ANSEL ADAMS Sang Maestro Fotografi Hitam Putih

ANSEL ADAMS Sang Maestro Fotografi Hitam Putih

Ansel Adams (20 Februari 1902-22 April 1984).

Penulis : I Made Saryana

Ansel Adams

Ansel Adams

Sebuah lukisan yang terjual dengan harga ratusan juta bahkan milyaran rupiah itu sudah menjadi sesuatu yang biasa, akan tetapi ketika harga sebuah foto ada yang terjual mencapai ratusan juta, hal itu adalah sesuatu yang luar biasa. Salah satu fotografer  Amerika terkemuka yaitu Ansel Adams  rata-rata karyanya terjual 300 jt (Tetone and Snake River, Grand Teton National Park 1942). Harga termurah 80 jt (Duves, Oceano, CA 1963). Bahkan salah satu karyanya ada yang terjual 150.000 US atau sekarang setara Rp. 1.350.000.000;

Ansel Adams adalah seorang fotografer yang paling harum namanya di dunia fotografi dan karya-karyanya sangat diburu para kolektor. Karya seni foto yang paling banyak dibuat dan paling berkesan dipandang oleh setiap mata pengamat fotografi adalah karya-karya foto pemandangannya, bercitarasa tinggi, hingga dijuluki karya fotografi pemandangan yang termahal di dunia. Siapapun melihat karya Ansel Adams pasti sepakat dengan harga mahal, sangat luar biasa, indah, detail termasuk kontras dan pencahayaan tidak ada cacatnya ini adalah pencapaian tertinggi dalam sejarah perkembangan seni fotografi dunia.

Ansel Adams lahir di San Fransisco, ayahnya Hitchcock Adams adalah seorang pengusaha. Sedangkan ibunya Olive Bray seorang ibu rumah tangga. Adams kecil sudah menampakan kecerdasannya dan tergolong anak yang hiperaktif dan memiliki gangguan kesulitan membaca, sehingga pendidikannya hanya setara SLTP. Satu-satunya kegembiraan Adams kecil adalah menikmati alam, dekat jembatan The Golden Gate. Hampir setiap hari ia terlihat bermain-main di sana  seusai les piano yang dijalaninya. Sejak belasan tahun Adams sudah senang memotret dan dalam usia 17 tahun dia telah bergabung dengan sebuah klub pencinta alam, sierre club.

Tahun 1927 sangat menentukan karier Adams, karena ia menghasilkan serial foto ”Monolith, the Face of Half Dome” di Taman Nasional Yosemit. Tahun 1930 berjumpa fotografer Paul Strand juga Alfred Stieglietz  sejak itu Ansel Adams bertekad menciptakan karya foto tanpa manipulasi (straight photography) tidak ada dodging atau burning. Kemudian 1932 Adams bersama Edward Weston mendirikan grup f/64, kelompok fotografer yang memotret hanya dengan bukaan diafragma 64 untuk mendapatkan ketajaman gambar yang maksimal.

Popularitas Ansel Adams sebagai Fotografer terkemuka dari Amerika Serikat ini, didapat dari usahanya yang sangat keras di bidang fotografi hitam putih. Karya-karyanya dibuat dengan penuh pemikiran serta pengalamannya di laboratorium bertahun-tahun, kesabaran dan keuletan di lapangan (bekerja 18 jam sehari) dan tidak pernah libur, sehingga menghasilkan karya yang spektakuler dan memiliki citarasa yang tinggi. la sangat intens dalam mempelajari sifat-sifat film dan kertas hitam putih. Pendalamannya yang merupakan gabungan antara teori dasar fotografi dan pengalaman empiris itu akhirnya membuahkan teori sistem zone (zone system) yang banyak dianut para fotografer hitam putih di seluruh dunia. Ansel Adams memberikan seluruh penemuannya kepada kita semua tanpa sedikitpun dirahasiakannya. Dengan sistem zona ini Ansel Adams tidak pernah butuh koreksi pencetakan, mencetak karya Adams adalah mencetak durasi persis sama pada semua fotonya dan negatif film Adams adalah hasil final.

