Siswa Jepang Tampilkan Tari Barong Kijang Upaya Pelestarian Pascatsunami 2011

Siswa Jepang Tampilkan Tari Barong Kijang Upaya Pelestarian Pascatsunami 2011

Melalui fasilitator Jepang Foundation, sejumlah pelajar SMA bersama tujuh staf dari Iwate prefektur utara-timur Jepang yang tergabung dalam grup Shishi-Odori, mengunjungi Bali selama beberapa hari untuk saling bertukar pengetahuan tentang kebudayaan. Pada Selasa (27/3), rombongan asal Negeri Matahari Terbit itu secara khusus menampilkan tarian khas daerah Iwate yakni Barong Kijang, bertempat di Gedung Candra Metu, ISI Denpasar.

Selain memperkenalkan tarian khas mereka, atraksi tersebut juga sebagai upaya pelestarian kesenian warisan leluhur mereka yang sempat diporak-porandakan oleh bencana tsunami pada tahun 2011 silam. Demikian dikatakan perwakilan dari Jepang Foundation Fujimoto Jin usai pertunjukan.

Fujimoto Jin menambahkan, kedatangan mereka juga diisi dengan diskusi bersama seniman Bali. Sebab, di daerah asalnya, terdapat banyak kesenian tradisional kuno yang diwariskan para leluhurnya. Untuk itu, ia mengatakan perlu adanya upaya rekonstruksi dan pengembangan budaya seni dan hiburan tradisional khususnya untuk generasi muda Jepang sebagai pewaris. “Kami harap mereka mampu menstimulir seni tradisional dari pertukaran internasional dengan seni yang unggul di luar negeri,” kata dia.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar I Ketut Garwa yang mewakili rektor mengaku menyambut baik kedatangan rombongan tersebut. Apa lagi, menurut dia, ISI Denpasar memang sedang menggenjot kerjasama-kerjasama internasional. “Kami tentu senang memfasilitasi mereka. Prinsipnya kan saling mendapatkan sesuatu,” ucap Garwa.

Garwa mengakui, antara Jepang dan Bali memiliki banyak kemiripan di bidang kesenian musik dan tari. Ia mencontohkan, Bali memiliki Adimerdhaga, sementara Jepang memiliki Taiko, Begitupun tentang peralatan musiknya lebih didominasi perkusi dengan ‘skin rhytem’ atau ‘kendang’ yang memadukan gerakan tubuh, dan nyanyian.

Lebih lanjut, Garwa menilai, dari pertunjukan tersebut mahasiswa ISI Denpasar mampu memperkaya pengetahuan mereka tentang kesenian musik dan tarian Jepang. “Saya akui gerakannya sangat bagus. Ini baik untuk perbandingan mahasiswa kami,” pungkas dia.  

Humas ISI Denpasar I Gede Eko Jaya Utama, saat dikonfirmasi menerangkan, pagelaran tersebut diawali permohonan dari Motoko Saturada selaku lecture Toho College of Music in Tokyo, dan director gamelan group Terang Bulan, Jepang. “Pak Motoko menerima permintaan dari The Japan Foundation menjadi koordinator suatu program ‘Sanriku-Asian Network Project’. Mereka ingin ke ISI Denpasar. Selanjutnya Rektor kami menyetujuinya,” pungkas Eko Jaya.

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si (Dosen PS. Seni Karawitan)

Gamelan Gong KebyarMengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.

Keberadaan Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur (2)

Keberadaan Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur (2)

Oleh: Pande Mustika

Gamelan Gong Gede ISI DenpasarMenyimak kata keberadaan semestinya kita mengingat kembali sejarah-sejarah yang pernah dialami di Pura Ulun Danu Batur Desa Batur. Sejarah adalah suatu proses penciptaan dan pemuasan serta penciptaan ulang dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus-menerus. (Marx,  1986 : 27)

Timbulnya gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, belum dapat diketahui secara pasti. Hal mana disebabkan oleh kurangnya data-data yang memuat tentang gamelan tersebut, baik yang berupa lontar, prasasti maupun tulisan-tulisan lainnya. Sebagai corak kebudayaan yang sifatnya oral tradisi, mereka berikan hanya bersifat perkiraan informasi dari mulut ke mulut orang-orang tertua terdahulu. Mereka mengatakan bahwa gamelan itu sudah di embannya sejak dahulu atau mereka mengatakan gamelan warisan dari leluhurnya (tetamian).

