Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur

Aug 8, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu,  dimeriahkan oleh penampilan puluhan Barong utusan kabupaten/kota se-Bali.. Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Ket atau Ketet, Barong Landung, Barong Kedingkling atau Blasblasan dan beberapa jenis Barong lainnya, disamping dipentaskan di atas panggung juga menyusuri ruang dan lorong-lorong yang ramai pengunjung. Ngelawang, demikian seni pentas nomaden ini disebut yang lazim dihadirkan saat ritus dan perayaan hari besar keagamaan seperti Galungan dan Kuningan.  Masih eksiskah tradisi itu kini?

            Ngelawang telah tergerus. Ketika tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya pulau Bali ini. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian puspa ragam seni yang membuncah dalam pentas ngelawang itu. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni tersebut mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya.

            Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-relegi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang ganjing, gunung meletus, laut mengamuk, hutan terbakar, dan banjir menerjang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat  pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

            Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim yang bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui sebuah pertempuran yang dahyat  Dewa Indra berhasil membinasakan si angkara murka Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat.

            Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 20 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang  adalah wahana pelestarian  dan pengembangan  nilai-nilai  estetis  nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang  adalah  hasrat sukmawi  masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama.   Ketenteraman hidup itu tak hanya yang bersifat lahiriah namun juga yang transendental, keduanya harus dirawat. Ketika kedamaian dharma hari suci Galungan-Kuningan sedang berdesir, tradisi ngelawang berperan serta untuk merawat kehidupan, merawat kerukunan sesama, merawat alam lingkungan, dan merawat harmoni dengan yang menciptakan kehidupan ini.

Namun pergeseran nilai rupanya  harus  mencabik energi budaya  yang memiliki  aspek spiritual, seni dan hiburan ini. Ngelawang kini kian menepi. Fenomana kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional   dalam  berbagai  aspek.  Atmosfir masyarakat agraris   tradisional   dengan   kekentalan psiko-religiusnya mungkin  memang kontekstual dengan  persemaian  yang kondusif   bagi eksisnya  tradisi ngelawang  pada  masa   lalu. Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi  nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik  daun.

Pamor  tradisi ngelawang  dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya  bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang  bimbang di persimpangan zaman dalam  guncangan dahsyat modernisasi. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam  PKB, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional  romantis sesaat bagi generasi yang pernah mengenal tradisi ini. Justru saat Galungan-Kuningan ini, dengan hasrat komoditifikasi, ngelawang dikemas industri pariwisata di hotel-hotel dan objek-objek wisata komersial.

Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tereduksi. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mengoyak  tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang tergusur, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan  masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat,  pada tahun-tahun belakangan ini jagat seni pertunjukan Bali pada umumnya memang sedang berkeluh kesah. Oleh karena itu, dapat dipahami bila belakangan para pegiat  seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang.

Jika kegamangan itu semakin akut  mendera kehidupan  berkesenian secara umum, tentu ini adalah alamat buruk bagi eksistensi nilai-nilai kasih tenteram yang dipancarkan oleh spiritualitas, kejujuran serta kebenaran, dan keindahan jagat seni. Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini. Namun jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan-pesan moral dalam ekspresi keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu.

Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur, selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...