoh yang diceritakan. Kedua, adalah kepiawaian mendongeng, tentu termasuk di dalamnya olah vokal dramatik imajinatif. Dua bekal kemampuan ini kiranya sudah cukup untuk mementaskan Taridong. Terakhir, tinggal cerdik memilih dongeng sesuai dengan siapa penontonnya serta konteks peristiwanya.

Sebagai perintis seni pentas Taridong, Sri Ayu Pradnya Larasari yang akrab disapa Laras, telah membekali diri dengan pengalaman sebagai penari dan pendongeng. Alumnus SMA Negeri 3 Denpasar yang kini mulai menapak bangku kuliah di ISI Denpasar ini, sejak SD hingga SMA telah berkali-kali menyabet Juara I se-Bali, baik untuk bidang seni tari  maupun dalam bidang masatua atau mendongeng. Bahkan atas capaian reputasinya itu, tahun 2014 lalu, oleh Pemerintah Republik Indonesia, ia dianugrahkan Piagam Kebudayaan sebagai Remaja yang Berdedikasi dalam Bidang Seni Tari dan Seni Bercerita. Tahun itu juga, gadis berambut panjang ini diutus sebagai duta Festival Dongeng Se-Asia di Korea Selatan.  Kini, melalui seni pentas Taridong, “Saya ingin terus mengasah diri pada kedua bidang seni yang  saya digeluti sejak usia belia, sekaligus ingin menawarkan suatu kreativitas seni dengan harapan diapresiasi masyarakat,” ujar Laras seusai pentas.

Taridong “Ratna Mangali” disajikan Laras dengan sarat totalitas. Diawali dengan utaian tari nan impresif, kemudian melenggang dengan rona wajah kemayu menuju ke tengah panggung. Menggunakan tata busana modivikasi kain cepuk dengan sedikit ornamen prada, kisah dimulai. Dibuka dengan kalimat: Tersebutlah di sebuah desa yang bernama Dirah, kemudian digarisbawahi dengan alunan tembang pupuh ginada basur: kocapan ni calonarang, okan nyane ratna mangali. Ratna Mangali digambarkan Laras dengan kalimat: segala tanda tanya berkecamuk dalam batin Mangali, namun tak berani mempertanyakan kepada ibunya yang pemberang. Namun setelah Bahula kabur mencuri buku tenung ibunya, Ratna Mangali menggugat menumpahkan isi hatinya. Ungkap Laras dengan suara lantang: Kenapa Bahula mengkhianatiku? Kenapa ibuku harus menyabung nyawa demi mempertahankan harga dirinya? Kenapa? Kiranya, seni pentas  Taridong akan terus mempertanyakan berbagai persoalan kemanusiaan dengan kehidupannya, lewat kisah dongeng yang lain.

Seniman Sukawati Gianyar Mengguncang Dunia

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Sebuah perhelatan seni budaya internasional digelar di Purwakarta, Jawa Barat, 29 Agustus lalu. Kendati hanya berlangsung semalam–sejak pukul 19.00-24.00 WIB–namun festival ini sungguh-sungguh berkelas dunia. Tengoklah, 14 negara mengirim duta-duta seninya. Ke-14 negara tersebut diantaranya Italia, Meksiko, Turki, Mesir, Afrika Selatan, Korea, India, China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Tuan rumah Indonesia diwakili oleh insan-insan seni dari Desa Sukawati, Gianyar, Bali. Desa Sukawati tampil sebagai pamungkas festival dengan garapan bertajuk “Matahari Nusantara”.

          Pentas seni budaya mancanegara ini adalah puncak dari peringatan hari jadi Purwakarta ke-184. Pementasan dipusatkan dalam sebuah panggung megah yang disebut  Maya Datar, terletak di depan pendopo pemerintah Kabupaten Purwakarta. Ribuan penonton merangsek mengepung areal pementasan, namun tak semuanya bisa masuk. Penonton yang tak mendapat bagian di dalam, tak pantang menyerah dan dengan semangat menyaksikan dari luar pagar besi. Festival yang bernama resmi Cultural World Festival ini, tampak menjadi peristiwa budaya bersejarah yang menghebohkan masyarakat  Jawa Barat.

