Sejarah Karawitan Bali di Yogyakarta

Feb 14, 2010 | Artikel, Berita

Oleh I Ketut Ardana

Ujian TA Seni KarawitanKarawitan Bali sebagai bagian dari seni musik tradisional (etnis) Indonesia telah berkembang pesat. Salah satu fenomena seni yang dapat mengindikasikan wacana tersebut di atas adalah banyaknya bermunculan group-group karawitan Bali di Bali, seperti sanggar printing mas, sanggar saraswasti, sekehe gong kencana wiguna, dan lain-lain. Berdirinya group-group karawitan Bali bahkan sampai ke luar Bali antara lain : Jepang(sekar jepun), Amerika Serikat (Sekar Jaya), Jerman (Kacau Balau), Jakarta, dan Yogyakarta. Perkembangan ini disebabkan antara lain: 1) budaya Bali yang tidak dapat dipisahkan dengan kesenian khususnya seni karawitan, seperti misalnya agama dan adat-istiadat Bali. 2) sikap terbuka masyarakat Bali yang selalu mampu mengkomparasi karawitan Bali dengan idiom-idiom musik atau karawitan Jawa (gending gambang suling). 3) sikap-sikap kreatif para seniman Bali yang selalu memberikan wajah-wajah baru dalam khasanah gending-gending karawitan Bali. 4) nuansa karawitan Bali khususnya gending-gending kebyar bersifat enerjik, keras, dan dinamis. Selain itu, keterkaitan antara upacara agama Hindu yang diklasifikasi dalam panca yadnya dengan karawitan Bali berdampak pada kehidupan karawitan Bali di luar Bali yaitu di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Orang-orang Bali yang merantau ke Yogyakarta selain berbekal tekad yang kuat untuk merintis karir secara ekonomi, bersekolah, juga membawa budaya dan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai orang Bali. Oleh karena itu, peta perkembangan karawitan Bali di Yogyakarta cukup signifikan. Pada tahun 1953 pemerintah Daerah Bali mendirikan Asrama Putra Bali di Jalan Mawar no 2 Baciro Yogyakarta yang bernama Asrama Saraswasti, diresmikan pada tahun 1954. Asrama ini kemudian dijadikan pusat kegiatan untuk seluruh warga Bali yang ada di Yogyakarta, mulai dari kegiatan kesenian, olah raga, dan kegiatan keagamaan. Seiring dengan adanya sekretariat kegiatan orang Bali di Yogyakarta, maka dengan alasan sosial kemasyarakatan dibentuk sebuah organisasi yang menaungi orang-orang Bali di Yogyakarta. Organisasi itu bernama Keluarga Putra Bali (KPB) Purantara Yogyakarta. Sama halnya dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain, secara struktural kepengurusan KPB terdiri dari : ketua umum, wakil ketua umum, bendahara, sekretaris, ditambah dengan seksi-seksi seperti seksi kesenian, seksi upacara, dan lain-lain. sampai sekarang jumlah anggato dari KPB sudah mencapai ratusan kepala keluarga. Ada yang sebagai pengusaha, polisi, buruh, dosen, serta seniman. Meskipun memiliki bakat atau keahlian yang berbeda-beda namun masyarakat KPB menyempatkan diri untuk belajar bermain karawitan Bali khususnya gamelan. Adanya suatu oraganisasi yang menaungi masyarakat perantau dapat memberikan kebebasan ruang kepada masyarakat Bali di Yogyakarta untuk mengekspresikan budayanya. Sebuah budaya adiluhung sebagai identitas etnis asalnya.

Masyarakat KPB yang kebanyakan menganut agama Hindu bersama-sama, berbaur, bekerjasama dengan masyarakat Yogyakarta asli yang beragama Hindu dan para mahasiswa Hindu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan mulai dari upacara piodalan di pura-pura di Yogyakarta maupun melakukan perayaan tahunan upacara nyepi yang terpusat di Candi Prambanan Yogyakarta. Agama sebagai garis vertikal yang menghubungkan tuhan dengan umatnya memberi suatu dampak positif terhadap kesenian. Ada anggapan bahwa ngayah dengan bermain gamelan dan menari merupakan sebuah doa sebagai umat beragama Hindu. Anggapan tersebut memberi motivasi yang kuat kepada masyarakat untuk belajar seni.  Oleh karena itu, pada tahun 1963 KPB Purantara membentuk sanggar tari Bali serta group karawitan Bali. Selain itu, pola pikir terhadap pengembangan budaya khususnya kesenian juga menjadi faktor kehadiran sanggar tari dan karawitan.

Sampai saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat lebih kurang 9 barung gamelan Bali, yaitu 1 barung gamelan gong kebyar, 1 barung gamelan semaradana, dan 1 barung balaganjur dimiliki oleh asrama Saraswati; 1 barung gamelan gong kebyar, 1 barung gamelan gong gede, 1 barung gamelan semar pagulingan, 1 barung gamelan gender wayang dimiliki oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta; 1 barung gamelan gong kebyar dimiliki oleh SMKI Yogyakarta; dan 1 barung gamelan semaradana dimiliki oleh Bapak I Wayan Senen. Dari sekian banyaknya barungan gamelan hanya 2 sekehe gong yang eksis sampai sekarang, yaitu sekehe gong Sarawati dan sekehe gong Arya Kusuma sekehe gong asrama saraswati anggotanya kebanyakan yang terlibat adalah para mahasiswa dari Universitas UKDW, Universitas Gadjah Mada, AKAKOM, ISI Yogyakarta, serta beberapa dari anggota KPB Purantara. Dengan demikian keanggotaan sekehe gong asrama saraswati bersifat sementara. Ketika para mahasiswa itu lulus maka mereka meninggalkan Yogyakarta sekaligus keluar dari anggota sekehe dan digantikan oleh mahasiswa baru. Dari tahun ke tahun regenerasi keanggotaan sekehe gong asrama saraswati lebih banyak dari orang yang keterima sebagai mahasiswa baru di lingkungan universitas se Yogyakarta. Seperti itulah keberadaan sekehe gong asrama Saraswati.

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...