Persepsi Perupa Tentang Mode

May 14, 2011 | Berita

Jakarta – Bangunan berbentuk kubus itu tersusun dari lempengan-lempengan logam berwarna perak. Masing-masing sisinya memiliki sebuah lubang besar. Dari lubang yang bentuknya berbeda-beda itu kita bisa melongok ruang di dalamnya, menyaksikan tayangan video pada layar televisi yang terpasang di sana. Semacam passion room yang mempresentasikan fantasi, kreativitas, dan hasrat melalui tekstur, visual, dan suara audio untuk memberikan suasana bagi fantasi orang-orang yang melihatnya.

Inilah kreasi eksperimental seniman multitalenta Jay Subyakto dan perancang busana Stella Ressa. Karya instalasi bertajuk Bosex itu dipajang di ruang pamer Galeri Nasional mulai 8-15 Mei 2011 . Kotak perak itu menunjukkan bahwa fashion itu sebuah pilihan yang sangat bebas. “Setiap sisinya mewakili masing-masing pilihan, feminin, maskulin, androgini, dan animal,” jelas Jay.

Jay dan Stella terpilih mewakili seniman-seniman muda tanah air untuk menunjukkan kreativitasnya. Selain mereka, terpilih pula Kiki Rizki yang berkolaborasi dengan Erika Ernawan, Oscar Lawalata, Davy Linggar, Deden Hendan D., Dita Gambiro, dan Ruang Rupa. Mereka bergabung dengan Hussein Chalayan, Antonio Marras, Gaspard Yurkievich, Raf Simons, dan Michael Sontag yang dikenal sebagai seniman besar seni kontemporer Eropa dalam pameran bertajuk Dysfashional #6.

Luca Marchetti, salah seorang kurator pameran ini menjelaskan Dysfashional dirancang sebagai sebuah situs di mana pameran menjadi ruang eksperimen, sebuah tanah eksplorasi baik untuk seniman maupun pengunjung. Dysfahional menurut pria berkebangsaan Italia itu, tidak menyuguhkan fashion dalam wujud pakaian dan sebagainya, tetapi menunjukkan bahwa fashion melampaui obyek yang menjadikannya materi. “Fashion adalah suatu sensibilitas yang tidak stabil,” jelasnya. Fashion dalam pameran ini diinterpretasikan dalam arti seluas-luasnya.

Jakarta sendiri terpilih sebagai kota pertama di luar Eropa yang menyelenggarakan pameran ini. Sebelumnya, Dysfahional yang menampilkan berbagai karya yang diseleksi dua kurator Italia, Luca Marchetti dan Emanuele Quinz, itu digelar di Luxembourg (2007), Lausanne (2008), Paris (2009), Berlin dan Moskow (2010).

Dysfashional #6 digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta, bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien, Galeri Nasional ,serta Majalah Dewi, dalam rangka pembukaan Festival Seni Prancis 2011. “Acara ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi seniman-seniman Indonesia menampilkan karya-karya kreatif mereka,” jelas Direktur CCF Jakarta David Tursz.

Inda C. Noerhadi, kurator dari Galeri Nasional Indonesia menjelaskan proyek pameran seni ini disiapkan dalam waktu cukup singkat. Rapat pertama antara CCF Jakarta, Goethe-Institut, dan Galeri Nasional digelar pada awal Februari 2011 . Kemudian, pada pertengahan Februari, dua kurator Luca Marchetti dan Emanuele Quinz datang dari Paris untuk bertemu beberapa perancang busana dan seniman Indonesia yang diundang dari berbagai tradisi, generasi, tujuan artistik, dan wilayah kerja yang berbeda, namun memiliki semangat yang sama untuk mendukung Dysfashional.

Rangkaian rapat dan diskusi dilakukan untuk menguatkan tujuan proyek seni ini, yakni bukan untuk mendefinisikan mode, tetapi untuk menekankan fenomena mode yang amat penting dalam evolusi aliran-aliran kreatif baru.

Proses menyamakan ide itu, jelas Inda, bukanlah persoalan mudah. “Ada beberapa kesalahpahaman mengenai topik, bahwa pameran ini sama sekali bukan menampilkan pakaian atau garmen,” jelasnya. Setelah melewati proses diskusi dan dialog, terpilihlah tujuh artis Indonesia (dua perancang busana dan dua seniman) dari latar belakang yang beragam. Mereka diberi kesempatan untuk mengekspresikan visi-visi , dunia, dan imajinasi mereka tentang fashion.

Dua seniman, yakni Dita Gambiro dan Deden Hendan Durahman menyajikan dua karya lama mereka. Duta memamerkan dua karya instalasinya, Mbak Yu dan Savety First yang dibuat pada 2007. Mbak Yu merupakan sebuah rangkaian tujuh sapu yang digantung di dinding dengan ukuran berbeda. “Sapu mewakili peran domestik perempuan,” katanya. Sementara, Safety First adalah lima rangkaian helm yang terbuat dari rambut sintetis, sanggul, aksesoris rambut, helm, dan rotan yang dipajang d atas meja putih. “Helm lebih sebagai lambang perlindungan,” kata Gita.

Lain lagi dengan Deden. Dalam pameran ini, dia memajang dua karya fotografi yang dibuatnya pada 2008. Karya fotografi berukuran 120 x 250 sentimeter berjudul Corpus: Perspective I & II itu dianggap sebagai cerminan pemikiran fundamental yang mengatakan bahwa mode dimulai dari titik nol. Manusia dilahirkan tanpa pakaian dan kemudian ditutupi oleh mode dan menggunakan banyak elemen atau aksesoris untuk memperkuat identitas mereka.

Emanuele Quinz menjelaskan Dysfashional yang berasal dari budaya Eropa telah melahirkan mode kontemporer yang menngandung konsep yang selalu membentuk perkembangan artistik. “Konsepnya sangat sederhana, tapi rumit untuk dipahami,” jelas Emanuele. Setiap seniman diberi kesematan mengeksplorasikan fashion dari sudut pandangnya, baik dalam bentuk karya instalasi, fotografi, dan berbagai medium lainnya.

Kiki Rizky dan Erika Ernawan, misalnya, menyuguhkan perspektif mereka tentang fashion lewat video performance berjudul “Let’s Talk About”. Di video itu, terlihat Kiki dan Erika terus mengoceh soal fashion, tapi satu sama lain “tidak nyambung”. Erika bicara soal sejarah fashion, sedangkan Kiki membaca majalah fashion secara tidak berurutan. “Kami berusaha memahami fashion dengan cara banal. Seperti menjebak diri dalam kenihilan, berawal dari ketiadaan, berakhir pada ketiadaan pula,” jelas Kiki.
NUNUY NURHAYATI

Sumber: tempointeraktif.com

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...