Sistem Zona adalah sebuah teori fotografi hitam putih, di mana dalam sistem ini tiap nada di alam punya korelasi dengan sebuah kepekatan dalam foto hitam putih. Maka setiap fotonya dapat dilihat warna putih dan hitam tampil menawan sejajar dengan aneka gradasi abu-abu pada lembar yang sama. Sistem zona dapat juga diartikan sebagai pengukuran pencahayaan suatu obyek foto hitam putih dalam beberapa zone atau nilai terang-gelap dalam ukuran “stop”, di mana satu stop sama dengan kelipatan dua dari ukuran sebelum dan sesudahnya. Perbedaan stop dapat dilakukan dengan diafragma maupun kecepatan rana (dalam detik).

Skala nada (tones) atau gradasi foto dalam sistem zona ini  dibagi menjadi 10 tingkatan zone, yaitu dari zone 0-zone 9. Yang disebut zone nol (0) adalah hitam total maksimal yang bisa dicapai kertas foto, sedangkan zone 9 adalah putih total pada kertas foto yang belum pernah tersinari sama sekali. Zone 0-3 biasa disebut zone bayangan, zone 4-6 adalah zone menengah yang biasanya menjadi “terjemahan” warna merah, biru atau hijau, sedangkan zone 7-9 adalah zone highlight atau zone terang untuk pantulan warna atau tekstur yang sangat tipis. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah pembagian masing-masing zone :

Dark Zone

Zone 0        : Hitam pekat tanpa tekstur.

Zone I         : Hitam pekat yang terdapat pada foto yang kita miliki.

Zone II       : Hitam dengan tekstur tipis mulai terlihat.

Texture Zone

Zone III     : Zone hitam dengan tekstur yang tersajikan dengan baik, misalnya rambut yang hitam, kain warna gelap, dan lain-­lain.

Zone IV     :   Abu-abu gelap dengan tekstur yang baik sekali, misalnya warna kulit orang Ambon dan Papua.

Zone V    :  Abu-abu netral (grey card 18%) merupakan patokan lightmeter kamera  dalam pengukuran cahaya (guide exposure).

Zone VI     : Abu-abu dengan tekstur penuh.

Zone VII  : Abu-abu muda dengan tekstur penuh dan merupakan nada terakhir dari abu-abu sebelum masuk dalam nada putih. Misalnya, highlight/bagian yang paling terang dari kain warna muda.

Light Zone

Zone VIII   : Putih dengan tekstur seperti kertas putih, cat putih atau salju.

Zone IX     :  Putih, tanpa tekstur.

Zone X       : Putih bersih dan merupakan putih yang terakhir dari skala nada.

Urutan dari setiap tingkat nada ke tingkat nada yang lain, dibedakan dengan perbedaan pencahayaan 1 stop, baik perbedaan dengan f-stop (diafragma) maupun dengan kecepatan rana (shutter speed) di kamera.

Selain menemukan  sistem zona Ansel Adams juga menghasilkan banyak buku  yang sangat terkenal dan dapat membantu masyarakat dalam mengapresiasi masalah fotografi. Adapun buku-buku tersebut antara lain: The John Muir Trail (1938), Michael and Anne in Yosemite Valley (1941), Born Free and Equal (1944), Illustrated Guide to Yo­semite Valley (1946), Camera and Lens (1948), The Negative .(1943), Yosemite and the High Sierra (1948), The. Print (1950), My Camera in Yosemite Valley (1950), My Camera in the Na­tional Parks (1950), The Land of Little Rain (1950), Natural Light Photography (1952), Death Val­ley (1954), Mission San Xavier dal Bac (1954), The Pageant of History in Northern California (1954), dan Artificial Light Pho­tography (1956). The Islands of Hawaii, (1958), Yosemite Valley (1959), Death Valley and the Creek Called Furnace (1962), These We Inherit: The Parklands of America (1962), Polaroid Land Photography Manual (1963), An Introduction to Ha­waii (1964), Fiat Lux: The Uni­versity of California (1967), The Tetons and the Yellowstone (1970), Ansel Adams (1972), Si­ngular Images (1974), Ansel Adams: Images 1923-1974, Photographs of the Southwest (1976), The Portfo­lios of Ansel Adams (1977), Po­laroid Land Photography (1978), Yosemite and the Range of Light (1979), The Camera (1980), The Negative (1981), den The Print (1983). Sedangkan buku otobiogra­finya tidak selesai dikerjakan karena ia keburu meninggal pa­da tahun 1984. Namun, buku­nya diselesaikan Mary Street Alinder dan, terbit tahun 1985.

