Notions of Evil Today: Perspectives of Sixth Graders in Manila by Dr. Rito V. Baring

The challenge of finding out the relevance of traditional religious notions remains a fresh concern for the local church in the Philippines, a predominantly Christian nation in the heart of Asia. Enriched by its diverse religious traditions, the Philippines no doubt stand as a witness to the constant quest to find meaning about one’s faith. In general, there is the quest to find the relevance of faith practices within the daily grind of life. Within this picture, there is the search for religious meaning which is given life through inquiries that ask about the truths proposed in the Christian faith.  The search for religious meaning is captured in the specific inquiry to make sense out of the growing demands and difficulties of life. Today questions about God and evil are raised to address the difficulties between the spiritual and the material. Traditionally, the question of God and evil are raised in the level of adults who raise the cry of pain or protest. Nothing much is heard, from a religious angle, about children’s notions for the simple reason that their mindset is too simple to handle such a delicate subject. How has the question of evil reverberated in the consciousness of the young pupils today? Hence, this paper seeks to address that issue by finding out how sixth graders interpret “evil” today. In particular, this paper wants to know how the sixth graders from selected public schools in Manila appropriate notions of evil today by evaluating their contemporary concepts of evil. This paper shall therefore describe the essential aspects of their notion of evil as gleaned from survey data from the students and shall analyze how emergent themes that are taken from their notions reflect particular popular mindsets.

The problem of Evil

The challenge of writing about evil rests on these framed limitations: (a) that it had always been defined as a negative reality in Christian sources, (b) that most discourses if not all takes evil in terms of its relationship to God and the good, (c) that by these characteristics, evil do not enjoy an epistemological distinction as a reality. The first two difficulties reflect traditional theological and Christian discourses on evil. Of late, current attempts have tilted towards rational discourses. In particular, philosophical and ethical discussions have proliferated in academic circles and literature. Indicative of this are the recent works of some scholars in the ethical practice such as that of Susan Neiman and Claudia Card. From the theological field, theological discussions remain anchored in traditional categories such as creation, God and spirituality.

Download click here

Bentuk, Cara Memainkan, Karakteristik, dan perkembangan gamelan Gong Kebyar, Oleh: I Ketut Garwa

Bentuk, Cara Memainkan, Karakteristik, dan perkembangan gamelan Gong Kebyar, Oleh: I Ketut Garwa

Gong Kebyar dalam Uian TA 2009

Gong Kebyar dalam Uian TA 2009

Gamelan Gong Kebyar sebagai perangkat/barungan yang berlaraskan pelog lima nada, secara fisik dapat dibedakan menjadi dua model. Pertama, bentuk fisik daun gamelan yang berbentuk bilah dan berbentuk pencon terbuat dari kerawang. Kerawang adalah campuran antara timah murni dengan tembaga (Rembang, 1984/1985 : 8). Kadang-kadang gamelan Gong Kebyar juga dapat dibuat dari besi atau pelat. Sedangkan kedua adalah tempat dari bilah dan pencon digantung/ditempatkan disebut  pelawah. Khusus untuk instrument bilah, pada pelawah ditempatkan resonator yang terbuat dari bambo ataupun paralon. Sedangkan pelawah untuk instrument reyong dan trompong bentuknya memanjang dan di atasnya ditempatkan instrument bermoncol/pencon yang dicincang dengan tali pada lubang gegoroknya. Penempatan nada-nada kedua instrument ini berjejer dari nada rendah ke nada tinggi (dari kiri ke kanan), sesuai dengan ukurannya besar ke kecil (nirus). Kedua instrument ini tanpa mempergunakan resonator. Sedangkan untuk instrument yang lainnya seperti instrument gong, kempur dan klentong hanya digantung pada trampa yang disebut dengan sangsangan. Selain itu juga instrument kajar hanya ditempatkan pada atas trampe tanpa resonator, sedangkan untuk instrument cengceng gecek, cakepannya diikat pada atas pelawah yang berbentuk kura-kura/empas, angsa ataupun bentuk lainnya.

