Karya Seniman Indonesia Kurang Dikenal Publik Internasional

May 26, 2011 | Berita

NEW YORK.- Agus Suwage, Masriadi, Arahmaiani, dan Heri Dono adalah sejumlah perupa muda Indonesia yang bermunculan dalam sepuluh tahun belakangan. Karya-karya mereka tidak sebatas pada lukisan, tetapi juga memanfaatkan elemen video, kain, atau benda-benda lain yang ditata secara artistik, sehingga lahirlah istilah seni rupa kontemporer.

Mereka inilah generasi baru seni rupa Indonesia, yang sebelumnya didominasi karya-karya Affandi, Basuki Abdullah, Joko Pekik, Hardi dan lain-lain.

Sayangnya, hasil karya kontemporer Indonesia ini tidak banyak dikenal oleh publik internasional. Kesempatan mereka untuk mengadakan pameran di pusat-pusat seni Eropa atau Amerika Serikat, juga tidak sebesar para seniman Cina dan India.

Topik ini diangkat dalam obrolan seni bersama Melissa Chiu, Direktur Asia Society Museum New York, Amerika Serikat Kepada “VOA”, Melissa Chiu mengatakan, pengaruh kemajuan ekonomi dan geopolitik pada kedua negara tersebut tidak dapat diabaikan.

Kurator seni yang bermukim di New York ini menilai Indonesia perlu mengundang kurator internasional, agar karya-karya para perupa muda dapat dikenal luas oleh publik internasional. Peranan kurator yang melakukan seleksi atas setiap karya seni yang dianggap layak dipasarkan secara global, sangat penting untuk membuat calon kolektor memahami makna dari setiap karya.

“Saya kira ini lebih kepada dukungan agar Indonesia lebih banyak lagi mengadakan pameran karya-karya kontemporer, apakah itu pameran tunggal atau pameran bersama. Boleh juga dalam bentuk pameran online lewat internet, karena kami ingin lebih banyak lagi melihat ragam seni kontemporer Indonesia melalui website,” kata Melissa Chiu.

Dari data balai lelang Christie’s Hongkong, sepanjang Mei 2011 terdapat 223 seniman Cina yang berhasil menjual lebih dari 700 karya mereka. Sementara, hanya ada 41 seniman Indonesia, dengan jumlah karya 65 buah.

Dari jumlah tersebut, hanya 8 perupa Indonesia yang karyanya dihargai di atas 100.000 dolar Amerika. Sedangkan 52 seniman Cina berhasil menjual 220 karyanya, dengan harga yang sama.

Tapi, Melissa Chiu percaya, seni kontemporer Indonesia bisa lebih maju. Ia mencontohkan karya-karya Heri Dono, yang bahkan menurutnya cukup layak dipamerkan di The Museum of Modern Art (MoMA), New York.

Sementara itu, pelukis Astari Rasjid mengatakan seni di Indonesia berjalan sendiri-sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Situasi ini, menurutnya, jauh berbeda dengan Tiongkok dan India.

“Di Indonesia, tanpa dukungan pemerintah saja kita sudah bila berjalan sendiri, meskipun tidak maksimal. Kalau Cina itu negara besar dengan ekonomi yang mulai maju, dan ini termasuk dalam seninya. India dan Thailand juga. Kita tidak bisa mengemis-ngemis negara lain untuk mempromosikan, karena itu semua harus dari kita sendiri,” katanya.

Sumber: pikiran-rakyat.com

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...