Keberhasilan Adams dalam dunia fotografi yang tercermin melalui karya-karyanya juga tidak luput dari kritikan. Ada beberapa orang yang mengkritik karyanya dengan mengatakan bahwa karya Adams bagus karena objek yang difotonya memang indah. Namun sesungguhnya tidaklah demikian sebab kenyataannya banyak fotografer lain yang memotret objek yang sama dengan pencahayaan dan sudut pemotretan yang dirangcang semirip mungkin dengan karya Adams, tetapi hasilnya tidak sebagus karya-karya Adams. Kritikan lain adalah adalah dari Henri Cartier Bresson seorang fotografer kondang yang mengatakan ”Betapa miskinnya objek foto yang dipilih Adams, padahal dunia ini sangat beraneka ragam”, tapi yang dipotretnya hanyalah karang dan pohon.

Implementasi Tri Hita Karana Di Desa Tenganan Pegringsingan Sebagai Sumber Penciptaan Karya Fotografi Seni

Implementasi Tri Hita Karana Di Desa Tenganan Pegringsingan Sebagai Sumber Penciptaan Karya Fotografi Seni

Oleh: I Komang Arba Wirawan

Tenganan

Tenganan

Kebudayaan Bali terkenal karena keunikan dan kekhasan yang dijiwai oleh agama Hindu dan tidak bisa dilepaskan dari kesenian, adat dan budayanya yang menyatu dengan kegiatan keseharian orang Bali. Desa Tenganan Pegringsingan desa dengan adat istiadat yang khas memegang teguh nilai-nilai tradisi dan merupakan warisan budaya asli Bali yang disebut Bali Age yang menyatu dengan kepercayaan nenek-moyang serta agama Hindu yang mereka anut. Sebagai desa yang memiliki ciri kebudayaan yang khas, Tenganan Pegringsingan dikenal pula secara geografis diantara dua pegunungan dengan system pola menetap yang berbeda dengan desa-desa di Bali pada umumnya.

Wilayah desa Tenganan Pegringsingan merupakan tempat yang strategis, memiliki pemandangan alam yang indah, terletak di antara perbukitan, yaitu Bukit Kangin di sebelah timur dan Bukit Kauh di sebelah Barat. Desa Tenganan Pegringsingan keseluruhan penduduknya memeluk agama hindu

Masyarakat Tenganan Pegringsingan mengajarkan masyarakatnya dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep ajaran dalam agama hindu), dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan hita karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri  hita karana terdiri dari: Perahyangan yaitu hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa, Pawongan artinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan Palemahan artinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya sebagai bahan eksplorasi berkarya fotografi seni.

Fotografi seni telah menjadi wahana untuk berolah kreatif bagi para fotografer yang ingin menorehkan gaya jati-diri yang menjadi diri pribadinya ingin menampilkan  ‘gading’- nya dalam dunia fotografi. Ekspresi diri yang menciri dalam sebuah foto menjadi tujuan pencarian identitas pribadi seseorang fotografer masa kini. Hal ini nampaknya sudah merupakan tutunan Zamannya (zeitgeist) yang menafikan keseragaman bagi pencapai keunikan estetis yang mandiri. Di samping itu pula penciptaan karya fotografi seni yang memiliki ‘subject matter’ dengan nilai ontentitas tinggi disamping keindahan  yang dikandung merupakan dambaan bagi setiap seniman fotografi. Ekspresi diri melalui medium fotografi seni juga bisa dicapai dengan berbagai cara, diantaranya dengan memilih objek-objek foto alam, kehidupan sosial dan upacara-upacara di desa Tenganan Pegringsingan untuk di tampilkan menjadi karya fotografi seni; pengunaan golden komposisi  baik dengan dalam pemotretan maupun dengan teknik kamar terang (komputer) merupakan satu cara; dan bisa juga dengan cara tertentu dalam upaya menampilkan karya atau ‘way of representation’.

