Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian I

Jan 20, 2011 | Artikel, Berita

Kiriman Arya Pageh Wibawa, Dosen PS Desain Komunikasi Visual

Pengantar

Televisi adalah salah satu bentuk mass media yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk konstruksi realitas. Hampir sebagian besar waktu luang manusia dihabiskan di depan pesawat televisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi adalah salah satu bentuk dari budaya popular manusia. Menurut survey yang dilakukan (Allen, 1992) disebutkan bahwa khalayak di Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton sekitar dua kalinya. Orang Amerika “rata-rata” akan menghabiskan lebih dari tujuh tahun menonton televisi (Kubey and Csikszent-Mihalyi, 1990). Bila dibandingkan dengan media-media lain, televisi bersifat istimewa karena kesediaannya yang lengkap. Dan ada sesuatu yang juga lebih spesial perihal program televisi ini, yang secara langsung terkait dengan representasi suatu kelompok sosial (Burton, 2000).

Program-program yang ditayangkan televisi cukup beragam. Mulai dari iklan sampai opera sabun. khayalak pemirsa tidak serta merta dapat langsung menterjemahkan program-program yang ditayangkan televisi. Seperti yang diungkapkan oleh Hall (dalam John Storey, 1996)

“kesalahanpahaman yang bersifat secara harfiah pastilah ada. Penonton tidak mengetahui istilah-istilah yang digunakan, tidak bisa mengikuti logika argumen atau penjelasan yang kompleks, tidak akrab dengan bahasa tertentu, menemukan konsep-konsep yang terlalu asing atau sulit atau dikelabui dengan narasi yang berbelit-belit. Namun, lebih sering para broadcaster risau bahwa khalayak gagal mengambil makna seperti yang mereka maksudkan. Apa yang sesungguhnya ingin mereka katakana adalah bahwa para pemirsa tidak beroperasi dalam kode yang ‘dominan’ atau yang lebih disukai”.

Pemahaman yang terjadi merupakan sebuah titik temu antara program dengan sekumpulan persepsi yang ada serta penilaian yang telah ada sebelumnya dalam benak pemirsa.

Setiap representasi yang dihadirkan lewat program-program televisi, merupakan bagian kompleks dari representasi lainnya. Misalnya representasi tentang kelelakian bisa juga merupakan bagian dari misalnya “suami” atau bisa juga berarti bahwa dalam program tertentu, merupakan sebuah gambaran tentang gender atau pekerjaan. Menurut Fairlough (1995), representasi dalam teks media boleh dikata berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi. Menurut pandangan marxis (Burton, 1999) berargumen bahwa media secara umum merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial, dan merepresentasikan pelbagai nilai dan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang biasanya menolak pandangan orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan (p.85). Menurut teori feminis, perspektif feminis tentang media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media dan masyarakat tertarik kepada bagaimana media mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan. Mereka tertarik pada pelbagai implikasi bagi sosialisasi melalui gender (p.87).  Teori postmodernisme lebih tertarik kepada pelbagai kesenangan dalam teks daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat (p.89). Menurut Burton (2000), representasi dapat dipahami tatkala berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasi sosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi. Dalam pandangan Burton ada beberapa hal yang perlu dimengerti berkaitan dengan representasi sehingga relasi sosial yang berwujud dominasi dan eksploitasi ini terbentuk, yaitu stereotip, identitas, perbedaan, pengalamiahan dan yang tidak bisa dilupakan pula adalah ideologi.

Proses melihat gambar televisi yang tersusun atas representasi-representasi adalah proses yang kompleks. Melihat bukan sekadar aktifitas visual. Tindakan melihat hanya merupakan bagian dari persepsi, yang dalam prosesnya harus memahami apa yang dilihat. Ada persoalan pengalaman budaya yang dihubungkan dengan penglihatan atau pencerapan ini. Menurut Burton (2000), melihat citra/gambar dalam televisi terbagi menjadi dua yaitu melihat sebagai sudut pandang kritis dan melihat sebagai posisioning spasial atau temporal. Melihat dengan sudut pandang kritis adalah menggunakan frasa berdasarkan posisi pemirsa namun terutama berdasarkan konotasi kritisnya. Stuart Hall (1977) menggambarkan tiga “sudut pandang” untuk melihat dengan sudut pandang kritis ini yaitu :

Televisi sebagai Konstruksi Realitas, Bagian I, Selengkapnya

Berita Terkini

Kegiatan

Pengumuman

Artikel

KOMERSIALISASI PADA SENI PERTUNJUKAN BALI

Kiriman : Dr. Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. Abstrak Dinamika zaman yang terkait dengan gelombang transformasi budaya memunculkan perkembangan, pergeseran dan perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Spesialisasi pada suatu bidang tertentu melahirkan...

Loading...