Pengantar Karya Tari Sang Lingga

Nov 7, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman: I Made Astina, Mahasiswa PS Seni Tari ISI Denpasar

Manusia dikatakan sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai derajat paling tinggi dibandingkan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya, karena kemampuan daya fikirnya. Dengan pikiran, manusia dapat membedakan  mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Kemudian dengan menggunakan pikiran pula, manusia dapat merencanakan dan membayangkan kehidupan masa depan yang lebih baik. Namun disadari pula, melihat banyak perbuatan manusia yang lepas dari norma-norma agama membuat manusia menjadi rendah dihadapan Tuhan.

Manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara kreatif. Kelebihan yang dimiliki ini merupakan suatu kemampuan yang memungkinkan untuk mencapai suatu hal tidak diketahui dan yang dicita-citakan. Salah satu kapasitas yang dimiliki adalah kesempatan untuk mencipta merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan kreativitas yang dimiliki. Seseorang yang kreatif dalam bidang seni, biasanya memiliki imajinasi yang dikembangkan dengan media ungkap serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Berbagai seni timbul karena kemampuan manusia untuk menggali pandangan-pandangan tajam dari lingkungan sekitarnya. Keinginan untuk memberikan bentuk luar dari tanggapan serta imajinasinya yang unik, dapat dikembangkan kedalam seni pertunjukan kontemporer. Bentuk seni ini merupakan salah satu bagian pertunjukan dan menurut I Wayan Dibia di Bali mulai berkembang pada tahun 1970-an, serta mendapat dukungan yang kuat dari kalangan masyarakat dalam meramaikan Pesta Kesenian Bali yang diadakan setiap tahun di Taman Budaya Denpasar. Seni kontemporer mempunyai kecendrungan untuk berubah-ubah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Seni kontemporer memberikan kebebasan untuk menuangkan ide-ide seni tari kreatif  yang bebas dari ikatan-ikatan ruang, alam dan waktu serta norma-norma lainya. Bentuk dan pendekatan tari kontemporer Indonesia sangat beragam. Yang berhasil biasanya adalah yang memiliki warna individual yang kuat, memiliki jati diri, orisinil, dan bukan jiplakan atau tiruan.

Seni kontemporer merupakan salah satu bentuk kesenian yang mampu hidup, serta mendapat dukungan kuat terutama dari kalangan seniman muda ataupun seniman tua. Untuk mewujudkan karyanya, seorang koreografer kadang-kadang memadukan unsur gerak modern dengan warna seni yang sangat lekat dengan tradisi budaya masing-masing yang dikembangkan.

Beranjak dari semua itu penata berkeinginan untuk membuat sebuah garapan tari kontemporer, alasan yang mendasar penata memilih untuk menata tari kontemporer, karena bentuk garapan seperti ini menghasilkan gerak yang berbeda dengan gerak yang ada pada tari tradisi. Di samping itu, seni kontemporer mengandung unsur kebebasan berekspresi untuk berkarya dengan gaya tersendiri. Kebebasan ini bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya, akan tetapi kebebasan yang ditata melaui proses penyempurnaan.

Berbagai sumber tema dapat digunakan dalam tari, dapat bersumber dari apa yang kita lihat dan kita rasakan. Tema juga dapat kita ambil dari fenomena alam atau peninggalan sejarah yang ada dan pengalaman hidup. Sekalipun jangkauanya sangat luas, tema yang digarap oleh manusia sepanjang masa sesungguhnya tidak pernah beranjak dari tiga masalah besar yaitu Tuhan, manusia, dan lingkungan. Garapan tari kontemporer ini berbentuk tunggal atau solo yang menggambarkan kehidupan seorang lelaki tanpa pendamping hidup.

Kata tunggal atau solo dalam garapan tari kontemporer ini mengandung pengertian satu. Jadi dalam tari kontemporer ini penarinya hanya satu orang saja. Komposisi tari solo berbeda penggarapannya dengan komposisi tari kelompok, karena dalam tari solo elemen-elemen koreografi, seperti : desain lantai, desain atas, desain dramatik, dinamika merupakan elemen-elemen yang harus ada. Pengolahan atau penataan seperti desain ruang, waktu, dramatik dan dinamika cukup rumit, karena akan menjadi titik fokus pandangan penonton.

Garapan tari kontemporer ini mengangkat judul “Sang Lingga” yang menggambarkan kegagahan dan kekuatan seorang lelaki namun tidak bisa menjalani hidup sendiri, karena perlu pendamping hidup untuk mendapatkan kehidupan yang baru. Dalam kamus jawa kuno “Sang” yang berarti mulia. Sedangkan “Lingga” yang berarti phallus atau alat kelamin pria. Jadi Sang Lingga dapat diartikan, kemuliaan phallus atau alat kelamin pria yang sebagai simbol kesuburan.

Ide Garapan

Dalam menciptakan sebuah garapan tari sangat diperlukan kematangan dan kejelasan ide, yang nantinya akan memudahkan dalam proses untuk diwujudkan kedalam sebuah garapan tari. Ide merupakan suatu gambaran pemikiran, konsepsi, atau pendapat, pandangan yang bisa dihayati dari sebuah cerita lukisan, lakon, patung, dan sebagainya. Menciptakan sebuah garapan tari ini tidak terlepas dari ide garapan yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pelaksanaan mewujudkan garapan tari.

Ide ini terinspirasi dari sebuah patung Lingga Yoni yang kemudian divisualisasikan kedalam bentuk tari kontemporer, yaitu dengan menampilkan wujud Lingga. Lingga adalah alat kelamin laki-laki dan didalam bentuk patung Lingga berbentuk vertikal dan ujungnya oval. Maka penata mengangkat Lingga ini dalam bentuk garapan tari kontemporer yang bertemakan kehidupan sosok lelaki. Dan ide kekuatan Lingga terinspirasi dari sebuah buku yang berjudul Tantra dan Purana Siva Kekuatan dan Keajaiban pada bagian Sivalinga yaitu kutukan Bhargava dan Angirasa. Siva mengembara keseluruh penjuru dunia, meratap sedih atas kematian Satidevi pada saat berlangsungnya Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa dan Kamadeva mengikuti dengan panah asmara untuk melepaskan penderitaan dan kesulitan Siva. Selama pengembaraannya, Siva datang kepegunungan Vindhya. Kamadeva juga mengikutinya dan mulai menyerang Siva dengan panah asmaranya dan untuk menghindari diri dari serangan Siva yang dahsyat, ia bersembunyi di dalam hutan Daru yang lebat, yang merupakan tempat tinggal para maharsi bersama istrinya masing-masing. Siva memberi penghormatan kepadanya dan memohon danapunya kepadanya, namun para maharsi itu hanya diam dan asik melakukan Japa. Mereka tidak senang para istri mereka memberi penghormatan kepada Siva. Siva pergi meninggalkan tempat itu, namun semua wanita itu, kecuali Arundhati dan Anasuya, didorong oleh nafsu mereka mengikuti Siva. Dibuat marah atas hal tersebut, para petapa seperti Bhargava dan Angirasa mengutuk Siva bahwa phallusnya akan jatuh ke bumi. Tiba-tiba saja phallus dewa Siva lepas jatuh ke tanah dan Siva lenyap dari pandangan mata. Phallus tersebut mengoyak dan meremuk redamkan bumi, sampai ke Patala dan mengoyak alam semesta.

Pengantar Karya Tari Sang Lingga Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...