Tri hita karana secara visual merupakan sebuah konsep yang sangat menumental dan bersifat adiluhung. Pancaran nilai estetik yang sangat tinggi memberikan daya tarik yang sangat kuat bagi para seniman Bali untuk mengangkatnya sebagai sumber inspirasi dalam proses penciptaannya. Pencipta sangat tertarik mengangkat tri hita karana di desa Tenganan Pegringsingan sebagai sumber ide penciptaan karya seni karena upacara-upacaranya sangat unik dan ertistik dengan penuh variasi tenun pegringsingan yang ditemukan dalam upacara-upacara tersebut.

Originalitas dalam penciptaan karya  ini adalah tidak meniru sebuah karya yang telah ada, tetapi menciptakan sebuah karya fotografi seni dengan sumber ide dari aktifitas upacara masyarakat desa Tenganan Pegringsingan yang berlandaskan tri hita karana.

Eksplorasi yang intens dan proses kamar terang fotografer dapat menghasilkan karya fotografi seni dengan judul: trance, waiting, perbaiki kamenku, fight, gadis ayu, 3 cild, Ibu dan Anak, Ugly, Go to Ceremony dan sleepy yang mendapat apresiasi yang menarik dari pengamat seni, setelah melakukan pameran di gedung pameran FSRD ISI Denpasar dan Musium Neka Ubud Bali.

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.            Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda

Lebih satu abad yang lalu fotografi ditemukan sebagai suatu teknologi baru di bidang perekaman visual yang cukup revolusioner. Walaupun prinsip dasar fotografi telah dikenal orang sejak lama (melalui cara kerja kamera Obscura) akan tetapi sebagai alat yang dapat mengabadikan objek ke atas permukaaan lempengan tembaga dan kertas. Mereka yang melakukan hal tersebut kemudian dikenal sebagai tokoh pionir fotografi seperti, Josep Necepphore, Louis Jacques Mande Daguerre (keduanya dari Perancis) dan Henry Fox Talbot (Inggris).

Selanjutnya secara bertahap fotografi berkembang ke arah penyempurnaan teknik dan kualitas gambarnya sampai pada akhir abad ke-19 saat George Eastmen mempopulerkan produk kamera KODAK-nya ke pasaran Amerika, fotografi telah mencapai kualitas hasil yang mendekati seperti yang kita kenal sekarang sampai teknologi digital yang paling mutakhir dengan hasil akhir sama seperti fotografi analog.

Foto Seni Indonesia

Tapi sebenarnya  perkembangan foto seni di Indonesia sendiri telah berkembang diakhir abad delapan belas, ada orang Indonesia yang telah membuat foto-foto indah menawan baik di dalam studio maupun di alam bebas, foto-foto itu jelas sekali bernafaskan seni seperti yang kita kenal sekarang ini. Objek, lighting dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan matang saat pemotretan. Pencetakan fotonyapun juga sangat brelian, sehingga hasil fotopun menjadi indah menawan bagaikan lukisan-foto piktorial. Perbedaan yang dapat kita lihat dengan jelas adalah sebagian besar, bahkan hampir semua foto terekam beku. Jika memotret manusia, maka simodel diwajibkan untuk diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, body kamera berukuran besar sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan rol), bahkan bahan dasarnya kaca atau seloloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah. Mekanis pada lensa juga sangat sederhana, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa/lenscap.

Foto Seni

Pengertian “foto seni” adalah suatu karya foto yang memiliki nilai seni, suatu nilai estetik, baik yang bersifat universal maupun lokal atau terbatas. Karya-karya foto dalam kategori ini mempunyai suatu sifat yang secara minimal memiliki daya simpan dalam waktu yang relatif lama dan tetap dihargai nilai seninya.

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.

Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda. Walau tidak bisa dipungkiri, secara teknikal foto seni memberikan kontribusi kepada cabang fotografi lainnya, semisal foto jurnalistik.

