Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni

Jun 20, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi., Dosen PS. Seni Tari ISI Denpasar

Identitas dan jatidiri arsitektur merupakan instrumen yang sangat penting sebagai daya tarik wisatawan. Sejak dahulu kebudayaan Nusantara telah bersinggungan dengan budaya luar, namun pengaruh budaya luar tersebut selalu dapat diterima untuk mewarnai tradisi lokal, bahkan kehadirannya semakin memantapkan dominasi dan keunggulan kebudayaan lokal itu sendiri. Demikianlah yang terlihat pada sebuah taman, terletak di ujung Timur pulau Bali dengan panorama yang indah, dibangun tahun 1919 oleh raja Karangasem terakhir Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem yang semula bernama A.A.Bagus Djelantik..

Taman-taman yang menarik di Karangasem sebagian besar adalah hasil karya dari raja-raja Karangasem. Dua taman air nan luas masih marak dikunjungi pelancong dan wisatawan. Konsep istana taman kiranya menurun dari para leluhur raja-raja terdahulu yang pernah memerintah Lombok setelah mengalahkan kerajaan Selaparang dan Pejanggik tahun 1692. Hal ini dapat dilihat pada taman-taman yang ada di Pulau Lombok, seperti Taman Mayura, Narmada dan Suranadi, setelah terjadi migrasi dari Puri Karangasem sejak tahun 1722 sampai terbentuk kerajaan Cakranegara dan Mataram. Konon taman-taman itu dibangun tidak berdasarkan konsep gambar, tetapi berdasarkan Asta Kosala Kosali. Demikian pula kepekaan dalam memilih lokasi, baik ditinjau dari segi strategis maupun estetis, benar-benar memberikan daya tarik yang luar biasa..

Di Karangasem pernah dibangun Taman Sata Srengga yang terletak di desa Padang Kerta, dalam bentuk sebuah kolam besar yang dikitari pohon manggis dan leci, ditengah-tengahnya didirikan bangunan pemujaan. Sayang sekali peninggalan taman tersebut tertimbun lahar Gunung Agung lewat sungai di sebelah Timur-nya. Kini setelah tertimbun 40 tahun lebih, dicoba untuk digali dan dibangun kembali oleh pewarisnya. Demikian pula di tengah-tengah kota Amlapura terdapat Taman Sekuta yang berlokasi di Banjar Rata (masuk ke arah Barat) dan kini sudah berubah menjadi persawahan. Situs taman masih tampak berupa sisa-sisa reruntuhan tembok. Sampai kini sumber airnya masih dimanfaatkan oleh keluarga Puri sebagai Toya Ening untuk upacara Pitra Yadnya.

Taman Soekasada Ujung yang telah dipugar dengan bantuan Bank Dunia, sudah sangat dikenal oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara sebelum hancur diguncang gempa beberapa kali. Lokasi taman benar-benar amat strategis. Nun jauh di seberang Selat Lombok sayup-sayup nampak Gunung Rinjani. Apabila pandangan diarahkan ke sebelah Timur Laut, tampak berdiri tegak Gunung Seraya yang kembar, dan bila menoleh ke Barat Laut akan terlihat kekokohan tiga buah patung besar dari semen dengan lokasi bertingkat, yakni patung badak, singa bersayap dan sapi, yang memuntahkan air. Konon patung-patung tersebut sebagai peringatan Karya Maligia keluarga Puri Karangasem pada tahun 1937. Sisa bangunan paling atas yang dekat dengan jalan raya dari arah Amlapura menuju taman, sengaja tidak direnovasi, dibiarkan sebagai monumen untuk mengenang saat kejayaannya dahulu, mirip dengan monumen kantor Walikota Hiroshima – Jepang yang hancur karena bom atom Amerika Serikat.

