Tata Busana Adat Bali

Feb 4, 2010 | Artikel

Kiriman I Ketut Darsana Dosen PS. Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan, diterbitkan dalam jurnal Mudra.

Busana Agung merupakan busana tradisional Bali yang paling mewah. Busana ini terlihat gemerlap bak pakaian seorang raja beserta permaisurinya yang cantik dan anggun. Busana agung di Bali bentuknya juga beragam tergantung dari daerah dimana busana adat itu berada. Antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali memiliki kesamaan dan juga perbedaan dalam hal Busana agung ini. Namun untuk lebih mudah mengenali Busana Agung sebaiknya dilihat pada Busana agung yang paling umum digunakan. Busana jenis ini umumnya dipergunakan dalam rangkaian upacara “Potong Gigi” dan Perkawinan.Saat persembahyangan di halaman rumah untuk memohon keselamatan kehadapan Hyang Widhi sampai naik ke balai-balai tempat Potong Gigi berlangsung para remaja yang akan mengenakan busana jenis ini. Busana ini juga masih tetap digunakan tatkala upacara merajah menulisi dengan huruf sakti pada tempat-tempat tertentu di badan dan ke enam gigi yang akan diasah, mabiakala, natab ayaban, mapadampel, serta saat mejaya-jaya mohon keselamatan dan kesejahteraan.

Busana Agung memang beragam  sesuai dengan desa-kala-patra (tempat, waktu, dan keadaan) setempat. Kain yang digunakan adalah wastra-wali khusus untuk upacara. Kadangkala juga bisa diganti dengan wastra putih, simbol penggerak kesucian. Yang paling umum wastra- wali seringkali diganti dengan kain songket, karena kain jenis ini sangat pas untuk mewakili kemewahan dengan gemerlap benangnya. Bagaimana pun kain jenis ini melambangkan status atau prestise bagi pemakainya. Selain mengenakan wastra kain sang pria juga menggunakan kampuh gelagan atau dodot yang ukurannya sama dengan kain yang dipakai. Kampuh ini juga dipakai hingga menutupi dada, karena si pria tidak mengenakan baju. Pada punggung seringkali tersembul keris yang rebah ke kanan. Biasanya keris yang disungkit adalah keris pusaka keluarga yang berhulu emas bertahtakan permata atau berbilah gading bagi yang punya. Hiasan kepala yang digunakan berupa petitis atau gelungan terbuat dari emas, dengan beberapa bunga emas, dan bunga segar yang bertengger di bagian belakang.

Adakalanya gelungan diganti dengan ikat kepala biasa atau sering disebut destar terbuat dari kain songket yang tidak kalah gemerlapnya. Langkah yang gagah, memegang ujung kain yang menjuntai panjang ke bawah, memberi nilai tambah bagi kelelakian seseorang di kala upacara berlangsung.

Bagi wanitanya, yang paling menarik untuk ditatap tentu hiasan kepalanya yang berupa petitis emas, ron-ronan yang dihias dengan rangkaian bunga cempaka di bagian belakang dikombinasikan dengan bunga kembang sepatu berwarna merah yang lazim disebut pucuk bang atau pucuk rejuna yang dipasang di tengah bagian muka gelung agung. Kembang sepatu ini bisa diganti dengan mawar merah atau bunga kenyeri susun merah yang tetap mengesankan meriah dan anggunnya paras sang wanita. Di lain tempat gelung agung biasa diganti dengan bancangan bunga tanpa petitis, dan ron-ronan.

Namun hiasan bunganya tetap sama, termasuk peran bunga emas yang sering mendominasi. Unsur lainnya adalah kain berwarna gelap yang disebut wastra wali cokordi, wastra wali keeling, atau wastra wali bias membah. Sebelum kain yang khusus ini dikenakan, wanita yang berbusana agung mengenakan terlebih dahulu kain lapis dalam yang disebut sinjang atau tapih yang nampak keluar dari batas bawah kain, yang ujungnya mengarah ke belakang, terlepas bebas diantara kedua kaki sang wanita.

Sinjang ini pada akhirnya seolah mengatur langkah wanita menjadi pelan namun anggun. Stagen atau pepetet juga dikenakan, dengan ciri khas terdiri dari potongan kain warna-warni yang indah dan harmonis ditambah dengan lukisan prada emas. Yang terakhir adalah peran selendang yang disebut wastra wali petak sari atau wastra wali kesetan gedebong dengan warna kuning sekaligus berfungsi sebagai penutup dada, dengan ujungnya menggelantung bebas ke belakang, melalui bahu kiri.

