CALONARANG MASIH MENYIHIR MASYARAKAT BALI

CALONARANG MASIH MENYIHIR MASYARAKAT BALI

Copy (2) of DSC05838Dulu, teater Calonarang lazimnya mengerang di halaman luar Pura Dalem dalam sebuah ritual keagamaan. Kini, drama tari ini juga tampil garang di ruang-ruang pribadi keluarga lewat tayangan televisi. Penampilannya dalam konteks ritual keagamaan disangga oleh suasana yang komunal religius, sedangkan ketika tersaji dalam layar profan televisi, seni pertunjukan Calonarang mensejajarkan dirinya dengan sinetron, reality show, konser musik dan program hiburan lainnya, yang, tentu saja disimak pemirsa dalam suasana rumahan, santai dan tak formal.

Bali TV adalah salah satu stasiun televisi yang sejak berdiri hingga kini sering menayangkan teater Calonarang. Biasanya Calonarang yang disuguhkan oleh televisi swasta pertama yang bersiaran di Bali itu diangkat dari pementasan-pementasan di tengah masyarakat. Kamis (17/9) malam lalu misalnya, lewat program Lila Cita-nya, disuguhkan Calonarang yang direkam di Pameregan Pemecutan, Denpasar. Seperti halnya dalam pagelaran Calonarang di jaba pura Dalem pada sebagian besar desa-desa di Bali, tayangan drama tari Calonarang dalam layar kaca itu cukup mendapat perhatian besar penonton bila dibandingkan dengan sajian seni pentas tradisional Bali yang lainnya.

Perhatian masyarakat menyaksikan Calonarang di televisi dengan menonton pertunjukan langsung di tengah masyarakat berbanding sejajar. Seni pentas yang tak begitu sering digelar ini senantiasa disaksikan masyarakat dengan penuh perhatian, bila perlu hingga menjelang pagi. Tradisi mementaskan drama tari Calonarang serangkaian dengan odalan di Pura Dalem Gede Desa Sukawati, Gianyar, misalnya telah sejak dulu menjadi pagelaran seni yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mungkin karena apresiasi masyarakat yang besar itu yang menyebabkan teater ini lestari di desa Sukawati dan di tengah masyarakat Bali pada umumnya.

Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung.  Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada  abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.

Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra  sumber sebagai  bingkai  intrinsik saja.  Implementasi dan transformasi tata  pentasnya  dicangkokkan  dengan pola-pola,  idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku dalam   seni pertunjukan tradisional Bali. Namun dalam teater Calonarang, yang selalu bahkan harus ditonjolkan, adalah  sub-tema sihirnya yang disebut leak tadi.

Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang.  Ceritanya pada tahun 1931,  Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang  dengan tajuk Dongeng dari Dirah.

Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri.  Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.

Sub tema sihir memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang.  Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang trance yang membuat penonton tampak tegang.

Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan (memandikan  mayat). Orang yang  jadi   mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya  di  Bali.  Sementara madusang-dusangan ini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.

Pertunjukan teater Calonarang di televisi tentu saja tidak memberi efek menyeramkan bila dibandingkan dengan atmosfer pementasan dalam konteks yang sesungguhnya. Tetapi karena muatan subyektifitas masyarakat Bali tentang nilai-nilai religius dan ketakutan pada dunia mistik begitu kental ditransformasikan dalam teater ini, membuat penonton televisi seperti hanyut secara emosional. Bisa jadi karena kuatnya subyektifitas itulah menyebabkan presentasi artistik dan representasi kultural teater Calonarang dalam pagelaran langsungnya di tengah komunalitas masyarakat Bali, selalu mampu menyihir penonton.

Kadek Suartaya

Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni ’Mudra’ ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Prof. Rai tengah menunjukkan jurnal "Mudra" ISI Denpasar