Menurut informasi Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan, bahwa gamelan Gong Gede tersebut diperkirakan ada pada tahun 1204 masehi. Di samping itu juga informasi mengatakan bahwa, kondisi gamelan yang ada dulunya tidaklah selengkap seperti apa yang dapat kita lihat sekarang. Gamelan ini diperkirakan berkembang sesudah abad ke XII (Jero Gede Duuran, Jero Gede Alitan wawancara 19 April 2006).

Informasi dari Jero Nyoman Tekek, pada tahun 1835 Raja Majapahit memberikan dua pasang instrumen gong, satu buah kempul, dan satu buah bende kepada pengempon pura yang ada di Desa Sinarata (Pura Batur). Setibanya di Bali, gong yang suara dan ukurannya lebih besar disimpan di Pura Ulun Danu Batur, dan gong yang ukuran serta suaranya lebih kecil diambil oleh Raja Bangli. Lama-kelamaan gong tersebut disumbangkan kepada Desa Sulahan. Sedangkan kempul dan bende tetap disimpan di pura Batur di bawah kaki gunung Batur. (Jero Tekek, wawancara 18 Nopember 2004)

Instrumen yang ada pada waktu berada di pura Batur Desa Batur di kaki gunung Batur adalah instrumen Trompong Ageng (Gede), Trompong Alit, empat buah gangsa Jongkok Penunggal, empat buah gangsa Jongkok Pengangkep Ageng, empat buah gangsa Jongkok Pengangkep Alit (Curing), empat buah Penyacah, empat buah Jublag, satu buah Riyong Ponggang, satu buah kempul, satu pasang gong, dan beberapa pasang Cengceng Kopyak. Instrumen-instrumen tersebut dibuat oleh pande gamelan Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, pelawahnya dibuat/diukir oleh undagi dari Desa Banyuning Kabupaten Buleleng. Sedangkan proses pembuatannya dilaksanakan di Pura Batur (Jero Tekek, wawancara 18 Nopember 2004).

Melihat dan memperhatikan sering terjadinya aktivitas letusan gunung Batur sampai tanggal 21 April 1926, atas perintah dari pemerintahan Bangli pada tanggal 3 Agustus 1926 masyarakat Batur dipindahkan ke desa Kalanganyar. Sedangkan gamelan Gong Gede dipindahkan ke Pura Desa Bayung Gede. Adapun proses perpindahannya dilaksanakan oleh narapidana/bogolan yang ada di kota Bangli.

Dari jumlah instrumen yang disebutkan di atas, ada beberapa tambahan instrumen seperti ; satu tungguh instrumen Riyong yang bermoncol 13 buah, empat buah gangsa Jongkok Penunggal, dan sepasang instrumen Jegogan. Instrumen-instrumen tersebut dibuat pada tahun 1930, dimana bilah dan panconnya dibuat di Pura Batur oleh pande gamelan dari desa Tiyingan Klungkung. Sedangkan pelawahnya dibuat oleh Jero Nyarikan, Nang Sweca, Nang Sedana, dan Nang Kirim atas dasar ngayah yang kesemunya itu sudah tiada (almarhum).

Gamelan Gong Gede yang ada di Pura Ulun Danu Batur, dibuatkan tempat penyimpanan secara permanen seperti apa yang kita dapat saksikan sampai sekarang. Barungan gamelan Gong Gede tersebut sangat disakralkan atau dikramatkan oleh masyarakatnya dan juga disebut dengan istilah duwe lingsir. Maka pada tahun 1998 dibuatkan suatu duplikat beberapa instrumen yang namanya gamelan Bebonangan, di pande gamelan Sidha Karya Banjar Babakan Desa Blahbatuh Gianyar (Wayan Pager) sehingga di Pura Ulun Danu Batur ada istilah tedun Bebonangan yang artinya gamelan Bebonangan. Tedun Trompong artinya gamelan Gong Gede yang komplit.

Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur (1)

Oleh Pande Mustika

Desa Batur yang terletak di penghujung utara perbatasan wilayah Kabupaten Bangli dengan Kabupaten Buleleng, terdapat tiga objek wisata yang termasyur yaitu : Gunung Batur, Danau Batur, dan Pura Ulun Danu Batur. Panorama alamnya yang indah serta didukung keyakinan  masyarakatnya akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia yang dapat memberikan sesuatu, selalu penuh dengan upacara ritual dan sesaji. Realita kehidupan semacam ini dijadikan sebagai prilaku yang tulus dari setiap warga masyarakat Desa (Desa Pakraman Batur).