Berbagai kalangan fotografi mengakui, perkembangan dunia fotografi di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan,walaupun sejak “reformasi” foto baik dari foto jurnalistik, foto studio, komersial ataupun yang bernuansa salonis, foto seni, dunia fotografi Indonesia memang tengah memasuki era baru.

Fotografer Seni

Kassian Cephas orang jawa, lahir di Yogyakarta tanggal 15 Januari 1845, oleh banyak pihak diakui sebagai fotografer pertama Indonesia. Fotografer lainnya yang ada di Indonesia sebagian besar adalah keturunan Belanda.

Kassian Chepas yang tinggal dan mempunyai studio di Yogyakarta juga merupakan “pemotret resmi” Kraton Yogyakarta. Selain memotret kalangan elit, Kassian Chepas juga banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya terutama yang ada disekitar Yogya.

Selain karya Chepas, foto-foto kuno yang dibuat pada akhir dan awal tahun 1900-an sayangnya banyak yang tidak diketahui siapa pemotretnya, banyak juga yang menampilkan sisi keindahan dengan objek panorama maupun human interest.

Selain itu Ansel Adam seorang “fine art photographer” Amerika terbesar dari abad ke-20. Ansel Adam tidak hanya dihargai dari karya foto-fotonya saja tapi juga dari dedikasinya dalam dunia pendidikan fotografi. Ansel bersama Fred Archer pada awal tahun 1940-an memperkenalkan suatu metode yang dikenal dengan nama Zone System (ZS).

Metode temuan Ansel ini secara umum adalah proses terencana dalam pembuatan foto mulai dari pra-visualisasi kemudian mengkalkulasi pencahayaan secara tepat sampai menproses film secara akurat. Hasil akhirnya adalah negatif foto yang prima sebagai pondasi utama membuat cetakan foto yang berkualitas juga maksimal. Metode ZS ini bila dipahami secara benar akan sangat membantu fotografer untuk menghasilkan foto yang semaksimal mungkin sehingga tidak lagi mengharapkan suatu keberuntungan semata dalam menentukan perhitungan pencahayaan. Segalanya telah diprediksi dan direncanakan dengan baik.

Kategori Foto Seni (fine art)

Foto seni (fine art) adalah foto-foto piktorialisme, yakni jenis foto yang menonjolkan estetika yang meniru pencitraan gambar (picture) atau lukisan (painting). Jenis foto ini lebih menyerukan keindahan atau nilai artistik instriknya ketimbang kandungan makna foto itu sendiri. Elemen -elemen yang diekploitasi oleh fotografer foto seni ialah komposisi, penyinaran yang dramastis ( chiroscuro) dan nada warna(Paul I. Zacharia)

Foto seni (fine art) bisa disimpulkan sebagai foto yang dalam proses yang berkesinambungan. Ada hal yang yang tidak bisa dipisahkan mulai dari konsep perencanaan, pembuatan, penerapan teknis secara akurat termasuk didalamnya pemrosesan film ataupun pembuatan file digital. Menyikapi kontroversi tentang digital, menarik mengutip pendapat seorang jurnalis kawakan bahwa hanya foto jurnalis yang tidak boleh dimanipulasi. Foto-foto jurnalistik harus menyampaikan suatu kebenaran apa adanya sedangkan dalam foto (fine art), proses digital hanya merupakan alat pembantu dalam berkarya.

Dalam mencipta suatu karya seni, konsep utama yang harus kita persiapkan adalah idealisme pribadi. Pengembangan konsep tersebut, lalu penyesuaian dengan sarana yang ada, pengaruh lingkungannya, kesulitan yang mungkin terjadi, dan tentu saja harus didukung dengan peralatan yang memadai sebagi faktor teknis penciptaan.

Sebagai ilustrasi untuk hal ini adalah foto-foto karya Do Qong Hai yang mirip dengan lukisan bergaya China. Karya-karya ini dibuat dengan melakukan sandwich dari beberapa negative yang dalam pembuatannya telah direncanakan dengan matang.