Pelawah gamelan Gong Kebyar memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung pemesannya. Perbedaan dimaksud terletak pada bagian panilnya. Panil adalah model ukirang yang terletak pada pelawah bagian depan dan belakang. Pelawah Gong kebyar ada yang memakai panil, ada juga tanpa panil. Sedangkan panil yang dipergunakan juga berbeda-beda, ada yang mengambil ceritra pewayangan/parwa (epos Ramayana dan Mahabrata) ataupun mengambil ceritra tetantrian atau cerita tentang binatang. Jelas secara bentuk fisiknya telah terjadi perbedaan, walaupun secara substansi barungan Gong Kebyar memiliki persamaan dan telah mengakar di masyarakat. Kualitas bunyi sangat tergantung pada resonator yang dipergunakan. Bahan baku bamboo dipilih secara selektif untuk dapat menghasilkan suara gamelan yang bagus. Secara fisik ukuran bilah dan pencon dalam gamelan gong kebyar disesuaikan dengan fungsi masing-masing instrument dalam barungnya. Sehingga bagaimanapun bentuk fisiknya jelas telah mempertimbangkan aspek-aspek secara total dalam rancangan keberadaan Gong Kebyar saat ini.

Selengkapnya unduh di sini

Teknik Menabuh Gamelan Gong Kebyar

Oleh: I Ketut Garwa

Tategak: Sikap memainkan gamelan Bali memiliki makna yang sangat penting. Tidak hanya menyangkut kajian estetik keindahan, akan tetapi bagaimana energi disalurkan ketika memainkan gamelan. Posisi duduk seorang pemain gamelan ideal yaitu mengambil posisi silasana yaitu posisi duduk dimana kaki dilipat tertumpuk (kanan dan kiri) sedangkan posisi badan tegak, dan pandangan kedepan (lihat gambar).

Dengan posisi yang benar dapat mendukung penampilan dan secara estetik tertata adanya. Aspek penampilan menjadi sangat besar pengaruhnya terhadap sebuah pementasan karena tanpa didukung oleh penampilan yang baik dan apik serta mempertimbangkan aspek keindakan akan tidak tercapai kaidah pertunjukan yang ada seperti: kompak, harmonis, selaras serasi dan seimbang. Sisi lain dari posisi duduk yang benar dapat memberikan energi yang penuh/total, sebab secara penyaluran energi yang seimbang keseluruh tubuh dapat menyebabkan kualitas pukulan terjaga intensitasnya.

Posisi tangan: Untuk dapat memainkan gamelan secara baik tentunya memegang panggul harus diperhatikan. Posisi tangan yang benar untuk memainkan instrument berbilah adalah tangkai panggul dipegang oleh  tangan kanan dengan ibu jari berada sejajar dengan tangkai panggul bagian lebarnya, sedangkan keempat jari lainnya posisi terlipat (lihat gambar). Sedangkan untuk memainkan instrument berpencon posisi tangan mengikuti arah panggul, sedangkan telunjuk tanpa dilipat.  Begitu juga pada instrument lainnya.

Menutup/tatekep: Barungan Gong Kebyar merupakan seperangkat gamelan yang memiliki instrumentasi yang sangat banyak. Hampir 30 -40 buah instrument yang sebagian besar merupakan instrument perkusif. (dipukul). Tehnik-teknik tersebut menyebabkan setiap kelompok instrument memiliki bunyi dan warna nada yang berlainan. Instrumen-instrumen Gong Kebyar yang dimainkan secara dipukul baik memakai tangan maupun memakai alat pemukul/panggul dalam gamelan Bali lazim disebut gagebug. Sedangkan instrument tidak dimainkan secara dipukul diantaranya: instrument suling (ditiup) dan instrument rebab (digesek). Setiap instrument memiliki jenis-jenis pukulan yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena terbatasnya informasi tentang identifikasi pukulan yang ada, maka dalam tulisan ini dicoba memberikan teknik dasar tentang memainkan gamelan Gong Kebyar secara konvensional serta mengacu pada sumber-sumber yang telah diakui keabsahannya.

Selengkapnya silahkan unduh di sini

Tabuh Telu Lelambatan Pegongan  ”Tabuh Telu Lilit”

Tabuh Telu Lelambatan Pegongan ”Tabuh Telu Lilit”

Oleh: Gede Yudartha

Gamelan Gong Gede

Gamelan Gong Gede

Tabuh lelambatan pegongan merupakan salah satu komposisi klasik dalam seni karawitan Bali. Dari berbagai bentuk komposisi yang ada, komposisi ini memiliki spesifikasi dan ciri khas tersendiri dimana penekanan pada istilah ”lelambatan” mencerminkan sebuah identitas yang kuat. Lelambatan berasal dari kata Lambat yang berarti pelan yang mendapat awalan Le dan akhiran an kemudian menjadi lelambatan yang berarti komposisi lagu yang dimainkan dengan tempo dan irama yang lambat/pelan. Tambahan kata Pegongan pada bagian belakang kata Lelambatan sebagai penegasan pengertian bahwa gending-gending lelambatan klasik pagongan adalah merupakan repertoar dari gending-gending yang dimainkan dengan memakai barungan gamelan Gong. Gamelan Gong yang dimaksud adalah gamelan-gamelan yang tergolong dalam kelompok barungan yang memiliki Patutan Gong. Patutan adalah merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan tangga nada (laras) gamelan Bali yang mempergunakan laras pelog 5 (lima) nada.

