Imajinasi Kematian Sebagai Sumber penciptaan Seni Lukis

Oct 13, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: I Nyoman Suyadnya, Mahasiswa PS Seni Rupa Murni ISI Denpasar

   Kematian merupakan sebuah siklus yang terjadi pada setiap mahkluk di dunia ini, termasuk manusia. Kematian sesungguhnya adalah jembatan bagi manusia untuk lepas dari keterbatasan badan kasar (Stulasarira), kematian adalah juga pintu gerbang untuk memasuki alam halus (Sukmasarira), dan sesungguhnya ia adalah jalan yang akan dilalui oleh setiap mahluk hidup dalam proses evolusinya. Seperti seekor ulat yang kerap dipandang “menjijikkan” bermetamorfosis menjadi seekor kupu-kupu, demikian juga manusia berevolusi dari bentuk kasar ke bentuk-bentuk yang lebih halus.

          Kematian menjadi menakutkan karena kerap kali kematian itu diawali oleh “kesengsaraan” seperti misalnya sakit yang berkepanjangan dan hari tua yang secara perlahan mengurangi kinerja tubuh dan organ-organnya. Dilain pihak kematian juga terjadi lantaran kecelakaan, penganiayaan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Sakit dan hari tua adalah sebuah proses yang secara kasat mata dianggap sebagai suatu bentuk kesengsaraan, sedangkan kecelakaan, penganiayaan, pembunuhan dan kematian yang tidak wajar lainnya dianggap sebagai kemalangan.  Kali ini diperlukan pemikiran terbalik, bahwa kesengsaraan tadi adalah kesengsaraan fisik belaka. Melalui kesengsaraan dan kemalangan tersebut, roh sesungguhnya tercerahi, melalui sakit manusia mampu berfikir bahwa kematian adalah solusi terbaik, sedangkan melalui kemalangan, roh menyadari bahwa itu adalah pembayaran dari karma masa lalunya. Roh yang tercerahi memasuki alam kematian dengan mantap, sedangkan roh yang tidak tercerahi berusaha untuk menghindar dari gerbang akherat (Aryana, 2008:2-4).

          Sejak manusia meninggal dunia sejak itu pula Atma atau Roh, dan kekuatan Panca Maha Bhutanya meninggalkan tubuh maka tubuh tersebut mulai disebut Jazad, serta Panca Maha Bhutanya di dalam Puja Pitra disebut dengan Pitra. Menurut keyakinan dan kepercayaan dari ajaran Agama Hindu yang berlandaskan ajaran “Panca Yadnya”, umat Hindu khususnya di Bali melaksanakan Upacara Pitra Yadnya, mempereteka orang yang telah meninggal, sebagai proses pengembalian Panca Maha Bhuta kepada sumbernya (Sudarsana,2003:10,20).

          Umumnya dalam masyarakat Bali, badan kasar (Stulasarira) si meninggal terlebih dulu akan di tanam di kuburan, selanjutnya setelah cukup waktu barulah dilakukan pengangkatan jenazah untuk dikremasi (aben). Proses penguburan bisa saja ditiadakan, yakni jenazah boleh langsung dikremasi dengan prosesi yang lumrahnya di sebut dengan upacara ngaben.

          Dalam dunia para yogi dan para waskita, diyakini bahwa sesungguhnya proses yang paling cepat untuk mengembalikan lima elemen dasar pembentuk badan fisik manusia (Panca Maha Bhuta) ke asal pembentuknya hanyalah dengan cara kremasi/membakar jenazah yang di Bali dikenal dengan istilah Ngaben (Aryana, 2008:31).    

          Memperhatikan kata ngaben sebagaimana disebutkan di atas, ngaben adalah melepaskan atma dari ikatan Stulasarira  (Panca Maha Bhuta). Ngaben adalah mengupacarai orang yang telah mati. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa ada tiga pengertian mati, yaitu: mati menurut P.P. 18 tahun 1981, adalah orang yang disebut mati apabila otak dan batang otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Dalam hubungan dengan hal ini ada juga istilah mati sel, artinya setiap orang yang mati itu/tubuh orang mati itu sudah mati mencapai mati sel tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama. Mati menurut Tattva yaitu orang disebut mati apabila atmanya terlepas dari Panca Maha Bhuta, dalam Vrhaspati Tattva disebut sebagai berikut: kala ikang pati ngarania wih, turun mapasah lawan Panca Maha Bhuta juga tekang atma ri sarira, ikang aganal juga hilang, ikang atma langgenag tan molah, apan ibek ikang rat kabeh dening atma. Artinya: pada waktu mati namanya, hanya berarti berpisahnya Panca Maha Bhuta dengan atma yang ada pada tubuhnya, hanya badan kasarnya saja yang lenyap sedangkan atmanya tetap tak berubah, sebab dunia in penuh dengan atma. Mati menurut upacara Agama yaitu: seperti halnya bangunan rumah, meskipun secara fisik telah selesai, kalau belum di upacarai seperti memakuh, melaspas, maka seluruh rumah itu belum selesai namanya.

