Tari Bali Tempo Dulu Dari Negeri Sakura

Sep 3, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar

            Buku tentang seni pertunjukan Bali, Dance and Drama in Bali (1938), karya Beryl de Zoete dan Walter Spies menyebutkan bahwa pada tahun 1935 di Bali telah ada tari selamat datang yang bernama Tari Pengaksama.  Sekelumit informasi dari buku tua itu membuat penasaran seorang penari dari Negeri Sakura, Ami Hasegawa. Dalam penelusurannya di Bali, penari yang pernah belajar di ISI tersebut, menemukan bahwa seni pentas yang usianya lebih tua dari Tari Pendet (1950-an) itu diciptakan oleh I Nyoman Kaler dari Banjar Pagan (Denpasar). Namun bagaimana bentuk tari dan iringan gamelannya, Ami sangat sulit menemukan nara sumbernya. Beruntung, penari sepuh Bali Ni Ketut Arini, masih memiliki sekelebat bayangan dengan karya tari yang dibawakan oleh sepasang penari wanita itu. Atas dorongan Ami Hasegawa, Arini kemudian merekonstruksinya. Pada Senin (20/6) malam lalu disuguhkan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB).              Bukan hanya Tari Pengaksama, pada malam itu, penonton juga disuguhkan tari-tarian tua dan langka yang tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali masa kini. Melalui tajuk pagelaran “Tari-tarian Tempoe Doeloe“ ditampilkan pula Tari Rejang Renteng, Baris Kekoepoe, dan Tari Wiranjaya. Yang mencengangkan penonton yang memadati Wantilan Taman Budaya Bali itu adalah semua penari yang membawakan tari masa lampau itu adalah wanita berkulit kuning dari Jepang. Diiringi oleh Sanggar Gamelan Cendana Batubulan, para penari Sanggar Basundhari pimpinan Ami Hasegawa yang bermarkas di Kanagawa, Jepang, tampil penuh percaya diri dengan penguasaan teknik tari yang cukup pasih.

            Selain Tari Pengaksama, rekonstruksi Tari Kekoepoe juga berdasarkan informasi yang ditemukan Ami pada buku Zoete dan Spies itu. Untuk merekonstruksi Tari Pengaksama dan Kekoepoe serta mengajarkan kepada para penari dari Negeri Sakura itu, Ketut Arini diundang datang ke kota Kanagawa–sekitar 200 kilometer arah utara Tokyo. Hanya berbekal sepotong ingatan, kira-kira sebulan sebelum gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Arini menuangkan kedua tarian itu. Untuk tari Kekoepoe, tak begitu menemukan kesulitan sebab  tari yang juga diciptakan oleh I Nyoman Kaler ini, pernah dibawakan Ketut Arini pada tahun 1961. Tetapi proses rekonstruksi Tari Pengaksama yang agak sulit, baik menyangkut tata tarinya maupun iringan gamelannya. Saat mengajarkan pada penari Sanggar Basundhari, Arini hanya mengiringi dengan gamelan dari mulutnya. Iringan gamelan Tari Pengaksama tersebut baru kemudian digarap di Bali oleh komposer I Ketut Suanda berdasarkan potongan-potongan ingatan Arini.

            Begitu iringan kedua tari itu selesai direkonstruksi di Bali, rekamannya, dikirim ke Jepang untuk dipakai latihan oleh para penari yang akan membawakannya dalam PKB. Tetapi latihan tak dapat berlangsung lancar, selain dihambat pemulihan akibat tsunami, juga karena para penarinya tinggal di kota berjauhan dengan kesibukan pekerjaannya masing-masing. Solusinya, dengan salinan kaset iringan gamelan dan rekaman video latihan yang diarahkan Ketut Arini, para penari mempelajarinya sendiri-sendiri. Baru setiba di Bali–berangkat dari kota asalnya masing-masing–seminggu menjelang pentas, ujar Ami Hasegawa, para penarinya bertemu dalam latihan gabungan yang langsung diiringi oleh grup Gamelan Cendana Batubalan pimpinan Ketut Suanda yang punya nama panggung I Cedil.

            Di PKB, kerjasama para seniman Jepang dan Bali itu mengawali penampilannya dengan Tari Rejang Renteng dan mengakhirinya dengan Tari Wiranjaya. Kedua tari ini juga tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali. Berbeda dengan Tari Pengaksama dan Kekoepoe yang direkonstruksi di Jepang, Rejang Renteng dan Wiranjaya direvitalisasi di Bali. Rejang Renteng sejatinya adalah tari ritual sakral yang jenisnya  cukup beragam di Bali dengan bermacam sebutan. Tari yang ditradisikan di Nusa Penida, Klungkung, ini mulai disosialisasikan pada masyarakat umum pada tahun 1999. Malam itu dibawakan oleh Chiaki Watanabe, Miyuki Arai, Sae Yasuda, dan Mamiko Kasumi dengan penuh ketenangan dengan busana kebaya putih-kuning.

            Berbeda dengan tari Rejang Renteng yang bernuansa khusuk, Tari Wiranjaya menggebrak ramai dan dinamis. Wiranjaya adalah jenis tari kakebyaran yang menguak di Bali Utara pada tahun 1957, mengisahkan tentang pelatihan perang ksatria Pandawa, Nakula dan Sahadewa, dalam ketangkasan memanah. Tari ciptaan Ketut Merdana ini seangkatan dengan Tari Tarunajaya yang telah cukup dikenal masyarakat Bali. Malam itu, Mayumi Inouye dan Mariko Inui, membawakannya penuh semangat. Penonton yang umumnya tak pernah menyaksikan tari yang lahir di Buleleng bagian barat (Dauh Enjung) tersebut, terpukau akan tata artistik tari yang disajikan sekitar 10 menit oleh dua wanita Jepang itu.

            Memang terasa lucu dan aneh. Masyarakat Bali diperkenalkan tari Bali zaman dulu oleh orang asing, para penari Negeri Sakura. Tari Pengaksama diperkenalkan oleh dua orang penari yaitu Ami Hasegawa dan  Megumi Wakabayashi. Tari Kekoepoe (Tari Baris Kupu-kupu) diperkenalkan oleh Ai Ideguchi, Chizuko Sami, Sayaka Nagayama, dan Yuko Hasegawa. Kendati demikian kita tak perlu merasa “dipermalukan“. Sepatutnya masyarakat Bali salut pada para insan seni dari Jepang itu yang dengan sarat apresiasi, daya, biaya merekonstruksi dan memperkenalkan tari Bali tempoe doeloe di tanah kelahiran dan kepada masyarakat pemilik kesenian itu sendiri.

Tari Bali Tempo Dulu Dari Negeri Sakura, Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...