Keluarga Besar ISI Denpasar Adakan Tirtayatra

Jul 20, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar

Rabu 19 Juli 2011 keluarga besar ISI Denpasar mengadakan tirtayatra diikuti dosen, pegawai, dan mahasiswa dari FSP dan FSRD.  Acara tersebut merupakan salah satu acara rutin yang diselenggarakan lembaga ISI Denpasar dalam menyambut  pelaksanaan dies setiap tahunnya. Tempat yang menjadi tujuan tirtayatra tahun ini adalah Bali Utara yaitu Pura Puseh Penegil Dharma di Desa Kubu Tambahan Kecamatan Kubu Tambahan dan Pura Ponjok Batu di Desa Julah  Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Kedua tempat suci tersebut merupakan Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Khayangan. Kegiatan yang menyita waktu satu hari penuh tersebut berjalan lancar. Pada akhir pesembahyangan di Pura Ponjok Batu salah satu pemangku memberikan penjelasan kepada semua pemedek yang melakukan persembahyangan pada waktu itu tentang keberadaan pura mulai dari sejarah pura, pelinggih, pengempon pura, hari piodalan pura serta kaitannya dengan Danghyang Nirarta. Penjelasan-penjelasan yang disampaikan pemangku tersebut merupakan penjelesan yang didapat dari pendahulunya, mereka tidak menemukan sumber-sumber tertulis yang dapat menjelaskan keberadaan pura tersebut dengan pasti.

