Dasawarsa ISI Denpasar: Gelar Lomba Karya Cipta Seni Pertunjukan

Dasawarsa ISI Denpasar: Gelar Lomba Karya Cipta Seni Pertunjukan

Salah satu adegan dalam lomba karya cipta seni pertunjukan

Salah satu adegan dalam lomba karya cipta seni pertunjukan

Kiriman: Nyoman Lia Susanthi, S.S., M.A. (Dosen PS. Pedalangan).

Denpasar- Dalam rangka memperingati Dies Natalis X dan Wisuda Sarjana Seni XI, Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Denpasar mengadakan Lomba Karya Cipta pada tanggal 25 Juli 2013, bertempat di Gedung Candra Metu ISI Denpasar. Mahasiswa FSP yang terdiri dari 4 prodi yaitu Seni Tari, Karawitan, Pedalangan dan Sendratasik dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan semester mereka yaitu semester II, IV dan VI. Menurut Dekan FSP ISI Denpasar, I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn., karya cipta yang ditampilkan para mahasiswa adalah drama tari inovasi, sehingga semua jurusan mampu tampil bergabung menjadi sebuah garapan yang sangat menarik. “Menggabungkan semua jurusan pada satu garapan seni akan mampu menjalin komunikasi antar mahasiswa dalam menciptakan garapan, sehingga akan tercipta kebersamaan dan saling mengisi kekosongan” uangkap I Ketut Garwa seraya menyambut salah satu kelompok yang terdiri dari 70 orang. Walaupun lomba terdiri dari 3 kelompok namun penilaian lomba sangat trasparan. Penilaian melibatkan juri-juri dari luar yaitu dari SMKN 3 Sukawati, IHDN Denpasar dan Pemkab Tabanan yang mengutus I Wayan Juana alias Dadong Rerod sebagai juri.

karya cipta 1Lomba yang berlangsung malam hari dihadiri oleh Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum beserta pejabat struktural lainnya. Dr. Arya tak dapat menyembunyikan rasa bangga atas kreativitas yang ditampilkan para mahasiswa dalam adu kebolehan. Tak jarang drama tari memunculkan adegan-adegan kocak yang mempu menghibur para penonton. Penampilan pertama dibawakan oleh mahasiswa semester VI yang membawakan drama inovasi berjudul NI Tuung kuning, selanjutnya semester II berjudul Sumantri dan semester IV dengan judul garapan I Godogan. karya cipta

Para peserta yang menampilkan sekitar 40 menit pada setiap pertunjukkan melahirkan juara yaitu Juara pertama diraih oleh semester IV, Juara kedua oleh semester VI dan juara ketiga diraih oleh semester II.

Program Pascasarjana ISI Denpasar Akan Gelar Ujian Tugas Akhir

Program Pascasarjana ISI Denpasar Akan Gelar Ujian Tugas Akhir

gus teja 5 2013 1Kiriman: Nyoman Lia Susanthi, S.S., M.A. (Dosen Pedalangan ISI Denpasar).

Denpasar-  Pascasarjasa ISI Denpasar yang berdiri sejak 2 April 2011, telah menerima 2 angkatan mahasiswa. Mahasiswa pada angkatan pertama berjumlah 46 mahasiswa. dari 46 mahasiswa sebanyak 40 mahasiswa telah dinyatakan lulus ujian proposal. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Seni, mahasiswa pasca harus melewati beberapa test dan peryaratan, diantaranya telah memenyelesaikan semua mata kuliah, lolos test TOEFL, dan persyaratan administrasi lainnya. Dalam proses penciptaan dan pengkajian, mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sendiri dosen pembimbing utama. setelah lolos ujian proposal mahasiswa wajib mengikuti ujian tugas akhir sesuai dengan minatnya. Bagi mahasiswa dengan minat penciptaan akan menghasilkan karya cipta sementara mahasiswa dengan minat pengkajian menghasilkan karya tulis tesis.

