Kober Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Jul 17, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Bendera sebagai panji atau tunggul bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada bab sebelumnya telah banyak dijelaskan, bahwa bendera atau tunggul telah menjadi salah satu identitas dalam kerajaan. Bendera juga sebagai identitas Negara, organisasi, partai maupun penanda adanya suatu kegiatan. Kober sebagai penanda biasanya dihiasi dengan gambar ornamen tertentu sebagai identitas yang mengandung arti dan makna sesuai dengan tujuan organisasi atau kegiatan yang dilakukan. Namun, bendera atau kober juga tidak selalu dihiasi dengan gambar atau logo, seperti bendera milik bangsa Indonesia yang terdiri dari dua warna  (dwi warna) yaitu merah dan putih. Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bendera adalah sepotong kain segi empat atau segi tiga yang dijadikan lambang negara, panji atau tunggul.  Dilihat dari bentuk, warna  dan ukurannya, kober sangat berpariasi sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Parisada Hindu Dharma Pusat dalam penjelasannya; memilah antara sakral dan tidak sakral dibedakan ada tidaknya gambar pada bendera tersebut. Kalau yang tidak sakral tidak berisi gambar, sedangkan yang dianggap sakral harus berisi gambar seperti gambar Hanoman dan Garuda. Kalau dikaitkan dengan bendera Bangsa Indonesia yang tidak bergambar/ornamen, pendapat atau asumsi tersebut masih/belum tepat. Mungkin yang dimaksudkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat adalah bendera atau kober yang difungsikan sebagai sarana ritual umat Hindu Bali dalam upacara Panca Yadnya. Lebih lanjut dikatakan,  ukuran ideal sebuah kober disesuaikan dengan  kreasi para perajin/undagi atau dapat dilihat pada Asta Kosala. Sedangkan menurut I Nyoman Jujur, ukuran kober yang baik adalah berbentuk “nyolok” yaitu sebesar ukuran korek api (3,6 x 5,3) cm. atau 1,2 : 1,6.    Perajin tedung dari Bangli ini  membuat jenis kober hanya  dua ukuran yaitu: 80 x 120 cm. dan 100 x 150 cm.  dengan gambar yang sama yaitu Hanoman dan Garuda.

            Bentuk ukuran “nyolok” yang dimaksudkan  sebenarnya hampir sama dengan ukuran golden section maupun ukuran-ukuran atau sikut  tradisional Bali yaitu skala 1 : 1.6. Bila dicermati dengan ukuran yang ada, kober yang dibuat oleh I Nyoman Jujur menggunakan skala perbandingan 2 : 3. (dua berbanding tiga) yang umum digunakan para undagi di Bali dalam membuat bangunan tradisional. Perbedaan ukuran golden section (1: 1.6) dengan ukuran tradisional Bali  yaitu 2 : 3. (dua banding tiga) ada selisih sangat tipis yaitu : o,1 meli meter. Ukuran 2 : 3. (dua berbanding tiga) kalau dibagi 2 (dua) akan didapat ukuran 1: 1,5. (satu berbanding satu lima). Ukuran skala 1: 1.5. (satu berbanding satu setengah) juga digunakan untuk ukuran bendera Kebangsaan  kita Indonesia. (lihat tabel V)

            Pada perajin yang berbeda, selain ditemukan ukuran yang sama yaitu :1: 1,5. (satu berbanding satu lima),  juga ada menggunakan ukuran 60 x 80 cm.,  dan 85 x 115 cm., kalau dihitung akan ditemukan skala  1: 1.3. (satu berbanding satu koma tiga). Dari data lapangan yang minim dan sangat sederhana namun mempunyai tingkat nilai kesakralan yang tinggi ini, ditemukan sklala ukuran bendera seperti: 1: 1.3. (satu berbanding satu koma tiga)., dan skala  1: 1.5. (satu berbanding satu setengah). Kendati ukuran bendra Sang Saka Dwi Warna berbeda-beda, kalau dihitung dengan skala ditemukan angka ; 1: 1.5. (satu berbanding satu setengah). Ukuran ini dapat dikatakan sebagai standar global.

