Bhisma Dewabharata, Ksatria Unggul Berbudi Luhur

Jun 24, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011 ini, mengangkat tema “Desa, Kala, Patra: Adaptasi Diri dalam Multikultur“. Desa, kala, patra adalah kearifan lokal masyarakat Bali yang menjunjung realitas keragaman budaya yang luwes yaitu senantiasa menyesuaikan diri terhadap tempat, waktu, dan situasi yang sedang berkembang. Berdasarkan bingkai tema tersebut, seluruh aktivitas dan kreativitas seni yang digelar dalam PKB 2011 wajib mengacu pada nilai-nilai multikulturalisme dimaksud. Sendratari “Bhisma Dewabharata“ garapan ISI Denpasar yang disuguhkan pada pembukaan PKB tanggal 10 Juni juga berorientasi kreatif dari tema itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gubernur Bali Mangku  Pastika, undangan kehormatan dan para penonton yang memadati panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, menyimak dengan tekun sendratari yang berdurasi hampir satu jam itu.

Lakon “Bhisma Dewabharata“ diangkat dari epos Mahabharata episode Adi Parwa. Secara etimologis, bhisma berarti sumpah suci, dewa adalah manifestasi Tuhan, dan bharata adalah kebenaran. Sebagai sebuah judul, “Bhisma Dewabharata“ bermakna “seorang kesatria keturunan  dewa,  tulus ikhlas mewujudkan  sumpah sucinya yang diabdikan untuk menegakkan kebenaran“. Dewabharata adalah putra raja Sentanu dari negeri Hastina. Nama Dewabharata diberikan oleh wanita yang melahirkannya, Dewi Gangga, penjelmaan bidadari. Dewabharata kemudian masyur sebagai Bhisma setelah mengucapkan ikrar sakral maha berat.

Alkisah, Dewabharata, seorang ksatria yaang cerdas dan gagah berani. Sebagai putra mahkota, ia diharapkan menjadi pemimpin agung Hastinapura. Suatu hari, ayahnya, Raja Sentanu jatuh cinta dengan seorang gadis jelita yang bernama Satyawati, anak seorang nelayan sungai Yamuna. Raja Sentanu ingin menjadikannya permaisuri. Tetapi karena syarat yang diajukan Satyawati terlalu berat menyebabkan sang raja sakit. Demi rasa kasih pada ayah tercinta, Dewabharata memboyong Satyawati ke istana, dihaturkan kepada rajanya. Kendati bersuka cita, Raja Sentanu  merasa gamang mengingat akan syarat yang pernah diajukan Dewi Satyawati. Benar saja, menjelang pernikhan agung akan digelar, Dasabala, ayah Satyawati, menuntut agar anak yang dilahirkan Satyawati harus menjadi raja pengganti Raja Sentanu, dan keturunan Dewabharta tidak menuntut haknya untuk menjadi raja Hastina. Tuntutan yang menggugat singgasana dan hak Dewabharata menggemparkan seluruh negeri Hastina. Akan tetapi dengan mantap dan meyakinkan Dewabharata mengumandangkan sumpah suci “tidak akan menjadi raja dan tidak akan kawin seumur hidupnya“ yang disambut koor haru para dewata: bhisma, bhisma, bhisma.

Babak pertama diawali dengan prolog yang merupakan visualisasi jati diri Dewabharata yang lahir dari buah cinta antara Maharaja Sentanu dengan wanita penjelmaan bidadari, Dewi Gangga. Adegan selanjutnya dilukiskan bagaimana Dewabharata yang tampan dan perkasa diharapkan menjadi pemimpin agung yang akan menurunkan sumber insani masa depan bangsa Bharata. Setelah dinobatkan menjadi yowanaraja, Dewabharata memperoleh mandat menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai raja muda, sedangkan ayahnya, Sentanu, bertindak selaku pendamping dan penasihat.

Suatu ketika, Dewabharata begitu masgul dengan keberadaan ayahnya yang senantiasa bermuram durja. Melalui kusir kerajaan, Dewabharata mengetahui bahwa sumber kemurungan Raja Sentanu adalah Satyawati, gadis cantik putri seorang nelayan di tepi sungai Yamuna. Dikisahkan si kusir kereta, perjumpaan  Sentanu dengan gadis molek beraroma harum semerbak itu, membuat sang raja jatuh cinta dan berhasrat menjadikannya permaisuri tetapi sangat terpukul dengan persyaratan yang diajukan oleh Dewi Satyawati. Persyaratan yang mahaberat itu adalah: anak yang dilahirkan Satyawati harus menjadi raja pengganti Maharaja Sentanu.

Didorong oleh rasa hormat dan kasih sayangnya pada sang ayah, menuntun Dewabharata menjumpai Dasabala, ayah Satyawati. Dewabharata berjanji tidak akan menjadi raja Hastina dan akan memberikan kepada putra yang dilahirkan Satyawati. Dewabharata memboyong Satyawati ke istana dan menghaturkan kepada ayahnya. Setibanya di istana, sebuah persyaratan diajukan lagi oleh Dasabala: agar kelak keturunan Dewabharta tidak menuntut haknya untuk menjadi raja Hastina. Demi kebahagian sang ayah, Dewabharata bersumpah akan hidup membujang selama hayatnya. Ikrar Dewabharata disambut hujan bunga dari angkasa dan gaung suara bhisma…..bhisma…..bhisma! (Bhisma berarti kesatria sejati yang menepati sumpah suci). Maharaja Sentanu sangat terharu dengan ketulusan, jiwa besar, pengorbanan putra kebanggaannya, Bhisma Dewabharata.

Pesan yang terlontar dari sendratari kolosal ISI Denpasar ini yakni   tentang dedikasi dan pengorbanan tulus suci seorang putra bangsa terhadap negaranya. Pesan ini terasa kontekstual dengan tema PKB 2011 bahwasannya putra bangsa yang berkarakter dan berbudi luhur adalah sumber insani unggul yang mampu beradaptasi dengan tantangan kehidupan (desa), perubahan zaman (kala), dinamika budaya (patra) di tengah era globalisasi ini. Putra bangsa seperti Dewabharata yang cerdas, gagah berani, santun dan berakhlak patut dijadikan teladan oleh segenap masyarakat bhineka tunggal ika (multikultural) Indonesia menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan berkeadaban, sejahtera, harmonis, humanis dan damai.

Bhisma Dewabharata, Ksatria Unggul Berbudi Luhur, Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...