Regenerasi Penari Tayub Di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Jan 22, 2010 | Artikel

Oleh: Y. Murdiyati dan Sunaryo (Dosen pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta )

Di Jawa terdapat wujud kebudayaan yang dalam persebarannya sering muncul unsur-unsur yang sama, karena pengaruh kondisi lingkungan dan waktu. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai konsep adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya itu. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Mengingat hal tersebut, guna kepentingan analisis konsep kebudayaan, perlu dikemukakan unsur-unsur kebudayaan universal, sekaligus sebagai isi semua kebudayaan yang ada di dunia, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian halnya dalam pembicaraan kebudayaan di Tambakrama juga dapat menghubungkan kesenian khususnya Tayub dengan unsure-unsur yang terkait, misalnya masalah-masalah kehidupan masyarakat termasuk yang remaja, komunikasi, pendidikan kesenian, ekonomi, dan komersial kesenian yang dikembangkan oleh turisme, dan aspek politis kesenian yang harus diterapkan dalam proses pembinaan kepribadian dan integrasi nasional.

Kebudayaan tersebut minimal memiliki tiga wujud, yakni: (1) wujud kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola pada manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda-benda hasil karya manusia.  Wujud pertama yaitu ide, gagasan dan sebagainya yang bersifat abstrak, misalnya ide untuk menciptakan karya ilmiah atau karya tari, baik tari klasik maupun tari rakyat. Mengingat salah satu tari rakyat yang sekaligus dijadikan objek penelitian ini adalah tari Tayub di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, maka contoh wujud pertama kebudayaan tersebut misalnya adat nanggap Tayub dalam upacara Rasulan atau bersih desa, nadaran, perkawinan, khitanan, pengobatan dan sebagainya.

Menurut Marsiyono, keberadaan Tayub dalam upacara-upacara tersebut dilakukan secara turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini Kluckhon menyatakan bahwa  mengingat kebudayaan merupakan proses belajar, bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis, maka seharusnya wujud pertama kebudayaan yang telah dipaparkan, disosialisasikan kepada masyarakat remaja khususnya sebagai generasi penerus, agar secara keseluruhan dapat dipahami, bahkan dipertahankan (dilestarikan, dibina, dikembangkan) dalam kehidupan sosial sesuai dengan perkembangan zaman. Namun kenyataannya wujud kebudayaan tersebut kurang disosialisasikan atau tidak ada kegiatan pembelajaran tari Tayub bagi generasi penerus.

Wujud kedua sering disebut sistem sosial, yang terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul, dan selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat setempat, misalnya aktivitas dalam penyelenggaraan upacara Rasulan, pertunjukan Tayub, berorganisasi dan sebagainya. Sistem sosial di Tambakrama misalnya aktivitas manusia yang berinteraksi selalu mengikuti pola-pola berdasarkan adat seperti halnya sikap saling menghormati, beretika (bersopan santun, bertata krama), bersatu, gotong royong, solider, terbuka dan sebagainya. Kenyataannya para remaja kurang memperhatikan perihal etika dalam kehidupan sehari-hari, padahal seharusnya bila kebudayaan itu telah dipahami, sudah barang tentu tercermin pula dalam perilaku mereka. Selain itu, para remaja juga kurang berminat masuk organisasi untuk menggalakkan kegiatan pembelajaran tari Tayub, sehingga pengurus, guru atau penari senior, dan organisasi itu sendiri tampak kurang berperanan dalam mempertahankan tari tersebut. Dengan kata lain, kurang terjalin kerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran (workshop) tari Tayub. Padahal, seharusnya seluruh komunitas itu menjalin kerjasama untuk mencari strategi demi mempertahankan kehidupan Tayub dalam masyarakat.

Tidak berbeda halnya dengan wujud ketiga atau kebudayaan fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia. Di Tambakrama misalnya salah satu cabang kebudayaan yakni kesenian Tayub, sebenarnya komunitas masyarakat kesenian itu memiliki balai desa dan seperangkat instrumen gamelan jawa,  yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar tari Tayub, juga beberapa stel kostum tari. Hanya wujud fisik tersebut kurang dimanfaatkan untuk membentuk komunitas generasi penerus, sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup tari Tayub. Oleh karena itu, diharapkan adanya sponsor untuk menyelenggarakan pembelajaran tari Tayub secara rutin khususnya bagi para remaja. Kesenjangan itulah antara lain yang mendorong dilakukannya penelitian ini, sekaligus sebagai alasan penelitian. Selain belum ada yang meneliti, alasan lainnya adalah kurangnya budaya sarasehan, diskusi, seminar, ceramah, pelatihan atau pembelajaran tari Tayub dan sebagainya.

Regenerasi Penari Tayub Di Tambakrama, Ponjong, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...