Denpasar – Guna membangun serta menggairahkan semangat dalam bidang tulis menulis dilingkungan dosen ISI Denpasar, UPT. Penerbitan ISI Denpasar menggelar Lokakarya Pembinaan Jurnal Bidang Seni Mudra ISI Denpasar dari tgl 17-18 Nopember 2009, bertempat di Inna Bali Hotel Veteran. Kegiatan pengembangan jurnal bidang seni yang diberikan oleh DP2M-DIKTI kepada Jurnal Makara seri Sosial Humaniora untuk membina Jurnal MUDRA melalui hibah jurnal yang memenuhi Standar Mutu dan Tata Kelola Nasional, dengan ini pengelola jurnal MUDRA ISI Denpasar. Lokakarya diikuti 17 peserta yang terdiri dari penyunting, editor dan redaksi Jurnal Jurusan Tari (Agem), Karawitan (Bheri), Pedalangan (Wayang), Seni Rupa Murni (Rupa) dan Desain (Prabangkara). Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wasmen Manalu dengan 3 materi naskah tentang, yaitu ”Memburu Naskah Lebih Bermutu Dan Manajemen Naskah”, ”Teknik Penyuntingan” serta ”Organisasi Penerbitan Dan Kiat Menjamin Keterlibatan Aktif Mitra Bestari”, Dr. Yoki Yulizar, MSc. Dengan materi ”Pengalaman Pengelolaan Berkala Dan Pelanggan”, Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A, yang mengevaluasi Jurnal. Selain itu hadir juga pembicara dari ISI Denpasar yaitu Drs. I Ketut Murdana., MSn, dengan materi ”Arah Kebijakan Penerbitan Institut Seni Indonesia Ke Depan”.

Dalam lokakarya terungkap bahwa publikasi dari karya dosen sangat diperlukan untuk bisa dibaca dan diketahui banyak orang tentang temuan, atau ide-ide cemerlang dari seseorang penemu yang kemudian bisa dikembangkan atau dijadikan sumber acuan bagi pelaksanaan program yang lain. Hal ini juga tidak terlepas dengan membangun semangat kembali untuk menggairahkan dalam bidang tulis menulis sebagai kewajiban tridarma seorang dosen dan kemudian mempublikasikannya. Sumber juga diketahui bahwa publikasi peneliti Indonesia di dunia internasional masih sangat kurang. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya menulis yang belum berkembang di masyarakat pada umumnya, khususnya di perguruan tinggi. Hal ini juga disebabkan karena rendahnya kemauan dan kemampuan menulis hasil-hasil penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat dalam berkala bermutu, sehingga hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat publikasinya melalui berkala ilmiah nasional maupun internasional masih rendah atau kurang. Pengembangan budaya dalam meningkatkan kemampuan atau motivasi menulis, menjadi suatu tantangan dan permasalahan yang harus segera dapat dicarikan solusi pemecahannya. Untuk dapat menampilkan berkala ilmiah yang bermutu juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Kita sadari bahwa di Indonesia masih sedikit sekali berkala ilmiah yang mampu memuat naskah-naskah bermutu, karena ada dua pemasalahan umum yang dihadapi para pengelola berkala ilmiah, yaitu ketersediaan naskah bermutu; dan keberlanjutan pengelolaaan berkala. Naskah bermutu sangat terbatas karena pada kesadaran peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat melalui berkala ilmiah masih belum termotivasi dengan baik. Tanggungjawab moral terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menyebarluaskannya masih perlu terus dimotivator oleh para pengelola, belum tumbuh dari dalam disri seorang peneliti/dosen. Padahal hasil-hasil penelitiannya tentunya akan yang sangat berguna bagi masyarakat luas baik untuk kepentingan praktis maupun pengembangan teoritis. Di samping itu kemampuan pengelola berkala juga dirasa kadang masih jauh atau kurang, sehingga tidak melakukan penyuntingan dan pengelolaan berkala secara optimal. Hal ini berdampak pada rendahnya mutu artikel yang diloloskan/dimuat. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, maka diperlukan melakukan peningkatan mutu pengelolaan berkala ilmiah dengan mengadakan penataan dan lokakarya menajemen berkala ilmiah secara sisitematis dan berkelanjutan.

Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., mengungkapkan, lokakarya ini menjadi salah satu solusi, yang bertujuan meningkatkan kemampuan peserta dalam membuat artikel ilmiah sesuai dengan persyaratan untuk jurnal nasional dan internasional, dan patut kita sambut dengan tangan terbuka. Prof. Rai akan terus memotivasi para dosen untuk terus berkarya lewat tulisan. Sehingga tujuan utama dari kegiatan penataan dan lokakarya ini adalah meningkatkan mutu berkala dan kemampuan pengelola berkala ilmiah termasuk mekanisme serta segi-segi penting dalam meningkatkan mutu berkala dan proses akreditasi dapat terealisasi.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

SENI KONTEMPORER DIKEBIRI SENI TRADISI BALI?