Untuk mendapatkan tinggi tiang kober, peneliti tidak mengukurnya sama dengan cara mendapatkan pada ketinggian tiang tedung, dimana tinggi tiang didapat dari hasil penjumlahan atau perkalian lebar dikalikan tiga. Tinggi tiang kober secara visual dan berdasarkan pengamatan baik yang ada di pura (tidak diukur langsung) maupun di tempat perajin sama tingginya dengan tinggi ukuran tombak maupun penawasangan. Cara yang digunakan adalah sama dengan mengukur tinggi tangkai tombak, yaitu mulai dari tangkai tombak, sampai besinya (tombak) .

Panjang atau tinggi tiang tombak seperti yang telah dijelaskan pada bab. Sebelumnya yaitu disesuaikan dengan kegunaannya. Dari beberapa fungsi dan kelayakan pemilik yang ada pada ukuran tombak, peneliti cenderung menggunakan ukuran yang digunakan/dimiliki oleh Brahmana dan Raja/kesatria. Pemilihan ukuran ini didasari atas peran dan fungsi seorang Brahmana maupun Raja, kedudukan/kewajiban seorang brahmana dalam masyarakat Hindu Bali yaitu sebagai pemimpin upacara ritual keagamaan. Sedangkan seorang Raja adalah berkewajiban memayungi dan memberi rasa aman bagi rakyatnya. Jadi ukurannya dua depa empat lengkat, tujuh guli gajah, pembawaan brahmana, dan dua depa, mahurip lima lengkat, seguli, bernama eka dwaja,  yang diperuntukkan bagi  Raja.

Selain ukuran yang telah disebutkan di atas, untuk mendapatkan ukuran  yang ideal dalam  proporsi, bentuk, kenyamanan bagi pengguna, dan praktis dalam fungsi,  para undagi/sangging  di Bali mempunyai perhitungan dan berpedoman yang namanya  kekuub, yaitu memperhitungkan unsur kesatuan tidak saja pada subyek bangunan itu sendiri, juga bangunan-bangunan disekitarnya secara keseluruhan. Penerapan  pertimbangan ini  dimaksudkan  untuk mendapatkan satu kesatuan  yang  serasi, selaras, dan seimbang.

Hanoman maupun Garuda adalah  mahluk mitologi sebagai pilihan untuk hiasan/ ornamen kober tidak lepas dari keistimewaan kedua mahluk tersebut dalam menguasai dua jaman yaitu jaman “kanda dan parwa” atau Ramayana dan Mahabharata.  Kehidupan pada  jaman  berbeda bagi Hanoman dan Garuda adalah tanda kesetiaan yang tidak terbatas didalam menjalankan  swadarma/kewajiban sebagai abdi penegak kebenaran. Ceritera Arjuna Premada yang mengisahkan kehebatan hanoman dalam membuat jembatan situbanda,  Adi dan Udyoga Parwa yang mengisahkan keunggulan Garuda dalam mendapatkan tirta amerta yang berakhir dengan semaya/janji setia untuk bersatu antara Dewa Wisnu dan Garuda untuk menjaga keselamatan dunia. Tanda kesetiaan tersebut dapat dilihat dari rasa saling hormat-menghormati, tidak merasa direndahkan, dan menghargai keunggulan/kebenaran lawan. Visualisasi bentuk rupa sebagai tanda kesetiaan Garuda dan Dewa Wisnu  oleh para sangging/undagi khususnya di Bali diwujudkan berupa gambar garuda sebagai wahana Wisnu. Pada gambar tersebut dibuat DewaWisnu menduduki pundak Garuda dan ekor Garuda memayungi dewa wisnu yang sedang membawa tirta amerta. Komposisi gambar yang vertikal secara visual ekor garuda (umbul-umbul)  lebih tinggi yang berfungsi memayungi. Ekor Garuda dalam bentuk umbul-umbul sampai sekarang dapat kita lihat pada pertunjukkan sendratari Ramayana.

Kober Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...