Desa Batur jarak tempuh dari kota Denpasar kurang lebih 65 km melalui jalan raya yang menghubungkan kota Bangli dengan kota Singaraja. Selain itu dapat pula dicari melalui jalan jurusan Tampaksiring-Kintamani, dan bisa juga melalui jalur Desa Kedewatan, Payangan, dan Desa Kerta. Jarak tempuh dari kota Bangli ke arah utara kurang lebih 25 km. Lokasi ini berada pada ketinggian lebih kurang 900 meter di atas  permukaan laut, sehingga udara sangat dingin terutama pada waktu malam hari. (Dinas Kebudayaan Bali, 1988 : 1).

Desa Pakraman Batur yang mayoritas penduduknya beragama Hindu selaku pengemong pura, masih tetap menjalankan adat-istiadat leluhurnya yang terpatri dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, sehingga segala kegiatan masyarakatnya dilandasi oleh peraturan-peraturan adat atau awig-awig yang mengikat. Peraturan yang berlaku merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan dengan berbagai konsekwensinya  tanpa didorong unsur paksaan. Jadi setiap warga bertindak selaras dengan kesadaran nuraninya, sehingga tugas apa yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana.

Di samping Desa Batur memiliki tiga objek wisata, Desa Batur juga memiliki barungan gamelan Gong Gede yang sakral dan unik.  Gamelan Gong Gede adalah ; sebuah orkestra atau kesenian tradisional Bali yang didominasi oleh alat-alat perkusi dalam bentuk instrumen pukul, mempunyai teknik pukulan kekenyongan, memakai laras pelog lima nada/pelog panca nada,  sebagian besar alat perkusinya berupa bilah dan pencon, bentuk tabuhnya lelambatan klasik pegongan, diikat oleh uger-uger yang kuat, tempo lagunya lambat, instrumennya banyak dan besar-besar, jumlah penabuhnya banyak, mempunyai sifat agung, hidmat serta mempunyai warna suara yang beraneka ragam.

Pura Ulun Danu Batur adalah tempat pemujaan umat Hindu untuk mempersembahkan sujud baktinya kepada Sanghyang Widhi Wasa, yang merupakan perwujudan interaksi hakiki antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dunia tempatnya berada. Ketiganya ini saling kait-mengkait yang tertuang dalam ajaran Tri Hita Karana. Secara singkat dapat dirumuskan sebagai tiga hal yang menyebabkan manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, keselamatan, dan kedamaian. Terpadunya hal tersebut dapat melahirkan nilai-nilai keindahan yang mendalam.

Bertahannya nilai-nilai agama Hindu yang dijalankan secara rutinitas di Desa Pakraman Batur, baik apa yang telah ditampilkan oleh kelompok jero gamel maupun segala kegiatan upacara keagamaannya, merupakan kekuatan untuk menjaga kestabilan, keseimbangan, pelestarian, dan keselamatan budaya dari pengaruh-pengaruh luar yang sifatnya negatif. Desa Pakraman Batur terdiri dari tiga  desa administratif yaitu ; Desa Batur Selatan, Desa Batur Tengah, dan Desa Batur Utara.

Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

Pembinaan Seni Karawitan Klasik Pegongan Pada Sekaa Sekaa Gong Kerthi Budaya Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung

    Kiriman I Gede Yudartha, SS.Kar., M.Si

I Gede Yudartha

I Gede Yudartha

Seni Sekaa Gong Kerthi Budaya adalah salah satu unit organisasi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada lingkungan Banjar Pengabetan Kuta, Kabupaten Badung. Sebagai salah satu organisasi sosial kemasyarakatan, sekaa gong ini memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang seni karawitan yaitu melaksanakan fungsi dan kewajiban untuk mengiringi aktivitas ritual keagamaan serta aktivitas sosial lainnya yang terjadi di lingkungan banjar Pengabetan dan di Desa Adat Kuta.

Sekaa gong ini didirikan pada tahun 1978 dan keberadaannya sangat eksis di masyarakat dimana dalam jangka waktu 30 tahun usianya serta dengan dukungan 50 orang anggota, sekaa gong ini telah menunjukkan peran yang sangat penting dan menjadi salah satu sekaa gong yang terkemuka di lingku-ngan Desa Adat Kuta. Salah satu prestasi yang sangat penting dicapai adalah keberhasilan memenangkan seleksi gong kebyar se Kabupaten Badung dan selanjutnya ditunjuk sebagai Duta Kabupaten Badung pada Festival Gong Kebyar tahun 1993. Keberhasilan sekaa gong ini mencapai prestasi tersebut tidak terlepas dari adanya suatu sistem pembinaan yang berkelanjutan dari gene-rasi ke generasi, dan dibina oleh seniman-seniman yang profesional di bidang seni karawitan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1980-an sekaa gong ini mendapatkan pembinaan dari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar dengan materi fragmentari Ramayana yang mana dari pembinaan tersebut selanjutnya dipertunjukan kepada para wisatawan. Dari penyelengga-raan aktivitas tersebut, sekaa gong ini mampu meningkatkan perekonomian, yang mana hasil dari pagelaran tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan anggota serta membangun Balai Banjar Pengabetan.