DSC00644

Denpasar – Seniman bertubuh tambun, Slamet Gundono, yang dikenal sebagai dalang Wayang Suket, tampil menggugah dan menggelitik dalam sarasehan seni pertunjukan kontemporer, Kamis (5/11) siang di ISI Denpasar. Di tengah perbincangan yang sarat gairah itu, Gundono didaulat untuk menunjukkan aksi pentasnya. Sembari memetik sebuah gitar kecil, celoteh dan alunan vokalnya yang improvisatoris membuat penonton terpana.

Aksi dadakan alumnus STSI Surakarta tersebut direnspon oleh koreografer Miroto dan komposer Agus Santosa. Sementara Miroto bergerak ekspresif di sisi-sisi tubuh Gundono yang duduk di tengah, Agus berjinjit-jinjit di bagian belakang sembari mengeksplorasi bunyi sebuah gong. Kolaborasi dalang, penari, pemusik yang sudah cukup dikenal secara nasional itu seakan menunjukkan bahwa seni komporer adalah ruang berkesenian yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari kebudayaan kontemporer masyarakat kita.

Kendati bergulir hanya sekitar tujuh menit, ketiga seniman itu tampak berhasil menggedor apresiasi dan hasrat-hasrat sukmawi  para peserta sarasehan terhadap nilai estetik dan kandungan pesan dari ekspresi seni kontemporer tersebut. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa yang dalam sarasehan itu diundang sebagai nara sumber, tak hanya berungkap secara verbal menuturkan eksistensi seni kontemporer di luar dan di dalam negeri namun juga menawarkan gagasan-gagasan sarat inspirasi dengan presentasi estetis eksploratif yang berdaya gugah.

Selain sebagai pembicara seminar, ketiga seniman Indonesia yang telah merambah forum seni internasional itu juga diusung sebagai juri Lomba Cipta Seni Kontemporer (LCSK) yang digelar oleh Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Rabu (4/11) malam. Hasil pengamatan mereka itulah, diantaranya, diperbincangkan dalam sarasehan yang dihadiri oleh para peserta lomba dan peminat seni pertunjukan. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa tampak bersemangat mengisahkan dan membagi pengalamannya dalam kancah seni kontemporer.

Slamet Gundono menuturkan pergulatannya dengan seni kontemporer lebih banyak ditimbanya langsung di tengah masyarakat komunal pedesaan. “Seorang seniman harus mau bermandi lumpur untuk mengasah dan merangsang kepekaannya menemukan gagasan dan penuangan karya seninya,“ ujar Gundono. Menurutnya, di tengah masyarakat tradisional Indonesia, seorang seniman seni kontemporer akan banyak bisa menyerap kearifan lokal untuk dipresentasikan menjadi ungkapan artistik. “Pementasan wayang atau teater saya banyak mendapat inspirasi dan disangga oleh pergulatan saya di tengah lingkungan kultur alamiah pedesaan,“ ungkapnya polos.

Miroto yang seorang penari Jawa tangguh dan sebagai seorang koreografer tari kontemporer berharap seni pertunjukan kontemporer digairahkan di tengah masyarakat. Menurutnya esensi kebebasan kreatif yang menjadi roh seni kontemporer sangat memungkinkan bertumbuh di Bali dengan karakteristik seniman Bali yang kreatif, lebih-lebih didukung masyarakat penyayang seni. Agus Santosa memberikan masukan kepada para seniman yang mengenyimpungi seni pertunjukan kontemporer untuk memiliki landasan jelas dalam mepersiapkan konsep karyanya. “Konsep matang akan memungkinkan untuk mewujudkan seni pentas kontemporer yang komunikatif,“ paparnya.

Tetapi, Gundono, Miroto, dan Agus Santosa mengaku sangat bangga dengan sajian empat karya seni pertunjukan kontemporer yang ditampilkan dalam LCSK itu. Keempat karya mahasiswa ISI tersebut, “Kara Perkara“, “Di Atas Waktu“, “Kursi-kursi“, dan “Karenamu“ ditimbang dan ditimang dalam sarasehan itu sebelum diumumkan peringkatnya. Dilandasi oleh agumentasi yang analitis-konpresensif, ditetapkan sebagai juara I adalah seni pertunjukan kontemporer “Karenamu“, karya mahasiswa semester VII gabungan jurusan tari, karawitan, dan pedalangan.