Busana Adat Reresonan adalah busana untuk bekerja dalam segala macam kegiatan adat. Karena itu, busana jenis ini ditata ringkas dan sederhana baik bagi wanita maupun prianya. Pada dasarnya baik wanita ataupun prianya hanya memakai kain serta penutup dada. Khusus untuk prianya, penutup dada disebut saput atau kampuh bisa langsung menjadi ikat pinggang, dan dinamai bebed, atau ubed-ubed. Kadangkala saput dipakai dengan ikat pinggang yang disebut sabuk tubuan seperti dikenakan remaja desa adat Tenganan Pegringsingan. Mereka menyebutnya saput mebasa-basa. Kini baik wanita maupun pria melengkapi dirinya dengan baju, saat mengenakan busana adat reresonan

Busana Adat Modern, busana adat ini banyak memunculkan kreasi-kreasi baru, namun tetap memakai pola dasar tradisional. Bagi wanita mengenakan baju kebaya, selendang yang dijadikan stagen, serta kain. Sanggul wanita tetap dipilih sanggul tradisional Bali. Sedangkan untuk remaja lebih sering tidak mengenakan sanggul. Yang terpenting pada penggunaan busana jenis ini adalah pemilihan warna yang serasi antara kain, baju, selendang, serta aksesoris yang dikenakan. Bagi  pria busananya terdiri dari destar atau ikat kepala, baju, kain, kampuh yang menyelimuti kain, umpal yang mengikat kampuh. Busana jenis ini sangat umum dipakai saat ini.

Dalam keseharian, untuk menghindari terlepasnya sanggul, wanita Bali akan mengenakan pengikat sanggul yang lazim disebut “teng kuluk”. Di tempat umum seperti pasar-pasar tradisional, tengkuluk sangat lazim digunakan oleh masyarakat. Jenis dan bentuk tengkuluk pun sangat be-ragam. Salah satu diantaranya ya lelunakan. Lelunakan sendiri merupakan pengembangan tengkuluk dalam bentuknya yang manis dan indah, karena kain yang dipakai bukan lagi handuk, melainkan selendang. Kain selendang yang digunakan untuk lelunakan ujung-ujungnya tertata rapi serta memiliki bukaan yang lebar, sehingga lebih melindungi kepala dan mengikat rambut yang tergelung lebih erat.

Lelunakan yang menambah ayunya wanita Bali ini, pada awalnya merupakan pengikat kepala dan rambut wanita Desa Adat Badung. Dalam perkembangannya, cenderung menjadi milik khas wanita seluruh Kabupaten Badung. Bahkan karena keindahannya, sekarang telah menjadi milik wanita Bali, secara keseluruhan. Lelunakan biasanya digunakan dalam upacara kematian di banjar yang dikenal dengan Ngaben, dengan aneka rangkaiannya. Lelunakan menjadi semakin populer saat diciptakannya tari Tenun sekitar 1960–an. Si penari Tenun yang tentunya para remaja pilihan berparas ayu tampil di pentas dengan gelung lelunakannya yang dimodifikasi begitu indah dan asrinya. Maka jadilah lelunakan ini hiasan kepala wanita Bali yang memikat dan semakin popular, bahkan sudah pula dipakai pada acara resmi diluar kegiatan adat.

Perlu diketahui bancangan merupakan alat untuk menancapkan bunga. Disamping menghias kepala wanita, bancangan dipergunakan pula untuk menghiasi beberapa jenis sesajen atau sarana pemujaan lainnya, seperti gebogan, prani, gegaluh, pratima, pralingga, dan pecanangan saat upacara keagamaan. Tangkainya bancangan umumnya terbuat dari bambu sedangkan tempat menancapkan bunga terbuat dari kawat yang dibentuk seperti spiral, sehingga bunga yang tertancap bisa bergerak gemulai kala dipakai.

Sebagai bagian dari busana wanita Bali, bancangan umum dipakai dalam Tari Pendet, Tari Sisia, atau saat prosesi yang dinamai peed dilakukan. Dalam momen seperti itu, bancangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu mahkota kebesaran atau gelung-agung.

Kerangka Bancangan terbuat dari rotan kecil yang kalau di Bali disebut penyalin. Tempat menancapkan bunga diatur sedemikian rupa yakni mengecil ke atas. Namun bentuk keseluruhannya tetap berbentuk bulan sabit, atau Ardha Chandra seperti yang terlihat pada gelung agung gelung janger, onggar-onggar rejang Bungaya dan Rejang Asak. Warna bunga jepun Bali yang dipakai adalah yang berwarna putih dengan pangkal helai bunga berwarna kuning. Bunga ini selanjutnya diimbuhi kembang kuning Alamanda di bagian bawahnya, denga tajuk mahkota digunting sehingga selaras proporsi dan komposisinya dengan bunga jepun.

Satu lagi, di puncak tengah bancangan dipasang sekuntum bunga mawar merah atau sekuntum pucuk bang kembang sepatu warna merah yang juga disebut pucuk rejuna. Dengan gradasi dan komposisi warna yang manis dan indah itu, bancangan jepun sampai sekarang menjadi salah satu mahkota wanita Bali yang sangat popular.

Onggar-onggar entah kapan diciptakan, dan entah siapa penciptanya, hiasan kepala seunik dan seindah Onggar-onggar menjadi ada dan acapkali digunakan pada suatu acara di desa adat. Onggar-onggar merupakan gelung hiasan kepala di desa adat Bungaya Karangasem. Hiasan kepala ini dipakai para wanita penari Rejang Saput Karah. Gelung Onggar-onggar diselipi bunga emas yang disebut sekar sasak. Sehingga mahkota rejang itu membuat sang penari tampak semakin anggun.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...