Diantara barungan gamelan yang berlaras pelog lima nada, yang biasanya dipergunakan untuk menyajikan tabuh-tabuh lelambatan adalah gamelan Gong Gede dan Gamelan Gong Kebyar. Dari kedua barungan tersebut secara khusus tabuh-tabuh lelambatan adalah merupakan repertoar dari barungan Gamelan Gong Gede.

Sebagai sebuah komposisi karawitan klasik, keberadaannya sudah cukup lama dalam blantika musik tradisional Bali. terkait dengan keberadaannya itu, hingga saat ini belum ada data akurat yang mengungkap awal mula keberadaan tabuh-tabuh lelambatan klasik pegongan. Namun demikian, sebagai bagian dari repertoar gamelan Gong Gede, keberadaan gamelan tersebut dapat dipakai acuan sementara terkait dengan awal mula keberadaan komposisi-komposisi tabuh lelambatan tersebut.

Gamelan Gong Gede diduga mengalami puncak perkembangannya pada abad ke XVI-XVII yaitu pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Raja sebagai patronase pada waktu itu menunjukkan supremasinya melalui pembinaan berbagai bentuk kesenian termasuk diantaranya gamelan Gong Gede (Astita dalam Mudra, 1995:120). Abad tersebut dianggap sebagai jaman keemasan kesenian Bali, dimana pada waktu itu banyak bermunculan berbagai jenis seni pertunjukan tradisional baik berupa tari, karawitan dan pewayangan.

Secara filosifis, tabuh sebagaimana diuraikan dalam prekempa (Bandem, 1986:65) bait ke 36 ada disebutkan:

”Iti pretyakaning tabuh. Tabuh kang inaran tata ing buh. Tata ngaran prawerti. Prawerti ngaran kasusilan, susila ngaran sesana mwang penglaksana. Apan wiwiting hana wyaktinya sangkaning tiga, apan Sang Hyang Tri Wisesa angadakaken salwiring tumuwuh mwang salwiring maurip. Iti hana Sang Hyang Buh loka yaika sangkaning payoganira Sang Hyang Tri Wisesa kang gumawe utpeti, sthiti pralina….”.

Artinya:

”…Inilah keterangan dari susunan tabuh. Tabuh berasal dari tata dan buh. Tata yang disebut prawerti, prawerti artinya kesusilaan, susila yang berarti sesana dan pelaksana. Karena asal mula yang sebenarnya berasal dari tiga, karena Sang Hyang Tri Wisesa yang mengadakan segala yang tumbuh dan segala yang  berjiwa…”

Dari uraian tersebut dapat dicermati bahwa tabuh mengandung pemaknaan yang cukup dalam mengenai ajaran tata susila serta konsepsi tentang kelahiran, kehidupan dan kematian yang merupakan siklus kehidupan manusia di dunia. Di dalam konteks seni karawitan, tabuh diuraikan sebagai suatu bentuk komposisi karawitan yang disajikan melalui media seperangkat gamelan Bali baik intrumentalia dan sebagai musik pengiring tari, drama, prosesi dan sebagainya (Kamus Bali-Indonesia (1978:555).

Di lain pihak, I Nyoman Rembang (1984/1985:8-9) secara spesifik memberikan penjelasan bahwa tabuh bila dilihat sebagai suatu estetika teknik penampilan adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoir hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Sedangkan, tabuh sebagai suatu bentuk komposisi, juga dapat diartikan sebagai kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional Misalnya tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat dan sebagainya.

Selengkapnya dapay diunduh di sini

PEMENANG LOMBA ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA DIES NATALIS VI ISI DENPASAR/2009

PEMENANG LOMBA ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA DIES NATALIS VI ISI DENPASAR/2009

oreo

Tampak koordinator Acara Dr. Ni Luh Sustiawati, M. Pd sedang mengkoreksi hasil artikel ilmiah mahasiswa

