Sejarah Gambuh di Desa Kedisan

May 3, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Sejarah adalah rentetan peristiwa pada jaman lampau yang memang benar-benar terjadi. Keberadaannya dapat dibuktikan berupa peningalan-peninggalan arca maupun prasasti. Sejarah pada umumnya sangat berkaitan dengan manusia, lingkungan, dan kebudayaan. Untuk menunjukan bukti tentang terjadinya suatu peristiwa pada jaman dahulu, orang-orang pada waktu itu menuliskan sebuah prasasti maupun tanda-tanda peninggalan sejarah berupa arca-arca. Misalnya sejarah perkembangan desa, yang secara tidak langsung diikuti oleh seni dan kebudayaan masyarakat tersebut. Di dalam mengungkap sebuah sejarah perlu adanya langkah-langkah khusus yang dapat membantu menemukan bukti-bukti sejarah yang akan dicari.

Untuk menggali data-data yang dapat menunjang dan memberikan imformasi sejarah Gambuh Kedisan yang sebenaranya, peneliti menggunkan metode heuristik. Peneliti berusaha menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak peristiwa sejarah yang sebenar-benarnya, yang mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia di waktu yang lampau. Dengan menelusuri berbagai sumber sejarah, seperti benda dan peralatan, sumber sejarah tertulis (dokumen dan prasasti), dan sumber lisan yaitu wawancara. Dalam mengungkap sejarah Gambuh Desa Kedisan selain peneliti mendapat data-data tertulis dari dokumen, peneliti lebih banyak menggunakan metode wawancara. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui kevaliditas data tertulis yang didapat, dan secara khusus tidak ada prasasti dan bukti atau sejarah tertulis tentang kesenian Gambuh ini. Hanya sedikit disinggung pada sejarah terbentuknya Desa Kedisan.

Menurut Jro Mangku Manggih (56 tahun) jauh sebelum kedatangan warga Aan ke Desa Kedisan kesenian Gambuh tersebut sudah ada di desanya. Ketika warga Aan mengetahui di Desa Kedisan terdapat Kesenian Gambuh, warga tersebut memutuskan untuk ikut ngamuh (bergabung dengan Kesenian Gambuh) dan menetap di Desa Kedisan.

Menurut lontar Arya Wang Bang Sidemen, Ki Pasek Katrangan dan pengiring lainnya meninggalkan Aan pada windhu wisaya warih prabu, yang artinya Isaka 1450 atau tahun 1528 masehi, dengan tujuan mengiringi kepergian I Gusti Kacang Dawa. Warga Aan pada saat itu membawa Gelungan Panji yang merupakan tanda kesaktian dari Ki Pasek Katrangan. Gelungan Panji tersebut sampai sekarang ini masih terdapat di Desa Kedisan. Keberadaannya disakralkan dan ditempatkan (disungsung) di Pura Pemaksan (kawitan) warga Aan. Pura kawitan adalah pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis vertikal geneologis. Secara tidak langsung dari prasasti ini menyebutkan Kesenian Gambuh di Desa Kedisan sudah ada sejak jaman kerajan terdahulu. Bukti tertulisnya secara tidak langsung diketemukan pada lontar Candrasangkala yang mengisahkan tentang terbentuknya Desa Kedisan. Pada tahun Isaka Apuy Awtaraning Jaladhi Canra

(Apuy = 3, Awtara = 6, Jaladhi = 4, Candra = 1) artinya 1464 saka atau 1541 masehi.

I Gusti Ngurah Widiantara, mengatakan secara historis Gambuh Kedisan tidak ada kaitannya dengan Kesenian Gambuh dan puri yang ada di daerah lainnya, terkecuali dengan Puri Kedisan. Puri Kedisan merupakan tempat tinggal penglingsir (tokoh puri) yang datang ke Desa Kedisan membawa Gelungan panji dengan Ki Pasek Katrangan. Akan tetapi di Puri Kedisan tidak terdapat  Bale Pegambuhan, seperti di Puri Gianyar.

Gambuh Kedisan tidak dibentuk dalam wilayah puri, melainkan secara autodidak tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat Kedisan yang memang menyukai Kesenian Gambuh. Gambuh ini selalu diminta ngayah (pentas) di Puri  Gianyar, Puri Ubud, dan masyarakat lainnya ketika ada kegiatan upacara keagamaan di lingkungan puri dan masyarakat. Maka dari seringnya pentas di Puri Gianyar, Puri Ubud dan puri lainnya Gambuh Kedisan menjadi terkenal, dan dikenal dengan istilah Gambuh Kedisan.

Gambuh Kedisan merupakan Gambuh yang memiliki ciri khas tersendiri dari Gambuh lainnya. Ciri khas yang paling menonjol adalah penari, dimana semua penari Gambuh diperankan oleh seorang laki-laki. Sehingga Gambuh Kedisan juga disebut dengan istilah Gambuh lanang.  Tarian Gambuh Kedisan memiliki gerak tari yang sedikit kaku (sogol), karena ditarikan oleh laki-laki. Sehingga dari sebuah gerak tari yang kaku (sogol) pada Gambuh Kedisan menimbulkan sebuah ke khasan dalam tarian tersebut.

Pada tahun 1965 Gambuh Kedisan sempat mengalami fakum dari pertunjukan, karena makin sedikitnya penari Gambuh dan sedikitnya generasi yang mau menekuninya. Untuk membangkitkannya kembali, timbul inisiatif untuk mendatangkan pelatih Gambuh dari Desa Batuan, yaitu I Nyoman Kakul dan putranya I Nyoman Mukel. Pada tahun 1965 sempat dua periode mendatangkan pelatih dari Desa Batuan yang pertama Dewa Aji, dan yang kedua barulah  I Nyoman Kakul. Karena kuatnya style Gambuh Kedisan yang dikuasai, dan dipergunakan dari jaman dulu, mengakaibatkan sulitnya menerima style tarian dari Batuan, yang diajarkan oleh I Nyoman Kakul dan I Nyoman Mukel.Tidak lama kemudian akhirnya kembali dengan style Kedisan yang sering dipergunakan dari jaman dulu.

Sejarah Gambuh di Desa Kedisan, selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...