Penulis menelusuri beberapa sumber terkait dengan Pura Ponjok Batu tersebut belum ditemukan artikel atau tulisan yang dapat menjelaskan dengan data yang pasti. Analisis lebih banyak berdasarkan ceritra rakyat dan tattwa yang ada. Seperti halnya yang dimuat ILoveBlue, bahwa Pura Ponjok Batu merupakan sebuah tanjung yang terdiri dari batu dari celah-celah batu tersebut tumbuh pohon kamboja dan semak yang sangat indah. Dalam bahasa Bali “Ponjok Batu” berarti Tanjung Batu. Pura Ponjok Batu terletak lebih kurang 24 km di sebelah Timur Singaraja.
Lebih jauh didijelaskan ILoveBlue.com, asal muasal berdirinya Pura atau Kahyangan ini erat hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra, di dalam Dwijendra Tattwa antara lain dikisahkan sebagai berikut : Pada zaman pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong, sekitar tahun Isaka 1411 atau tahun 1489 M datanglah ke Bali Danghyang Nirartha kemudian dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Setelah beberapa lama tinggal di Gelgel, pada suatu hari Danghyang Nirartha ingin meninjau daerah Bali di sebelah Utara Gunung (Den Bukit) yaitu Buleleng, yang seterusnya kalau tidak ada aral melintang beliau berniat akan terus menyeberang ke Sasak (Lombok). Sesudah beliau berjalan beberapa hari lamanya kemudian Danghyang Nirartha sampai pada suatu tempat di Pantai Utara Pulau Bali yang letaknya di sebelah barat laut Gunung Agung. Tempat itu berupa sebuah Tanjung yang terdiri dari batu batu, dan dari celah-celah batu tersebut tumbuh kayu-kayuan sehingga Tanjung Batu tersebut menjadi semak-semak. Di sana Danghyang Nirartha berhenti dan duduk di atas batu pada tempat yang agak tinggi untuk menikmati pemandangan laut Jawa yang terhampar luas yang sangat mengasyikkan dan menumbuhkan inspirasi baginya. Tidak dikisahkan entah sudah berapa lama Danghyang Nirartha berada di tempat itu, pada suatu hari tidak jauh dari tempat beliau duduk arah sebelah Timur terdampar sebuah perahu. Timbul keinginan beliau untuk mengetahui apa gerangan yang menyebabkan perahu tersebut terdampar, lalu tempat perahu itu terdampar didekatinya. Setelah diperiksa ternyata perahu itu mendapat kerusakan yaitu tiang layarnya patah dan layarnya robek-robek, sedang tali temalinya terputus. Anak buah dan nahkoda perahu tersebut terlempar ke pantai dalam keadaan mabuk laut dengan kondisi fisiknya sangat lemah dan tergeletak di atas pasir seakan-akan tidak berjiwa lagi. Danghyang Nirartha menyaksikan kondisi mereka yang sangat mengerikan dan menyedihkan itu menjadi iba hati, lalu segera memberikan pertolongan. Dengan kekuatan bathinnya, anak buah dan nahkoda perahu itu oleh Danghyang Nirartha diberikan babayon (tenaga) secara gaib, sehingga anak buah dan nahkoda perahu tersebut menjadi siuman dan sadarkan diri, dan tiada lama mereka sudah dapat duduk di atas pasir. Menyadari dirinya ditolong, lalu mereka menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Danghyang Nirartha, karena mereka yakin bahwa tanpa pertolongan beliau ini mereka pasti menemui ajalnya. Kemudian Danghyang Nirartha bertanya kepada anak buah dan nahkoda perahu tersebut demikian,”Darimana saudara sekalian ini?”, dan segera dijawab oleh nahkoda perahu itu,:”Ya Paduka Pandita, kami ini bertujuh (7 orang adalah berasal dari Sasak (Lombok), dan di dalam pelayaran ini kami mendapat bahaya yaitu sekitar kurang lebih 1 bulan perahu kami terombang-ambing oleh ombak dan gelombang laut serta kami sampai kehabisan bekal.” Seterusnya nahkoda perahu itu melanjutkan ceriteranya: “Entah sudah berapa lama kami tidak makan dan minum ditambah lagi mabuk laut, sehingga kami tidak sadarkan diri. Dalam siatuasi dan kondisi yang demikian, kami sudah tidak ada harapan hidup, dan nasib kami serahkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang akhirnya kami terdampar dan terlempar di pantai ini. Kami menghaturkan banyak terima kasih yang keluar dari hati nurani kami yang paling dalam atas belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita, yang berkenan menghidupkan kami kembali. Kami yakin tanpa belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita kami tidak akan mungkin hidup seperti sekarang,” demikian jawaban dan ceritera nahkoda perahu tersebut. Oleh karena ketujuh orang itu tampaknya sudah agak pulih kesehatannya, lalu Danghyang Nirartha memberitahu kepada mereka itu untuk membersihkan diri masing-masing dan minum air pada sebuah mata air yang baru saja timbul. Kemudian mereka disarankan mencari buah-buahan di dalam semak-semak untuk dimakan, dan setelah itu mereka lakukan , kemudian mereka beristirahat dan bermalam bersama Danghyang Nirartha disana. Di sana Danghyang Nirartha menyarankan, andaikata mereka akan kembali berlayar ke Sasak (lombok) sebaiknya esok harinya saja dan Danghyang Nirartha akan ikut ke Sasak (Lombok). Semua saran dan nasehat Danghyang Nirartha itu diturut dan ditaati oleh anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, dan pada malam harinya mereka bermalam di sana. Tidak dikisahkan bagaimana gembira hatinya anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, besoknya pagi-pagi mereka sudah bangun dalam keadaan fisik yang segar bugar sebagaimana keadaan sebelumnya. Menurut mereka hal ini terjadi tidak lain adalah berkat kekuatan bathin dan ketinggian ilmu gaibnya Danghyang Nirartha. Hari itu keadaan laut tenang karena tidak ada gelombang besar seperti hari kemarinnya, serta menurut hemat Danghyang Nirartha saat itu adalah waktu yang baik untuk berlayar ke Sasak (Lombok). Mereka lalu bersama-sama dengan mempergunakan perahu itu berlayar menuju ke Sasak (Lombok) dalam keadaan selamat dan sampai ke tempat tujuan, walaupun perahu itu tanpa layar. Sesudah tanjung Batu itu ditinggalkan oleh Danghyang Nirartha terjadilah keajaiban yang membuat orang-orang di sekitarnya terheran-heran, karena setiap malam hari di bekas tempat Danghyang Nirartha berhenti dan duduk itu batu-batunya menyala. Orang-orang itu ingin melihat dan membuktikan apa gerangan yang telah terjadi di atas batu-batu tersebut, sehingga setiap hari Tanjung Batu itu ramai dikunjungi orang. Mereka itu bukan saja ingin mengetahui mengenai keajaiban yang terjadi di sana, melainkan ingin mendapatkan keselamatan, lalu mereka melakukan persembahyangan di sana. Akhirnya di sana dibangun sebuah Pura atau kahyangan dengan bangunan sucinya berbentuk sebuah “Sanggar Agung” dan Pura atau Kahyangan itu diberi nama “Pura Ponjok Batu” sesuai dengan tempat itu yang merupakan tanjung batu. Kata “tanjung” sama dengan “ponjol” dalam bahasa Bali, sehingga kata “ponjok batu” berati “tanjung batu”, dan sekarang pura atau Kahyangan itu menjadi tempat persembahyangan umum, untuk memohon keselamatan. Tidak mustahil bahwa sampai sekarang sudah terjadi perubahan-perubahan dari aslinya pura atau kahyangan tersebut, baik mengenai arealnya maupun mengenai palinggih (banguna sucinya). Tentu saja perubahan-perubahan itu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan penyungsungnya, namun yang jelas dilihat dari segi status dan fungsi dari Pura Ponjok Batu ini masih tetap sebagaimana semula. Dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pura Ponjok Batu ini tidak dapat dipisahkan dengan kisah perjalanannya Danghyang Nirartha.

Lain halnya dengan Babad Bali.com memuat  bahwa Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.

Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak ditemukan di beberapa daerah di Bali.

Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat

Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).

Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.

Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/ Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.

Sejak kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.

Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.

Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan

Piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh). Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini untuk mohon keselamatan. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.

Keluarga Besar ISI Denpasar Adakan Tirtayatra, Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...