(Denpasar-Humasisi)Pada Hari Sabtu (25/7) Ruang Sidang gedung rektorat ISI Denpasar menjadi saksi pengumuman juara lomba artikel ilmiah mahasiswa dalam rangka Dies Natalis VI Wisuda Sarjana VII ISI Denpasar 2009. Tampak Mahasiswa dari kedua Fakultas (FSRD dan FSP) berharap-harap cemas menduga-duga siapa pemenangnya. Menurut Koordinator acara Dr. Ni Luh Sustiawati, MPd acara sekarang ini adaalah penjelasan hasil penilaian lomba artikel ilmiah mahasiswa. Tujuannya jelas untuk memberikan info, penjelasan dan koresksi membangun kepada mahasiswa agar ke depannya mengetahui artikel ilmiah yang berkualitas dan sebagai otokritik atas kelebihan dan kekurangan artikel ilmiah yan dibuat. Rencananya dalam pengembangan kemampuan membuat artikel ilmiah, Sustiawai berencana membentuk suatu wadah pembinaan dan pendampingan berupa PKM(Program Kegiatan Mahasiswa). yang nantinya siapaun juaranya akan diproyeksikan untuk mengikuti lomba di tingkat nasional.

Sustiawati menjelaskan sebagai koreksi artikel ilmiah untuk perkembangan kemampuan mahasiswa kedepannya adalah sebagai berikut:

osella-2

Mahasiswa tampak serius mendengarkan koreksi dari para juri

1.Struktur usulan artikel ilmiah  tidak sesuai dengan ketentuan yang baku, yakni Judul, Nama Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Tujuan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Daftar Pustaka

2.Teknik Penulisan: Spasi, ukuran dan jenis font, Sistem penulisan judul bab, sub bab, alenia, Judul Tabel, Judul Gambar dll

3.Abstrak yang tidak mengungkapkan Tujuan, Metode Hasil, Kesimpulan dan Kewords

4.Pendahuluan, belum terungkap persoalan-persoalan dasar yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan judul. Fenomena mengenai topik yang diangkat. Uraian dasar-dasar keilmuan yang mendukung.

5.Metode. Penggunaan metode analisa yang tidak jelas. Yang terungkap hanya metode penggalian data

6.Hasil dan Pembahasan.  Yang ada hanya data yang tidak dianalisa (belum ada ketajaman analisis).  Uraian hanya deskripsi obyek yang bersifat umum tanpa adanya temuan-temuan baru yang diperoleh dari hasil observasi; belum terungkap pemecahan masalah yang berhasil dilakukan.

7.Kesimpulan yang tidak menguraikan tingkat ketercapaian hasil dan tujuan. (Tujuan dan hasil tidak nyambung)

Bagi yang belum mendapat juara akan didakan program pendampingan oleh dosen, sehingga layak untuk dikirim ke Jakarta untuk mengikuti Lomba Artikel tingkat nasional. Penyerahan hadiah akan dilaksanakan pada saat malam kesenian Dies (26/7).

Adapun juara lomba artikel ilmiah 2009 Yaitu:

PERINGKAT NILAI JUDUL KARYA NAMA MAHASISWA JURUSAN NIM
I 528, 57 “Meningkatkan

Kenyamanan Dududuk

Dengan Memberi

Lubang Pada Material

Alas Kursi Kayu”

Gede Sutrawan Desain

Interior

2005050007
II 493, 86 “Pengawet Bambu

Sebagai Bahan

Kerajinan dan Mebel”

Rai Angga

Widyaksa

Desain

Interior

2005050008
III 452,86 “Identitas N. L. N.

Swatihi Widjaja

Bandem Sebagai

Seniman Kekebyaran”

I Nyoman Anom

Adnyana

Arimbawa

Seni Tari 200601007
IV 442, 86 “Mind Mapping” I Wayan Eka Laksana Satia Guna Desain Interior 200705012
V 408,57 “Kualitas Pengajaran Guru Sanggar Tari Bali Darmawangsa di Era Globalisasi.” I Wayan Adi Gunarta Seni Tari 200701019
VI 400,71 “Penyimpangan Haki Pada Pertunjukan Tari Janger Kembang Girang” I Ketut Gede Agus Adi Putra Seni Tari 200601016
VII 395,71 “Eksistensi Wayang dan Wayang Inovasi Bali.” I Bagus Wijna Bharatanatya Seni Pedalangan 200703001

VIII 393,57 “Faktor-faktor Penyebab Berkembangnya Tari Kreasi Satya Bhrasta.” A. A. Gede Agung Rahma P. Seni Tari 200601011
IX 375,71 “Tari Ciwa Nataraja Sebagai Tari Kebesaran ISI Denpasar.” NI Putu Indah Yuniari Seni Tari 200601010
X 370 “Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Tari Di Sanggar Tari Widya Bhakti” Ni Nyoman Wahyu Adi Gotama Seni Tari 200701001
Loading...