Estetika dalam Foto Seni

Estetika di dalam foto seni didapatkan apabila telah ditemukan titik estetika yaitu momentum pengalaman kesadaran roh manusia seniman maupun pengapresiasi seni yang persis berada di tengah-tengah antara yang rohani dan yang jasmani, di mana titik ini di alami sekejap namun bernuansa mendalam di dalam yang “tragis” (manakala:roh”dikalahkan”jasmani”), yang sublim (manakala roh menang atas kebaikan), dan yang asri (gracious:manakala kebaikan menang atas kebenaran) (lihat Mudji Sutrisno dan Chris Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius,1993).

Dalam estetika di kenal dua pendekatan: yang pertama ingin langsung meneliti keindahan itu dalam benda-benda / alam indah serta seni itu sendiri atau mau lebih; yang kedua menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami (pengalaman keindahan dalam diri orangnya). Pengalaman estetika berkait erat dengan soal perasaan, dimana bila foto seni dikatakan memiliki estetika dengan ciri foto tersebut tidak hanya mampu  mengeploitasi keindahan tersebut melainkan foto seni menyumbangkan nilai-nilai humanisme universal kepada umat manusia. Fotografi tidak hanya sebagai ekses kemudahan alat rekam, namun di sana tercermin sebuah proses pencitraan gagasan dan estetika yang lebih transenden.

Perkembangan Foto Seni

Banyak yang tidak menyangka bahwa perkembangan foto seni di Indonesia sangat pesat termasuk Bali di era digital ini tumbuh dan mewarnai pefotografian di Indonesia. Dari segi ekonomi sekarang ini sebuah foto bisa dihargai puluhan juta rupiah selembarnya. Namun bukan sekedar dari segi ekonomi saja, dari segi seni rupa lainnya perkembangan foto seni semakin dapat mensejajarkan diri dengan seni lainnya. Mereka yang tidak percaya tentang hal ini menganggap bahwa sebuah cetakan foto seni hanyalah sebuah replika dari negatif pembentuknya. Foto mudah dibuat berapa lembarpun asalkan negatif fotonya masih ada sehingga tidak bisa disamakan dengan karya seni lain.

Hal ini lebih membangkitkan fotografer menekuni bidang foto seni ini, karena sekarang tumbuh sekelompok orang yang mengoleksi foto dan menganggapnya sama dengan benda seni lain. Walaupun dapat dikatakan perkembangan foto seni di Indonesia masih belum maksimal, karena belum banyak yang menekuni foto seni itu sendiri. Foto seni tidak selalu apa yang menjadi obyek, melainkan lebih pada proses ketika memotret dan memroses hasil cetakannya. Ketika kita memotret kita harus sudah tahu akan seperti apa hasilnya hingga sedetail mungkin. Perkembangan foto seni yang begitu pesat dapat kita nikmati setelah bergulirnya era reformasi 1998 dan memasuki era fotografi digital yang sangat pesat dan juga menjadi tonggak perkembangan bidang lain.

Penutup

Membuat foto seni yang merupakan bagian fotografi, yang memiliki konsep estetika yang memperhitungkan terlebih dahulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari pencahayaan sampai proses pencetakannya. Semua direncanakan dengan matang dan terencana, karena kini foto seni telah sama rumitnya dengan seni lain. Apalagi jika kita membincangkan posisi fotografi dalam konteks kesenirupaan (fine art). Bisakah dan mampukah fotografi disandingkan dalam keluarga seni rupa (High Art). Koeksistensinya ini tidaklah berpretensi saling menegasikan. Justru sebaliknya, dan siapa tahu, dunia High Art makin diperkaya dengan hadirnya fotografi di komunitasnya. Sejalan Dengan perkembangan teknologi sekarang ini fotografer yang mau menekuni foto seni akan lebih mudah dengan hadirnya fotografi digital. Apalagi mau bekerja keras mencoba dan mau belajar terus-menerus. Sebuah foto akan dapat menjadi representasi fotografer yang menciptakannya. Sehingga lahir maestro-maestro fotografi punya ciri khas masing-masing, sehingga mengenalkan diri ke publik yang lebih luas.

I Komang Arba Wirawan,SSn._ Dosen  Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain_ Institut Seni Indonesia Denpasar_ (arba’s photography)_ Jl. Astasura I Gang Amerta 10 Denpasar Utara._mobile phone: 081338738806_E-mail: [email protected]

Loading...