          Dipandu oleh presenter nasional, Indra Herlambang dan Ersa Mayori, festival seni budaya dunia ini menjadi pesta keberagaman budaya dalam berbagai ungkap seni,  dari seni bela diri khas China, Kungfu, hingga tarian sufi Mesir, dari tarian Baghara dari India hingga seni  Folk dari Italia. Masing-masing duta seni tampil memukau penonton sekitar tujuh hingga 10 menit, kecuali Indonesia (Sukawati) yang menggebrak di puncak festival selama setengah jam. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama para undangan perwakilan kedutaan negera-negara yang duta seninya tampil dalam festival, menyimak antusias pertunjukan di atas panggung.

          Hinteria penonton bergemuruh menyambut penampilan Sukawati. Berkekuatan 100 orang (penari, penabuh, koor, dan dalang/narator), sajian para seniman Sukawati rupanya memang ditunggu-tunggu penonton. Kang Dedi, panggilan akrab Dedi Mulyadi, dalam siaran persnya beberapa hari sebelumnya, memang telah berkali-kali menginformasikan bahwa persembahan seni Desa Sukawati jangan sampai dilewatkan untuk diapresiasi. Pernyataan orang nomor satu di Kabupaten Purwakarta ini, bisa jadi mengacu kepada kesannya sendiri ketika menyaksikan garapan seni seniman Desa Sukawati berjudul  “Siwa Murti Wisesa Sakti” di Balai Budaya Gianyar tanggal 19 April lalu.

Ditunjuknya para insan seni Desa Sukawati untuk tampil di forum seni budaya dunia itu berawal dari Balai Budaya Gianyar. Penampilan garapan  seni pentas kolosal Sukawati menggugah hati salah satu undungan kehormatan, yaitu Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Seusai menyaksikan seni pentas tersebut, beliau melontarkan apresiasi yang tinggi kepada tim penggarap. Antusiasismenya diungkapkan dengan undangan langsung agar Sukawati tampil pada festival seni budaya dunia yang direncanakan digelar pada bulan Agustus 2015 di Purwakata. “Saya yakin saat festival nanti, ribuan penonton akan membludak, menyimak penampilan tim kesenian utusan 15 negara, termasuk sajian Desa Sukawati duta Gianyar, Bali, yang menjadi wakil Indonesia,” ujar Dedi Mulyadi bersemangat.

          Ketika perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar itu, Sukawati menyajikan garapan seni pertunjukan dengan lakon yang bertema dunia seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.

          Pesan damai dari indahnya seni itu, dalam penampilan Sukawati di festival  budaya dunia di Purwakarta kembali digaungkan. Lakon “Matahari Nusantara” pesan intinya adalah hidup berkeadaban dengan damainya seni. Alkisah, pada abad ke-6 Masehi, bangsa Galuh di belahan barat Jawa Dwipa telah menggapai peradaban tinggi. Bangsa inilah yang mengawali lahirnya sistem pemerintahan kerajaan pertama di dunia. Sebuah ajaran welas asih, berhasil menuntun kerajaan Galuh merengkuh era kejayaannya. Ajaran yang mengandung cara hidup manusia yang beradab itu, dihormati takzim dengan sebutan Sundayana. Sunda bermakna matahari dan yana adalah ajaran hidup. Sembilan abad kemudian, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran nan masyur  keturunan bangsa Galuh, menaruh hormat pada ajaran Sundayana warisan leluhurnya. Untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian, Prabu Siliwangi dengan penuh welas asih arif bijaksana, mengayomi jagat seni dan menggalang fajar kehidupan yang berbudaya.

          “Matahari Nusantara” persembahan Sukawati mengundang decak penonton. Unsur-unsur seni Jawa Barat dan Nusantara yang diramu dalam tari, gamelan, dan olah vokal menggugah rasa cinta budaya daerah dan kebhinekaan Nusantara. Ketika pada bagian akhir garapan mengepak figur Garuda yang diiringi lagu rakyat Jawa Barat, Manuk Dadali, ditingkahi gerak tari nan rampak, segenap penonton berdiri, termasuk Kang Dedi, ikut bernyanyi riang. Di akhir pementasan, secara spontan Ki Dalang Sujiwo Tejo didampingi Kang Dedi masuk panggung, menembang dan berpuisi. Garapan seni “Matahari Nusantara” Sukawati  berbinar gemilang, penonton terpana.                         

