Ritual Puja Pitara

May 28, 2015 | Artikel

Kiriman : Tri Haryanto, S.Kar., M.Si., (Dosen Fakultas Seni Pertunjukan), Galih Febri Hastiyanto Dan Gading Nova Dwi Aryanto (Mahasiswa Prodi Musik)

Abstrak

Ritual puja pitara merupakan kegiatan umat Hindu Banyuwangi dalam mengingat leluhur dan mengirimkan doa atau menghaturkan pemujaan terhadap Tuhan agar leluhurnya mendapatkan ampunanNya. Kegiatan ini, bisa dilakukan di rumah para umat atau disatukan di Pura setempat para umat mengempu tempat suci (Pura). Pelaksanaan puja pitara juga tidak harus pada hari tertentu, namun bisa dilaksanakan pada hari Selasa malam Rabu dalam kegiatan rutinitas umat dalam melaksanakan pemujaan kepada Tuhan (Hyang Widhi). Tidak menutup kemungkinan juga bisa pada hari tertentu yang dilaksanakan bertepatan pada hari meninggalnya leluhur yang akan didoakan, sesuai dengan kehendak umat yang ingin melaksanakan ritual puja pitara.

Kata kunci: puja pitara, ritual, reboan

Pendahuluan

photo1Dalam ritual puja pitara, terkadang dilaksanakan dalam event Reboan sehingga tidak merubah jadwal yang telah ditetapkan untuk setiap seminggu sekali yang jatuh pada hari selasa malam. Tidak menutup kemungkinan bahwa umat yang menyelenggarakan puja pitara membuat jadwal pelaksanaannya sesuai dengan keinginannya, dengan alasan agar pelaksanaannya sesuai dengan hari-hari penting menurut hitungan masyarakat Jawa, terutama dalam menentukan hari pelaksanaan mengirim doa bagi anggota keluarga yang telah meninggal. Hitungan untuk pelaksanaan kiriman doa bagi orang yang meninggal tersebut dimulai dari satu hari, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (sepertiga dari seribu hari kira-kira 330 hari), pendak pindo (dua pertiga dari seribu hari kira-kira 660 hari), dan seribu hari. Namun dalam pelaksanaannya, biasanya dilakukan lebih awal dari hitungan yang sebenarnya, seperti pelaksanaan kirim doa hari ketiga dilaksanakan pada hari kedua setelah meninggal, hari ketujuh dilaksanakan pada hari keenam setelah meninggal dan seterusnya (Wawancara dengan Djoyo Suparto, tanggal 8 Nopember 2014).

            Kirim doa yang biasa disebutnya puja pitara, oleh masyarakat umat lain juga biasa dilakukan meskipun sebutannya berbeda, seperti dalam umat muslim disebutnya dengan kirim luhur dengan mengadakan pengajian atau yasinan. Sebutan yasinan dikarenakan pada kesempatan itu, ayat yang harus dibacakan adalah ayat yang bernama “Yasin” dari Al Quran. Kegiatan ini, oleh masyarakat sudah umum dengan sebutan kirim donga yang berarti mengirim doa kepada anggota keluarga yang telah meninggal, dengan maksud agar arwah yang telah meninggal mendapatkan ampunan dari Tuhan dan diterimanya semua amal bakti semasa hidupnya, mendapatkan tempat yang sesuai dengan kehendak anggota keluarganya, yaitu surga yang telah dipersiapkan Tuhan untuk umat-Nya.

            Dalam tradisi umat Hindu di Desa Seneporejo, puja pitara merupakan bagian terpenting dalam penghormatan terhadap leluhurnya. Bahkan pelaksanaan puja pitara tidak hanya pada hitungan tertentu yang biasa dilaksanakan untuk menghormati leluhur oleh masyarakat umum, setelah seribu hari pun masih tetap dilakukan kirim doa. Oleh para umat seperti yang dikatakan Sutariyanto, bahwa kewajiban kita sebagai ahli waris dari leluhur memiliki tanggung jawab yang tak terbatas pada hitungan hari, kalau diberi kesempatan yang lebih luas seharusnya sebagai ahli waris harus selalu melaksanakan puja pitara pada jatuhnya hari geblag atau hari meninggalnya almarhum pada saat itu (Wawancara, tanggal 7 Nopember 2014).photo2

            Tradisi yang telah melekat pada kehidupan umat beragama di Banyuwangi pada umumnya, puja pitara atau sebutan lainnya di umat beragama lain sudah lazim dilaksanakan dengan keiklasan. Hal itu menjadi dasar pengorbanan dari umat dalam menghormati para leluhur, sesuai dengan konsep yadnya umat hindu dalam menghormati para leluhurnya. Kewajiban yang dimiliki oleh ahli waris, memang selayaknya dilaksanakan dengan dasar iklas, karena keiklasan memberikan rasa kedamaian baik leluhur yang dikirim doa maupun bagi keluarga ahli waris yang melaksanakannya. Kedamaian dapat membangkitkan semangat hidup, sekaligus membimbing untuk selalu ingat dengan kewajibannya masing-masing sesuai dengan darma yang seharusnya diperbuat di dunia.