          Demikianpun orang mati menurut pandangan Agama Hindu sebelum selesai diupacarai, belumlah dia disebut mati. Disebutkan dalam lontar Pratekaning Wong Mati. Pertama-tama orang mati itu di upacarai, sebagaimana layaknya orang hidup, dimandikan dengan air biasa dan air bunga, makerik kuku, maitik-itik, masisig, makramas, dikeningnya ditaruh daun intaran, didada di letakkan daun gadung, dihidung pusuh menur, kedua mata diisi cermin. Kemaluan ditutupi dengan daun terung bagi laki-laki, dan daun tunjung bagi perempuan. Penyelenggaran memandikan mayat ini di Bali sangatlah bervariasi menurut desa, kala, patra. Tetapi yang terpenting disini, di dada, di kepala, hulu hati dan disetiap persendian diletakkan kewangen lambang pengurip-urip. Setelah upacara pemandian selesai barulah jazad kemudian digulung dengan kain kavan, kemudian ditaruh dalam peti mati. Kalau jazad telah digulung barulah dilanjutkan dengan upacara ngaben. Kemudian abu dari jazad tersebut di hanyut ke laut atau kesungai.Yang amat penting ditekankan disini adalah fungsi upacara ngaben sebagai upacara untuk melepaskan atma atau roh dari ikatan Panca Maha Bhuta (Wiana, 1998:33-34).

Dalam siklus kematian, pencipta merenungkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi secara fisik, ketika kematian itu dialami oleh seseorang adalah yang terjadi, tubuh akan berada dalam posisi kematiannya yaitu terlentang mengikuti garis horizontal, dan mengikuti garis vertical dalam bentuk roh. Pencipta tertarik tentang bagaimana suasana hati pencipta menyaksikan segala situasi, mulai dari suasana di tempat orang mati, suasana penguburan, suasana pembakaran mayat, dan lain sebagainya. Hal itu terjadi berulang-ulang dalam hidup pencipta. Semua itu menimbulkan perasaan sedih dan kengerian, yang pencipta sering rasakan. Hal-hal seperti itu yang muncul pada perasaan pencipta dari melihat berbagai proses peristiwa upacara kematian. Semua hal tersebut sangat berpengaruh pada penciptaan karya ini.

Pencipta sebagai orang Bali yang berada di lingkungan Hindu melihat siklus kematian itu pada proses pengembalian tubuh pada alam, yang terlihat pada penguburan, pembakaran mayat, dan adanya upacara nganyud abu ke laut atau sungai.

Dari berbagai proses peristiwa kematian yang pencipta saksikan, pencipta melihat bahwa seperti sebuah rangkaian perjalanan tentang tubuh, atau jasad, jasad perlahan menghilang entah itu dikubur ataupun dikremasi, kemudian yang pencipta hayalkan setelah itu adalah roh. Tubuh mati menjadi jasad, dan akhirnya menyatu dengan alam (Panca Maha Bhuta). Namun roh dari tubuh itu pencipta yakini tetap hidup, dan tetap melakukan eksistensinya dalam alam niskala.

Semua itu menggugah bathin pencipta untuk merenungkan lebih dalam tentang kematian tersebut. Berdasarkan siklus kematian tersebut, muncul imajinasi dalam bathin pencipta untuk melukiskan tentang kematian dengan tubuh yang terlentang, tubuh yang tidak utuh yang merupakan sebuah wujud dari pemudaran fisik dalam proses penyatuan dengan alam (Panca Maha Butha). Dan tentang tubuh dengan wajah yang matanya selalu terpejam, merupakan gambaran tentang adanya sebuah kematian.

Imaji tentang roh yang terbentuk dalam visual dengan bentuk-bentuk figur seolah sedang pergi meninggalkan tubuh yang mati, yang akan diperlihatkan pada karya-karya pencipta yaitu adanya bentuk-bentuk kaki yang seolah terbang meninggalkan tubuh yang mati menuju pada alamnya. Alam dalam hal ini adalah ruang baru bagi roh dan tubuh yang mati, yaitu alam nyata (skala) dan alam tidak nyata (niskala). Dan semua unsur yang ada dalam tubuh akan hilang dan menyatu dengan Panca Maha Butha.

Awal ketertarikan pencipta mengangkat tema kematian didalam ciptaan ini adalah disebabkan oleh rasa yang terus menghantui pencipta tentang tubuh orang mati, tentang suasana-suasana kematian yang sering pencipta saksikan dalam lingkungan hidup pencipta. Seiring perjalanan waktu dengan terbiasa menyaksikan segala proses kematian tersebut, dan secara alami penciptapun akhirnya menyadari dari keseringannya melihat hal-hal tersebut telah terjadi endapan-endapan didalam bathin pencipta.

Imajinasi Kematian Sebagai Sumber penciptaan Seni Lukis selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...