Sebagaimana umumnya kehidupan sosial masyarakat Bali, di lingkungan Desa Adat Kuta khususnya di Banjar Pengabetan, religiusitas masyarakatnya sangat tinggi dimana pelaksanaan upacara serta berbagai aktivitas keagamaan dapat di langsungkan dengan baik. Walaupun sebagaian besar masyarakatnya beraktivitas di sektor kepariwisataan dan hidup dari pelayanan jasa, perdagangan, dan perhotelan, kehidupan dan aktivitas di bidang sosial keagamaan masih berlanjut sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur mereka.

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut salah satu sarana dan media yang sangat penting adalah gamelan serta repertoar tabuh-tabuh klasik pengiring pelaksanaan upacara khususnya tabuh-tabuh lelambatan klasik pegongan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, keberadaan sekaa Gong Kerthi Budaya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan keagamaan baik di lingkungan banjar maupun di desa adat Kuta. Untuk keperluan tersebut, saat ini banyak repertoar komposisi lelambatan klasik yang telah dikuasai diantaranya: tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, dan tabuh nem. Walaupun demikian, sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di kawasan Kuta, sekaa gong ini memiliki motivasi dan keinginan yang tinggi untuk menambah perbendaharaan repertoar tabuh untuk dapat menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang berbeda dengan repertoar yang telah dimiliki sebelumnya.

Untuk itu kami dihubungi dan diminta secara pribadi untuk memberikan pembinaan dan menuangkan materi tabuh lelambatan. Adanya permintaan tersebut tentunya merupakan suatu tantangan dan untuk dapat memenuhi apa yang diinginkan kami mencoba memberikan materi yang berbeda dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun materi yang kami pilihkan adalah dua buah tabuh dua lelambatan pegongan, serta salah satu komposisi tabuh pat lelambatan.

Komposisi tabuh pat Lokaria ini pada mulanya berbentuk tabuh lelambatan pegongan kreasi yang diciptakan oleh I Wayan Sinti. Dipilihnya tabuh lelambatan ini di samping untuk dapat dipergunakan sebagai tabuh ingingan upacara, juga sebagai salah satu upaya revitalisasi dan merekon-struksi keberadaan komposisi tersebut, mengingat keberadaannya semenjak usai ditampilkan dalam festival tidak pernah dimainkan dan sudah mulai dilupakan oleh sekaa gong tersebut. Untuk dapat ditampilkan sebagai pengiring upacara keagamaan tentunya harus diadakan penyesuaian dengan mengadakan beberapa perubahan terutama aspek musikalitas serta penye-derhanaan teknik permainan instrumen sehingga nantinya mengarah kepada bentuk tabuh lelambatan pegongan klasik.

Dalam upaya merubah bentuk komposisi ini menjadi sebuah komposisi lelambatan klasik, di samping mengadakan penyederhanaan, di sisi yang lain juga dilakukan dengan memberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya sehingga penampilannya tidak saja terkesan klasik namun mampu memberi-kan nuansa baru sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan klasik. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan adalah dengan mempergunakan 2 (dua) periring yang ditempatkan pada bagian awal gending pengawak dan bagian akhir gending pengisep, dengan tujuan untuk memberikan keragaman dinamika sehingga tidak tampil monoton.

Penyajian model 2 (dua) periring umumnya dilakukan pada komposisi tabuh lelambatan kreasi, dimana bentuk periring tersebut ditempatkan pada bagian depan sebelum menginjak bagian pengawak dan pada bagian akhir pengisep yang menghantarkan ke bagian berikutnya, yaitu bebaturan (pengecet). Komposisi dengan model dua periring ini belum pernah dilakukan dalam penyajian tabuh lelambatan klasik gaya Badung, dimana pada umumnya hanya mempergunakan satu periring yang ditempatkan pada bagian awal dari pengawak. Sebagai salah satu karya komposisi yang lahir dari seniman Badung, walaupun terjadi perubahan serta diberikan ornamentasi pada beberapa bagiannya, penampilannya sebagai salah satu bentuk tabuh lelambatan gaya Badung masih tetap dipertahankan sebagaimana bentuk-bentuk tabuh lelambatan yang lainnya sehingga tidak tercabut dari akar tradisi yang melahirkannya.