Secara konsepsi artistik, keempat karya seni yang disodorkan dalam lomba itu menghargai keseteraan tiga disiplin seni (tari, musik, teater) tanpa sekat. Pun secara tematis, keempatnya mengguratkan arah pesan moralistik yang lazim menjadi muatan seni kontemporer. “Kursi-kursi“ (juara II) misalnya secara simbolik satiristik menyajikan makna kursi dalam perspektif masyarakat kekinian. Jika saja makna kursi sebagai sebuah kekuasaan diberi aksentuasi estetik yang lebih menukik, karya seni ini akan lebih menghentak dan menggetarkan hati nurani penonton.

Seperti etimologi namanya, “co“ bersama dan “tempo“ waktu, seni kontemporer adalah seni masa kini yang di dalam ekspresi instrisik dan ekstrinsiknya mencerminkan wajah kekinian, bebas dari orientasi dan referensi seni yang telah mempola. Dalam perjalanan di Indonesia, di Bali khususnya, seni kontemporer belum menunjukkan eksistensi yang melegakan. Tahun 1970-an adalah periode penting bagaimana masyarakat Bali menanggapi kehadiran seni pertunjukan kontemporer. Sardono W. Kusomo yang menawarkan elemen-elemen seni kontemporer pada seni pentas Cak di Banjar Teges Kanginan, Ubud, pada tahun 1972, tak diperkenan oleh unsur pemerintah Bali untuk pentas di Jakarta.

Tahun 1977, tari kontemporer karya I Wayan Dibia, “Setan Bercanda“ juga mengundang polemik seru di surat kabar lokal. Namun ketika  menguak garapan gamelan kontemporer “Gema Eka Dasa Ludra“ karya  I Nyoman Astita, 1979, tak ada sikap kontra yang menyongsongnya. Sejak itu dan hingga kini, toleransi masyarkat Bali terhadap ekspresi seni pertunjukan kontemporer tetap kondusif. Hanya, sayang, seni tradisi yang relatif kuat eksistensinya di tengah masyarakat Bali yang mungkin mengebiri dan memarginalkan aliran kesenian ini seperti tampak di arena PKB. Kiranya, diperlukan strategi dan pembacaan yang lebih tajam dalam memposisikan seni pertunjukan kontemporer  di tengah dinamika budaya kekinian Bali.

Kadek Suartaya

Panduan Penulisan Jurnal Mudra

Jurnal MUDRA, yang telah terakriditasi ini akan terus memompa kiprahnya, baik bagi pembobotan internal dan kontribusi idealnya sebagai penyebarluasan ilmu khususnya dalam lingkup disiplin seni budaya. Untuk itu UPT. Penerbitan sebagai pengelola jurnal tidak bosan-bosan menata diri disegala aspek yang menyangkut pengelolaan manajemen maupun peningkatan substansi naskah-naskah ilmiah yang disajikan.

Dalam menjaga kemantapan atau bahkan peningkatan mutu jurnal MUDRA, fungsi penyunting dan mitra bestrari harus dijalankan secara ketat. Begitu suatu jurnal ilmiah terbit, secara tidak langsung telah tercipta saringan terhadap tulisan yang akan dimasukkan. Dari nomor per­dana dan nomor seterusnya jurnal MUDRA sudah dapat terbaca ruang lingkup bidang keilmuan, kedalaman spesialisasi, macam bahasa, sebaran dan cakupan geografi, keteknisan, serta corak pembaca yang menjadi sasarannya yakni seni budaya. Petunjuk untuk Penulis merupakan saringan kedua, sebab hanya tulisan yang sesuai dengan petunjuk tadi yang akan diterima untuk diterbitkan. Saringan ketiga dilakukan secara aktif oleh mitra bestari dengan menelaah nilai dan kadar ilmiah tulisan dan mengevaluasi makna sumbangannya untuk memajukan seni budaya. Hanya tulisan ilmiah yang lolos semua bentuk saringan ini yang diproses lebih lanjut untuk diterbitkan dalam jurnal MUDRA.

Untuk mencapai semua sasaran persyaratan yang dibakukan itu, menjadi hak para penyunting untuk memperbaiki, merevisi, mengatur kembali isi, dan menyelaraskan atau terkadang mengubah gaya karya ilmiah yang diajukan seseorang untuk diterbitkan dalam jurnal yang diasuhnya. Selanjutnya menjadi kewajiban pula bagi Penulis untuk mengindahkan semua rekomendasi dari penyunting maupun mitra bestari agar naskahnya bisa diterbitkan.