Taman yang juga dikenal dengan sebutan “istana air” itu, bangunan pokoknya adalah  Bale Kambang, yang bercorak arsitektur campuran tradisional Bali dengan Belanda. Pengaruh Belanda ini kentara dari bangunan jembatan yang sudah berteknologi Barat, pada puncak-puncak tiangnya meniru “mahkota” Ratu Wilhelmina, raja Belanda saat itu. Di samping itu, pada tembok-tembok bangunannya terdapat panel hias yang memakai motif singa bersayap dengan crown di kepalanya, seperti simbol kerajaan Belanda. Bentuk ornamen lainnya dari cetakan semen untuk dinding dan pot-pot bunga, merupakan kreasi dari pendiri taman tersebut yang bermotif bunga dan wayang dengan senjata-senjatanya. Wujud tersebut dapat dikatakan sebagai pelopor ukiran cetak semen di Bali, yang kini banyak dijumpai di desa Kapal. Setelah direnovasi dengan bantuan Bank Dunia, tampak Bale Kambang cantik di kolam Selatan dan sebuah jembatan beton dengan dinding panel singa bermahkota, sebagai penghubung areal parkir Timur menuju taman. Demikian pula areal taman yang luasnya hampir 10 ha ini sudah dipagari tembok artistik hingga dekat dengan Pura Manikan. Di ujung Utara taman ini telah berdiri pula sebuah Bale Lantang, yang dahulu dipakai tempat Ma-Tirta Yatra bagi keluarga raja.

Kenangan seni film “Panji Semirang”.

Keindahan Taman Soekasada Ujung sebagai perpaduan yang harmonis antara panorama alam dan corak arsitektur yang unik, ternyata menyimpan kenangan seni cinematografi yakni inspirasi lokasi shooting film kolosal “Panji Semirang” yang dilakukan PFN tahun 1955. Tergugah oleh pemugaran taman yang bersejarah ini, menggelitik hasrat untuk membuka kembali album lama yang disusun oleh ayah penulis (salah seorang putra beliau). Penulis bersama keluarga turut menyaksikan pembuatan film kolosal tersebut, yang merupakan awal dari film kolosal yang belakangan ini baru marak, baik dalam layar lebar maupun sinetron, seperti Saur Sepuh dan lainnya.

Ceritra Panji merupakan kisah yang sangat populer di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali sebagai Culture Hero, hasil cipta asli budaya Nusantara dengan tokoh sentral Raden Panji Inu Kertapati merupakan tokoh yang memiliki karakter yang anggun, arif dan patriotik. Sebagai tokoh protogonis dalam ceritra ini, Panji selalu digambarkan dalam keadaan mengembara untuk menemukan kekasihnya yang menghilang dari istananya, serta mendapat berbagai rintangan. Memperhatikan foto-foto tersebut, terlihat bahwa tokoh Panji dan Candra Kirana diperankan oleh aktor Dedi Sutomo dan aktris Sofia Waldi, sedangkan raja diperankan oleh Wim Umboh. Yang menarik adalah beberapa pengiring dayang-dayang disertakan para Deha dari Tenganan /Asak. Adapun inti ceritranya mengisahkan pelamaran Panji (Mantri Kuripan) kepada Candra Kirana (Galuh Deha) yang mempunyai saudara tiri Galuh Ajeng (Liku) dengan mengirim dua buah togog emas dan perak. Panji sudah mengadakan perjanjian rahasia dengan Candra Kirana bahwa togog emas dibungkus dengan kain kumal, sedangkan togog perak dibungkus dengan kain sutra. Maka serta merta si Galuh Ajeng memilih bungkusan kain sutra dan setelah dibuka ternyata isinya togog perak. Salah pilih itu memicu pertengkaran dan perebutan togog emas antara kedua putri raja. Akhirnya sang ayah sangat marah, seraya memotong rambut Candra Kirana dan mengusirnya dari istana.

Patut diketahui, bahwa kesuksesan film Panji Semirang mendorong gagasan sutradara lainnya dari Jakarta setahun kemudian untuk mengabadikan ceritra rakyat Bali “Jayaprana” dalam layar lebar, dengan lokasi shooting di Puri Gede Karangasem.

Kini keadaan Taman Ujung yang telah kembali bangun dari tidur lelapnya setelah seperempat abad dalam kondisi terlantar, telah marak dikunjungi wisatawan, baik domestic maupun mancanegara. Pada bangunan utama dipajang foto-foto pendiri taman dan juga foto taman sebelum rusak, sehingga bisa diketahui oleh para wisatawan. Bali sebagai ujung tombak pariwisata Indonesia yang telah dikenal dengan adat budaya yang unik dan bangunan-bangunan taman nan indah, akan tetap menjadi tujuan wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni, Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...