Dari 40 mahasiswa yang lolos ujian proposal, sebanyak 13 mahasiswa yang siap untuk mengikuti ujian tugas akhir. Mereka yang mengambil minat penciptaan adalah Agus Teja Sentosa (Judul TA: Mualas Mangke), I Gede Jaya Putra (Trasformasi Kehidupan Manusia Dalam Konteks Kekinian), Agung Wijaya (Kritik Sosial Materialis Dalam Karya Inastalasi Fotografi Ekspresi), Ni Luh Putu Rostina S (Tari Kontemporer Labuhan Sait), I Nyoman Yoga Tri Semarawima (Perilaku Manusia Modern Dalam Ekspresi Seni Lukis), Wayan Arissusila (Refleksi Fenomena Edonistik Dalam Kriya), Gede Wi Suparno (Paraphilia Seksual Diungkapkan Dalam Karya Seni Lukis), A.A. Gede Trisnasuryadinata (Gerak Ikan Dalam Seni Lukis), I Made Hendra Mahajaya (Eksistensi Air Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Sumber Penciptaan Seni Lukis), A.A. Gede Mahendra (Antawacana Wayang Kulit Dalam Seni Lukis), serta I Made Putra Wijaya (Tari Kontemporer Penginte). Sedangkan dua orang mahasiswa pascasarjana mengambil minat pengkajian yaitu Dewa Putu Ardana (Keben di Banjar Tangguhan Peken Bangli: Perspektif Kajian Seni) dan I Bagus Wijna Bratanatyam (Karakteristik Tokoh Sugriwa Dalam Wayang Kulit Ramayana Gaya Sukawati).

Mereka yang bisa menempuh ujian tugas akhir hingga deadline 30 Juli 2013 berpeluang untuk mengikuti wisuda pada 28 Juli 2013. Menurut Direktur Pascasarjana ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A, yang membedakan lulusan pascasarjana ISI Denpasar adalah memiliki pola pikir yang lebih mendalam dibandingkan karya S1, yang dituangkan dalam karya cipta dan tulisan. Prof. Rai menambahkan bahwa apapun karya ciptanya agar mahasiswa pasca tidak lari dari identitas tradisi. Untuk mahasiswa dari seni pertunjukkan akan menampikan 2 karya yaitu 1 hasil karya cipta baik tari, tabuh ataupun seni pertunjukkan bersifat tradisi, sebelum menampilkan karya kontemporernya yang tetap memunculkan local genius. Sementara bagi mahasiswa seni rupa dan desain juga menampilkan 2 junis karya, yaitu beberapa karya ciptaan sebelumnya dan memamerkan karya cipta terbaru. Setelah itu mereka akan mempersentasikan seminar hasil yang terbuka untuk umum.

Akan Digelar Kolaborasi Wayang Internasional

Akan Digelar Kolaborasi Wayang Internasional

Mahasiswa Pedalangan tengah berlatih 'string puppet' bersama dalang dari India

Mahasiswa Pedalangan tengah berlatih 'string puppet' bersama dalang dari India

Denpasar- Sebagai implementasi atas keberhasilan ISI Denpasar dalam memenangkan Program Hibah Kompetisi (PHK) –B-Seni Bacht IV 2009, Jurusan Pedalangan akan mementaskan garapan wayang inovasi bertaraf internasional, yang berkolaborasi dengan wayang Jawa, Bali dan India. Wayang Jawa diwakili oleh penampilan dalang Dru Henro, S.Sn., M.Sn., wayang Bali oleh dalang I Ketut Sudiana, S.Sn., M.Sn., sementara dari India mendatangkan seniman asing yaitu dalang Lucky Buth. Latihan sudah dimulai dari tanggal 30 November 2009 lalu secara intensif. Garapan inovatif ini akan dipentaskan pada tanggal 6 Desember 2009, Pukul 20.00 wita, bertempat di Gedung Candra Metu ISI Denpasar.

Garapan yang melibatkan para dosen dan mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Denpasar ini bertujuan menggali dan mentransformasikan nilai-nilai humanism dan mulikulturalisme yang terkandung dalam wayang.

Menurut salah satu peñata garapan Dr. I Nyoman Catra, walaupun belum menemukan judul yang tepat, namun garapan ini akan diawali dengan hadirnya yogisuara diiringi oleh wirama yang dikombinasikan dengan nyanyian India. Yogiswara yang membawa puppet string Dewi Saraswati mengandung makna bahwa kepintaran, sastra-sastra yang terdapat dalam wujud Dewi Saraswati ini telah masuk kedalam raga yogiswara. Nyanyain yogiswara didengar oleh raja Teguh Darma Wangsa, dan membuat raja tertarik, sehingga terjadi dialog antara raja dengan yogisuara tentang kebudayaan. Kemudian yogisuara memperkenalkan kisah Mahabharata dan Ramayana kepada Teguh Darmawangsa, yang diantaranya mengenai kandungan Tri Pama: (1). Pertunjukan Wayang Bali di layar  (Gugurnya Sumantri), (2). Pertunjukan Wayang Wong (Kumbakarna Lina), dan (3). Pertunjukan Wayang Jawa (Karna Tanding). Selain itu yogisuara memperkenalkan seorang pedagang India yang kemudian memainkan atraksi wayang India/string puppet. Dari kisah tersebut dapat diambih hikmahnya bahwa kita sebaiknya bercermin pada wayang untuk membenahi manusia, karena wayang itu bukan sekedar tontonan namun juga sebagai tuntunan.