ESTETIS

            Panembrama dalam fungsi estetis, dapat dirasakan dari sisi estetika vokalis yang melagukan tembang panembrama, baik yang mandiri maupun jenis vokal bersama. Keindahan dalam sajian panembrama, tidak terikat dalam kaidah karawitan yang menggunakan medium gamelan, karena pada realitas sajian panembrama menggunakan tempo, irama, dan laya dengan kehendak yang melagukan, tidak seperti dalam karawitan yang memiliki aturan tempo, irama, dan laya terkendali, yang dilakukan oleh kendang sebagai pengatur (pamurba) irama. Meskipun yang dilagukan merupakan bentuk gerongan namun dalam pelaksanaan sajian, penyaji tidak menggunakan ketukan yang stabil atau dalam istilah musik disebut metrik (matra), bahkan terkesan saling mengejar atau cannon dalam istilah musik (susul menyusul). Hal itu bukan berarti disengaja, lebih pada ekspresi dari pelaku yang menyajikan panembrama, karena ada salah satu yang memberikan ketukan dengan lambaian tangan yang ditepukkan ke pahanya, namun irama tetap saja keluar dan mengalir begitu saja dari pelantun vokal tanpa sesuai dengan orang yang memberikan ketukan tersebut.photo3jpg

            Estetika yang muncul dari sajian ini, masing-masing vokalis bisa melantunkan sesuai kreativitasnya sendiri-sendiri, tanpa harus sama dari sisi not musikal yang ada. Pengembangan vokal yang disebutnya gregel, masing-masing vokalis memiliki pengembangan yang berbeda-beda, sehingga dalam satu sajian vokal bersama (gerongan) terdengar bisa bervariatif. Sebagai contoh dalam vokal sendiri atau yang melaksanakan bawa dan vokal bersama dalam bentuk gerongan.

RITUAL

            Bila merujuk Malinowski dengan teori fungsionalnya yang mengatakan bahwa apa yang menjadi milik suatu masyarakat merupakan sesuatu yang sangat berfungsi. Melihat perubahan sosial dan budaya dalam suatu kelompok etnis yang ditentukan oleh perkembangan fungsi-fungsi struktur dalam masyarakat, maka panembrama juga merupakan milik masyarakat khususnya masyarakat hindu di desa Seneporejo dan sekitarnya yang memiliki fungsi. Secara estetis, panembrama dapat berfungsi sebagai sajian yang memiliki nilai estetis sangat tinggi, sejajar dengan seni pertunjukan yang adi luhung lainnya. Secara pertunjukan, panembrama memiliki fungsi sebagai sarana ritual, sarana penyampai keindahan bahasa, penyampai keindahan nada (estetis), sebagai sarana sosial, dan sebagai sarana mencari nafkah. Rincian dari masing-masing fungsi dapat dijabarkan dalam sub bab berikutnya.

            Ritual keagamaan umat Hindu di Banyuwangi, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan upacara keagamaan Hindu Bali, namun tidak semua jenis upacara keagamaan Hindu Banyuwangi menggunakan panembrama. Seperti telah dijabarkan dalam bab sebelumnya mengenai bentuk panembrama, menunjukkan bentuk panembrama telah memiliki fungsinya masing-masing, diantaranya selain untuk persembahyangan juga difungsikan dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, dan peringatan Ciwa Ratri.

    photo4Untuk panembrama yang difungsikan sebagai upacara persembahyangan dengan urutan telah terurai seperti dalam bentuk panembrama untuk ritual puja pitara atau masyarakat Seneporejo menyebut Reboan.

Dalam persiapan ini, pemimpin panembrama (Sutariyanto) sudah mempersiapkan gending pembuka, yaitu gending Kinanthi Padang Bulan yang dilanjutkan ladrang Cluntang dengan diikuti oleh semua umat yang datang dan bisa mengikuti gending yang disajikan.

Selesainya sajian ladrang Cluntang, pemangku sudah memulai dengan penghaturan sesaji yang disiapkan oleh tuan rumah. Kemudian panembrama yang dipimpin oleh Sutariyanto melakukan sajian panembrama hingga akhir dari Pemangku selesai menghaturkan sesaji. Sajian ini dimulai dengan bawa yang berjudul bawa Gambirsawit yang dilanjutkan sajiannya dengan Ketawang Kinanti Pawukir. Sedangkan arti Pawukir adalah gambaran. Namun dalam konteks ini, pawukir untuk sasmita atau pertanda untuk masuk ke sajian berikut yang berjudul ketawang kinanti Pawukir.

Setelah sajian gending/lagu ketawang Kinanti Pawukir, sajian dilanjutkan dengan bawa Sinom sekar macapat cengkok Tawang, yang dilanjutkan gending Ladrang Pucung, Dandanggula sekar macapat (cengkok gedong kuning) dilanjutkan gending Widasari, Ladrang Kaduk Rena, dan ladrang Panjang Ilang. Pada sajian Panjang Ilang ini, pembantu Pemangku sudah membagikan sarana sembahyang kepada semua umat. Sajian berikut adalah sajian bawa Asmarandana dan Pucung sampai seluruh umat yang datang menerima sarana persembahyangan bersama. Dari sajian Pucung, persembahyangan bersama yang dilaksanakan oleh semua umat yang datang, pada saat itu tidak ada kegiatan sajian panembrama. Setelah persembahyangan bersama selesai, dilanjutkan dengan bawa Sinom cengkok Grendel yang dilanjutkan ke Ayak-ayak Pamungkas dan acara upacara Puja Pitara sudah selesai.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...