Indentifikasi dan Inventarisasi Kain Gringsing di Desa Tenganan, Karangasem

Feb 3, 2010 | Artikel, Berita

Oleh : Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana (Dosen Program Studi Desain Interior ISI Denpasar)

Anonim dari Pagerinsingan foto Ratna CoraDalam selembar kain terjelma perjalanan panjang sebuah bangsa. Kreativitas bangsa Indonesia selama kurun waktu kurang lebih 1500 tahun, melalui berbagai kegiatan tradisi budaya menciptakan berbagai teknik pembuatan kain dan ragam hiasnya.

Ketrampilan membuat ragam hias di Indonesia dipengaruhi oleh unsur sejarah. Pengaruh yang paling menonjol tampak dari masa neolithikum. Setelah itu pengaruh datang dari kebudayaan Dongson yang dibawa bangsa dari Tonkin dan Annam Utara sekitar 700 tahun sebelum Masehi, bangsa inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Selain bentuk – bentuk fauna dan flora serta pemujaan terhadap leluhur yang dikenal dari masa neolitik , salah satu bukti peninggalan di Bali berupa nekara kecil dari bahan perunggu yang bermotif katak dan garis-garis geometris mempengaruhi motif ragam hias pada tenunan Indonesia.

Perkembangan berbagai ragam hias dibarengi berbagai teknik pembuatan kain seperti : Teknik tenun ikat single dan double, batik, celup dan printing (cap). Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga, karena hanya ada tiga tempat di dunia yang menggunakan teknik dobel ikat, yaitu Jepang, India dan Indonesia. Satu-satunya daerah di Indonesia yang mengenal pembuatan tenun dobel ikat adalah Tenganan, Karangasem,Bali. Hasil tenunan dengan teknik ini dinamakan kain Gringsing. Tenganan Pegringsingan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa seluas 1.496.002 hektar, berpenghuni sekitar 600 jiwa terdiri atas tiga banjar, yaitu : Banjar Dauh, Banjar Kangin dan Banjar Pande mencerminkan budaya abad ke – 11. Tenganan merupakan salah satu desa kuno di Bali yang disebut dengan ”Bali Aga”.

Menurut hasil penelitian, V.E Korn, De Dorpsrepubliek Tenganan Pegeringsingan (1933), Kata Pegringsingan diambil dari kata gringsing yang terdiri dari kata gring dan sing. Gring berarti sakit dan sing berarti tidak. Jadi gringsing berarti tidak sakit. Bahkan orang yang memakai kain gringsing dipercaya dapat terhindar dari penyakit dan lebih kompleks lagi gringsing adalah penolak mara bahaya. Pendapat lain datang dari Urs Ramseyer (1984) dalam tulisan yang berjudul ”Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali”, menduga orang Tenganan sebagai sesama penganut dewa Indra merupakan imigran dari India kuno, kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh. Kemudian teknik dobel ikat ini dikembangkan secara independen di Tenganan. Atau mungkin juga para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini suatu dinamika dalam kebudayaan terjadi juga di Tenganan yang sedang mengalami perubahan. Meskipun demikian ada unsur-unsur budaya yang tetap dipertahankan. Kaye Crippen (1994), Change and Continuation of Double Ikat Weaving in Tenganan, Bali mengemukakan bahwa adanya upaya untuk menghidupkan kembali motif-motif kain gringsing. Walaupun warna dan keunikan desain ikat saat ini tidak sama dengan kain-kain kuno yang pernah didokumentasikan oleh museum-museum di Eropa, khususnya dari museum Basel,Swiss. Tahun 1972, Group Peneliti dari museum Fur Volkerkunde, Basel, Schwitzerland, Urs Ramseyer membawa foto-foto kain gringsing yang beberapa jenisnya tidak lagi berada di Desa Tenganan bahkan tidak diketahui namanya. Mereka sangat berjasa membawa foto-foto kain kuno untuk dipelajari dan dibuat kembali. Dengan demikian masyarakat Tenganan dapat merevitalisasikan keunikan budayanya yang menjadi identitas masyarakat setempat.

Ragam motif kain gringsing terilhami oleh bentuk flora, fauna, wayang dan candi.

Motif Anonim dari Pegeringsingan, foto Ratna CoraAdapun motif-motif kuno kain gringsing yang dikenal meliputi: 1) Wayang kebo, 2) Cemplong ; 3)Cecempakan ; 4)Lubeng ; 5) Teteledan ; 6) Batung Tuhung ; 7) Patlikur Isi; 8. Tidak diketahui namanya (tetapi motif dasar Patlikur Isi dengan ukuran besar) ; 9) Enjekan Siap ; 10) Wayang Putri ; 11) Tidak diketahui namanya (di duga Pitri Dedari,disebabkan motif wayang istri) ; 12) Tidak diketahui namanya ; 13) Tidak diketahui namanya ; 14) Pepare ; 15) Gegonggangan ;16) Sanan Empeg ;17) Sitan Pegat ; 18) Dinding Ai ; 19) Dinding Sigading ; 20) Talidandan ; 21) Tidak diketahui namanya (mirip enjekan siap) ; 22) Tidak diketahui namanya ; 23) Wayang (tidak diketahui namanya – sikap : menyilangkan kaki). Hingga kini masih meninggalkan tanda tanya perjalanan beberapa kain gringsing yang tidak diketahui namanya. Foto-foto beberapa motif kain gringsing yang tidak diketahui namanya.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...