Sementara menurut salah satu mahasiswa pedalangan, Gede Wirawan yang diberi kesempatan untuk belajar dan memainkan wayang India merasa sangat senang dengan kesempatan ini. Karena selain dapat mempraktekkan bahasa Inggris, mempelajari gerak wayang India mampu menambah pengalaman dan wawasan keilmuan dibidang pewayangan dunia.

CALONARANG MASIH MENYIHIR MASYARAKAT BALI

CALONARANG MASIH MENYIHIR MASYARAKAT BALI

Copy (2) of DSC05838Dulu, teater Calonarang lazimnya mengerang di halaman luar Pura Dalem dalam sebuah ritual keagamaan. Kini, drama tari ini juga tampil garang di ruang-ruang pribadi keluarga lewat tayangan televisi. Penampilannya dalam konteks ritual keagamaan disangga oleh suasana yang komunal religius, sedangkan ketika tersaji dalam layar profan televisi, seni pertunjukan Calonarang mensejajarkan dirinya dengan sinetron, reality show, konser musik dan program hiburan lainnya, yang, tentu saja disimak pemirsa dalam suasana rumahan, santai dan tak formal.

Bali TV adalah salah satu stasiun televisi yang sejak berdiri hingga kini sering menayangkan teater Calonarang. Biasanya Calonarang yang disuguhkan oleh televisi swasta pertama yang bersiaran di Bali itu diangkat dari pementasan-pementasan di tengah masyarakat. Kamis (17/9) malam lalu misalnya, lewat program Lila Cita-nya, disuguhkan Calonarang yang direkam di Pameregan Pemecutan, Denpasar. Seperti halnya dalam pagelaran Calonarang di jaba pura Dalem pada sebagian besar desa-desa di Bali, tayangan drama tari Calonarang dalam layar kaca itu cukup mendapat perhatian besar penonton bila dibandingkan dengan sajian seni pentas tradisional Bali yang lainnya.

Perhatian masyarakat menyaksikan Calonarang di televisi dengan menonton pertunjukan langsung di tengah masyarakat berbanding sejajar. Seni pentas yang tak begitu sering digelar ini senantiasa disaksikan masyarakat dengan penuh perhatian, bila perlu hingga menjelang pagi. Tradisi mementaskan drama tari Calonarang serangkaian dengan odalan di Pura Dalem Gede Desa Sukawati, Gianyar, misalnya telah sejak dulu menjadi pagelaran seni yang ditunggu-tunggu masyarakat. Mungkin karena apresiasi masyarakat yang besar itu yang menyebabkan teater ini lestari di desa Sukawati dan di tengah masyarakat Bali pada umumnya.

Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung.  Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada  abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.

Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra  sumber sebagai  bingkai  intrinsik saja.  Implementasi dan transformasi tata  pentasnya  dicangkokkan  dengan pola-pola,  idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku dalam   seni pertunjukan tradisional Bali. Namun dalam teater Calonarang, yang selalu bahkan harus ditonjolkan, adalah  sub-tema sihirnya yang disebut leak tadi.

Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang.  Ceritanya pada tahun 1931,  Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang  dengan tajuk Dongeng dari Dirah.

Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri.  Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.

Sub tema sihir memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang.  Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang trance yang membuat penonton tampak tegang.

Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan (memandikan  mayat). Orang yang  jadi   mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya  di  Bali.  Sementara madusang-dusangan ini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.

Pertunjukan teater Calonarang di televisi tentu saja tidak memberi efek menyeramkan bila dibandingkan dengan atmosfer pementasan dalam konteks yang sesungguhnya. Tetapi karena muatan subyektifitas masyarakat Bali tentang nilai-nilai religius dan ketakutan pada dunia mistik begitu kental ditransformasikan dalam teater ini, membuat penonton televisi seperti hanyut secara emosional. Bisa jadi karena kuatnya subyektifitas itulah menyebabkan presentasi artistik dan representasi kultural teater Calonarang dalam pagelaran langsungnya di tengah komunalitas masyarakat Bali, selalu mampu menyihir penonton.