Tujuan dari kegiatan ini di samping untuk menjawab rumusan masalah di atas, juga sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi dan merekonstruksi salah satu bentuk karya seni yang pernah ada dan dimiliki oleh sekaa gong Kerthi Budaya sehingga memiliki suatu bentuk komposisi tabuh lelambatan klasik dengan nuansa baru serta tetap berpijak pada akar tradisi gaya bebadungan yang nantinya dapat disajikan sebagai tabuh instrumental dalam mengiringi rangkaian upacara keagamaan dan aktivitas sosial lainnya.

Dilaksanakannya kegiatan ini secara umum diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat Banjar Pengabetan serta sekaa Gong Kerthi Budaya sehingga keberadaannya sebagai salah satu sekaa gong terkemuka di desa Adat Kuta masih dapat dipertahankan.

Sedangkan di pihak lain, keterlibatan kami selaku pembina dan bagian dari civitas akademika ISI Denpasar dapat mempererat hubungan secara pribadi serta antara Lembaga ISI Denpasar dengan masyarakat khususnya sekaa gong Kerthi Budaya, Banjar Pengabetan Kuta sebagaimana yang telah terjalin dari tahun 1980-an.

Sebagai salah satu pembinaan yang bersifat kolektif, kegiatan ini tentunya melibatan banyak orang terutama anggota sekaa gong serta berbagai pihak terkait seperti prejuru banjar (Kelian Adat) beserta jajarannya. Namun demikian untuk memperlancar dan mempercepat proses pembinaan, secara khusus ada beberapa orang anggota sekaa yang dianggap mampu, diberikan materi secara intensif sehingga nantinya dapat ditularkan kepada anggota sekaa yang lainnya.

Metode yang diterapkan dengan cara meguru kuping dan meguru panggul. Walaupun terkesan tradisional, metode ini memiliki keunggulan, efektif dan efisien serta secara turun menurun di terapkan oleh para seniman-seniman karawitan Bali dalam aktivitas pembinaan yang dilakukannya. Meguru kuping dan meguru panggul adalah metode tradisional yang biasanya diterapkan secara bersamaan pada saat dilaksanakan pelatihan. Metode ini sangat berbeda dengan sistem pembelajaran musik sebagaimana umumnya yang sangat tergantung pada partitur. Suatu kebiasaan dalam memainkan komposisi karawitan Bali adalah dengan menghandalkan hapalan tanpa pernah dibantu dengan partitur. Sebagaimapun tingkat kesulitan, kerumitan dan panjang pendeknya sebuah komposisi adalah merupakan hal yang sangat biasa dilakukan oleh para seniman-seniman karawitan Bali. Dengan kemampuannya tersebut para seniman penyaji di Bali dikenal memiliki tingkat hafalan yang sangat baik.

Meguru kuping adalah metode yang dilakukan memberikan contoh-contoh melodi yang diperdengarkan secara langsung dihadapan orang-orang yang diberikan pelatihan. Sedangkan meguru panggul adalah dengan memberikan contoh-contoh teknik permainan instrumen secara langsung yang nantinya diikuti oleh para peserta pelatihan. Penerapan metode ini biasanya berulang-ulang hingga para peserta pelatihan dapat memahami dan mengikuti apa yang telah dicontohkan.

DAFTAR PUSTAKA

Astita, I Komang.1993. Gamelan Gong Gede: Sebuah Analisis Bentuk. Mudra, Jurnal Seni Budaya, Edisi Khusus Februari 1993. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar: STSI Press.

Rembang, I Nyoman.1984/1985. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-Gending Lelambatan Klasik Pagongan Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Kesenian Bali.

Sukerta, Pande Made.1998. Ensiklopedi Mini Karawitan Bali. Sastrataya-Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Bandung-Indonesia.

Yudarta, I Gede. 2007. “Tabuh Lelambatan Pegongan Gaya Badung: Kontinuitas dan Perubahannya”. Laporan Penelitian Due-Like Batch IV Sekolah Tinggi Seni Indonesia/ ISI Denpasar.

Discografi Rekaman Audio.

  1. Festival Gong Kebyar se Bali 1993, Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 585

  2. Festival Gong Kebyar se Bali 1994. Kabupaten Badung. Bali Stereo No. B 895

  3. Festival Gong Kebyar se Bali 2006. Kota Denpasar. Bali Stereo No. B 1185

Loading...