Festival Topeng Internasional Indonesia Tanpa Topeng Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Dinginnya malam yang cukup menggigit Kota Solo, Jawa Tengah, pada 14-15 September 2015, dihangatkan oleh sajian beragam karakter topeng oleh sebuah perhelatan dengan label Indonesia International Mask Festival (IIMF). Pentas seni pertunjukan topeng bertarap internasional ini disokong oleh Kementeriaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Tak kurang dari 13 peserta dari dalam dan luar negeri ditampilkan di Benteng Vastenburg dan ISI Surakarta. Sajian seluruh peserta diarahkan pada fokus tema The Greatest Panji.  Kitab Negarakertagama (abad ke XIII) menuturkan, cerita Panji telah menyebar luas hingga ke Asia Tenggara. Karena itu, penggiat tari topeng dari  Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Singapura pun hadir unjuk kebolehan.  Dari dalam negeri tampil pelaku tari topeng dari sejumlah daerah di Pulau Jawa. Penari topeng dari Bali?

Tari topeng Bali rupanya luput dari hitungan penyelenggara festival. Padahal Bali adalah wilayah kultural yang kaya dengan beragam seni pertunjukan bertopeng. Selain itu, cerita Panji yang diusung sebagai tema festival, menyebar luas dan terinternalisasi mendalam di tengah masyarakat Bali. Tengok Gambuh, dramatari tua yang dianggap sumber tari dan gamelan Bali atau lihat pula teater rakyat Drama Gong, lakon-lakon utamanya bersumber dari cerita Panji. Rupanya, soal tak diundangnya Bali dalam perhelatan seni akbar itu mungkin karena tidak adanya seni pertunjukan bertopeng yang mengisahkan cerita Panji. Apa boleh buat, keindahan tari topeng Bali tak sempat disimak penonton festival tersebut. Padahal dramatari topeng Bali yang lazim menuturkan lakon babad dapat saja tampil dengan cerita Panji dimana tokoh Panji menggunakan karakter topeng Arsawijaya. Tapi sudahlah, mari cermati satu wakil dari dalam negeri (Topeng Losari Cirebon) dan satu wakil dari luar negeri (Singapura).  Jika duta seni Negeri Singa menyuguhkan tari topeng kontemporer, Topeng Losari hadir dengan ketradisiannya yang kental.

Identitas Kental

Sajian Topeng Losari ditandai dengan sebuah gawang 3×3 meter yang digelayuti beragam hasil pertanian. Pisang, terong, jagung, padi, dan umbi-umbian itu menjadi bingkai penampilan Topeng Losari Cirebon. Siang itu, Sanggar Topeng Purwa Kencana Cirebon tampil di panggung tertutup ISI Surakarta. Tak kurang dari 30 menit penonton menyimak penampilan generasi ketujuh dari salah satu gaya topeng Cirebon itu. Gaya Losari yang tata tarinya bernuansa Jawa Tengah tersebut kini eksis dan bahkan telah melawat ke luar negeri.

Penampilan Topeng Losari diawali oleh hadirnya seorang penari membelakangi penonton duduk khusuk di depan kotak wayang yang dikawal oleh seorang juru kecrek pria. Setelah gending gamelan bergulir dua-tiga menit, perlahan sang penari bangkit. Inilah penampilan tari Pamindo dengan topeng berwarna putih. Di Losari, topeng ini disebut Topeng Panji karena tokohnya bernama Panji Sutrawinangun. Laku estetika tubuh topeng Panji mengalir halus dan karismatik. Namun karena topeng ini menggambarkan karakter seorang raja yang berwibawa maka ditengah alunan kehalusannya muncul aksen-aksen gerak lugas yang mencerminkan ketegasan. Setelah topeng Panji berlalu mulailah pendramaan lakonnya yang menjadi identitas Topeng Losari. Topeng Cirebon pada umumnya terikat oleh struktur baku dengan sajian sekian watak manusia.

Selengkapnya unduh disini

Loading...