Kadek Suartaya

“NGAYAH” ISI DENPASAR DIKAGUMI PAKAR BUDAYA MANCANEGARA

“NGAYAH” ISI DENPASAR DIKAGUMI PAKAR BUDAYA MANCANEGARA

picture-790 (Gianyar-Humasisi) Para mahasiswa dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, pada hari  Minggu (8/6) siang ngayah menyajikan seni pertunjukan tari, karawitan, dan pedalangan dalam  ritual “Dirgayusa Bumi, Mamungkah lan Ngenteg Linggih” di sebuah pura besar Desa Pakraman  Lebih, Kabupaten Gianyar. Persembahan seni yang ditampilkan adalah Rejang Dewa, Baris Gede,  Topeng Sidakarya, Wayang Lemah, drama tari Gambuh, dan tabuh-tabuh lelambatan klasik. Dalam  suasana yang komunal religius, para mahasiswa dan dosen ISI tampil dengan penuh ketulusan.  Rejang Dewa yang disajikan di areal suci pura dibawakan oleh puluhan penari wanita dengan  balutan busana putih kuning. Tari Baris Gede yang dikomandoi oleh dosen tari I Gede Surya Negara,  SST, M.Si dibawakan oleh para penari pria berbusana hitam putih tampil menghentak dan berseru-  seru. Kedua tari sakral ini menyudahi penampilannya sembari menuju ke halaman utama pura.

Sementara itu dua bentuk seni wali disajikan secara bersamaan di halaman tengah pura. Dibawah arahan dosen pedalangan I Dewa Wicaksana, SSP, M.Hum, Wayang Lemah bertutur tentang makna dari sebuah upacara agama. Tak jauh dari pementasan wayang itu, dosen pedalangan I Nyoman Sukerta, SSP, M.Si bersama dua orang mahasiswa menyuguhkan Topeng Sidakarya dengan sumber cerita babad mengisahkan nilai-nilai kehidupan dan hakikat beragama. Penampilan figur Sidakarya pada akhir pementasan melegitimasi prosesi ritual keagamaan itu. Penampilan Rejang Dewa, Baris Gede, dan Topeng Sidakarya yang mendapat perhatian masyarakat setempat itu diiringi oleh para mahasiswa Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan. Dibawah arahan dosen I Ketut Garwa, S.Sn, M.Sn dan I Pande Gede Mustika, S.SKar.M.Si, selain mengiringi tari, kelompok penabuh itu juga mengumandangkan tabuh-tabuh klasik lelambatan menyertai menit-menit awal prosesi.

Ketika prosesi sedang berlangsung, sekelompok mahasiswa dan dosen ISI menyajikan drama tari Gambuh di halaman luar pura. Tampak dosen I Nyoman Sudiana, SSKar, M.Si dan I Made Kartawan, S.Sn, M.Si memimpin para penabuh mengiringi adegen demi adegan teater total tersebut dengan gamelan yang menonjolkan alunan melodi dari beberapa suling panjang. Selain diperkuat oleh dosen Cokorda Raka Tisnu, SST, M.Si yang berperan sebagai raja, drama tari tua yang bersumber dari cerita Panji ini bawakan oleh penari-penari muda, para mahasiswa Jurusan Tari. Seusai para mahasiswa dan dosen ISI ngayah, para pimpinan Desa Pekraman Lebih menyampaikan terimakasi dan keterharuaannya atas partisipasi tulus dari perguruan tinggi seni yang dulu dikenal dengan nama ASTI/STSI itu. “Kami, masyarakat Lebih akan terus minta bantuan kepada para seniman ISI, baik untuk kepentingan upacara adat dan agama maupun untuk pembinaan seni, “ ujar Ngakan Putu Mandra, bendesa adat Lebih. Rektor ISI, Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA mengatakan selalu siap menerjunkan para mahasiswanya melestarikan dan mengembangkan kesenian di seluruh Bali bahkan hingga ke luar pulau.

Kiprah para mahasiswa dan dosen ISI ngayah di desa Lebih itu diamati secara seksama oleh puluhan pakar agama dan budaya dari mancanegara yang baru saja berkonferensi di Bali. Mereka tergabung dalam South and Southeast Asia Association for Study of Culture and Religion (SSEASR) yang bernaung dibawah International Associotion for the History of Religions (IAHR) Unesco. Ketua IAHR, Prof. Rosalind mengatakan keterlibatan seniman akademis yang begitu erat dengan lingkungan masyarakatnya hanya ditemukannya di Bali. “Keharmonisan seni dan agama di Bali sangat unik dan mengesankan,” ujar wanita asal Amerika tersebut.

Loading...