Panduan penulisan Jurnal Mudra

The Meaning Of Water In Balinese Traditional Garden by Mugi Raharja

The Meaning Of Water In Balinese Traditional Garden by Mugi Raharja

The Meaning Of Water In Balinese Traditional Garden by Mugi Raharja, translated by Putu Agus Bharatayadnya.

Balinese Traditional Garden

Balinese Traditional Garden

This study is concern about the meaning of water in Balinese tradition garden by using Hermeneutic philosophy approach. Balinese Traditional Garden is a natural building area which is influenced by natural condition, civilization proccess and its culture development. Start from years ago, Balinese Kings had local genius aspect to organize natural building in  kind of garden with dominate of water element and  It was watched from its desain object which was various and special local superior in gardening sector.  In Balinese garden, water always needed because according to  Hindu beliaving, water is one of 5 nature elements , called Panca Mahabhuta in Balinese. They are: Apah (liquid element), Teja (ray element), Bayu (air element), Akasa (sky element), Pertiwi (land element). Water element in gardens design of Balinese kingdom inheritage, was based of  looking for inmortal water (amertha) philosophy . This philosophy resource was from Adi Parwa texts, one part of Mahabharata epic which contains god and godness stories. In ancient Hindu kingdom age, the stories was objected with relief form in Sangku Sudamala, Raja Asthasura Ratna Bumi Banten stone container  written in 1329 AD at Pusering Jagat temple in Pejeng village, Gianyar regency.  The another Philosophy is  from Circling Mandhala Giri in Ksirarnawa philosophy. It is storing about Gods and denawa (mythical gigantic demon) stir up Ksirarnawa sea together by using Mandhara mountain helped by Dragon Basuki as cicling string , a giant turtle reincarnation of Visnu called Kurma awatara hold up mountain ground and dewa indra (God of war) hold up the top of mountain to make it has not throw out. They are looking for inmortal water (amertha) in Ksirarnawa sea because it beliaving, who drink amertha, they have inmortal life.

Gardening in ancient Balinese age have a square form type structures of  Holy pool, Bathing pool, shower pool and it have fungtion as religion activity, for examples Tirta Empul Bathing Garden, builded by King Indra Jaya Singha Warmadewa (960 AD) and Goa Gajah bathing pool  garden, Bedulu village, subregency of Blahbatuh, Gianyar Regency.  It was calculated which builded during King Anak Wungsu government (1049-1077).

Middle Age Balinese Garden have Water pool or telaga Bale Kambang atau Meru building Land in centre of pool and it have  Design philosophy likes,Building is Mandhara Giri symbol and  Pool is Ksirarnawa symbol, for examples, first is Gili Puri Semarapura garden Was buided by King I Dewa Agung Jambe, when was buiding Semarapura palace in Klungkung, 1710, second is Taman Sari temple, Was builded in the same age with Gili Puri Semarapura garden and located in Banjar Sengguan, 500 metres north east of  Puri Semarapura in Klungkung regency. Taman Ayun temple. Inheritage of  Mengwi Kingdom and It was builded  in the same age  with Puri Mengwi in 627. It was legitimated  when inaugurating  the first Mengwi king, Ida Cokorda Sakti Blambangan (I Gusti Agung Ngurah Made Agung) . In this temple, Island/land is Mandhara Giri symbol and Pool/pond is Ksirarnawa symbol, third is Tirta Gangga garden, Inheritage of Karangasem Kingdom, It is located in Ababi village, Abang subregency, Karangasem regency and Builded by King Anak Agung Bagus Jelantik (Ida Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem), in 1948. The Philosophy behind this place are Water tower Jalatunda is Mandhara Giri symbol and water pool is Ksirarnawa symbol. The last is Ujung Garden (Sukasada), It was builded by Raja Anak Agung Bagus Jelantik (Ida Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem) in the same time with Agung Kanginan palace building in1909. This garden have Pavilion building as Mandhara Giri and water pool as Ksirarnawa, both are the philosophy symbols of Ujung garden.

So,  the meaning of water in Balinese traditional garden are for Religion fungtion to take the holy water  for religion ritual, ecology and konservation fungtions: preservation and protection of water spring sources (kelebutan)in Balinese, rivers, lakes, seas and natural environment, agrarian fungtion: for irrigating in rice field and social fungtion: for recreation place (interaction fungtion).

Loading...